Bulan Tak Pernah Bertanya

Daftar Isi
Bulan Tak Pernah Bertanya
Malam merambat sunyi di lereng Gunung Prau. Angin menggiring kabut tipis yang mengendap di pucuk-pucuk ilalang, sementara cahaya bulan mengambang di langit seperti rahasia yang tak sempat dibisikkan. Di antara bayang dan terang itu, Zaki berdiri membelakangi dunia, menatap ke arah langit seolah ingin memungut satu per satu kenangan yang pernah ia lempar ke sana.

"Masih mencari jawaban dari sesuatu yang tak pernah bertanya?" suara Aleeya memecah kesunyian. Ia datang tanpa suara, menyibak embun yang merambat di rerumputan.

Zaki tak langsung menjawab. Hanya pandangan matanya yang bergeser, menemu wajah perempuan yang pernah bersandar di dadanya saat badai paling tajam mengamuk di hidup mereka. Di bawah cahaya bulan yang menggantung redup, wajah Aleeya tampak seperti mimpi yang terlalu lama ditahan untuk bangun.

"Kenapa harus bulan?" tanya Aleeya lagi. Kali ini langkahnya lebih dekat, sampai aroma pinus dari tubuhnya menyelinap ke hidung Zaki—aroma yang entah bagaimana selalu membuat waktu melambat.

Zaki tertawa lirih, nyaris tak terdengar. "Karena bulan tak pernah menghakimi. Ia hanya diam, menyaksikan semua luka, semua rindu, tanpa menuntut penjelasan."

Aleeya duduk di samping Zaki, menyilangkan kakinya, menghadap langit yang disirami cahaya pucat keperakan. Di matanya, bulan tampak seperti pusaran kenangan yang menggantung. Mereka diam lama, seolah kata-kata hanyalah gangguan bagi percakapan sunyi yang mengalir lewat jantung dan pandangan.

"Kalau bulan bisa bicara, mungkin ia akan memintamu berhenti menatapnya dan mulai menatap masa depan," bisik Aleeya. Suaranya nyaris tercekat.

Zaki menarik napas dalam, menahan dentuman di dada. "Masa depan seperti apa, Lee? Kita sudah mencoba, bukan? Tapi waktu dan kota selalu lebih kuat dari doa-doa kita."

Aleeya menunduk. Dalam kelopak matanya yang basah, kenangan tentang surat yang tak pernah terkirim, pelukan terakhir di stasiun yang ramai, dan janji yang akhirnya terhanyut dalam suara pengumuman keberangkatan kereta, kembali menari.

"Malam itu, aku menunggu. Sampai kereta terakhir. Sampai suara para pedagang kaki lima pun hilang ditelan lengang," katanya perlahan.

Zaki menggenggam rumput liar di sebelahnya, seolah ingin menahan sesuatu yang tak bisa dicegah. "Aku tahu. Tapi ayahku jatuh sakit. Aku tak punya pilihan selain pulang ke rumah. Aku pikir, setelah ia sembuh, segalanya bisa kembali. Tapi surat-suratku tak pernah dibalas."

"Aku membacanya. Setiap hurufnya," jawab Aleeya. "Aku hanya takut membalasnya. Takut jika jawabanku membuat semuanya runtuh, atau terlalu nyata untuk diterima."

Keheningan kembali menyergap. Hanya desir ilalang yang berbisik pelan, seolah merawat luka dua hati yang belum sempat sembuh sempurna.

"Bulan itu... ia sama seperti dulu, bukan?" gumam Zaki. "Tapi kita, kita sudah jadi dua versi dari orang yang berbeda."

Aleeya mengangguk. "Kita tumbuh dalam perpisahan, Ki. Tumbuh dalam sepi yang kita pelihara diam-diam. Bahkan saat kita saling mendoakan di malam yang sama, arah doa kita tetap meleset."

Zaki memalingkan wajah. Di mata lelaki itu, terdapat sinar yang bukan hanya sedih, tapi juga penyesalan. "Kita terlalu banyak bertanya pada takdir. Padahal mungkin, takdir hanya ingin didengarkan, bukan diperdebatkan."

Aleeya tertawa kecil, walau getir. "Kita selalu ingin jawaban dari hidup, tapi lupa bahwa hidup lebih sering memberikan pertunjukan ketimbang penjelasan."

Langit di atas mereka semakin jernih. Bulan tampak lebih besar dari biasanya, bulat sempurna seperti rahim malam yang melahirkan keheningan. Bintang-bintang mengintip dari celah langit, menaburkan sedikit cahaya yang cukup untuk menuntun mereka kembali pada memori.

"Lee, kalau waktu bisa dimundurkan, aku ingin kembali ke malam saat kita menulis nama kita di langit, dengan asap dari api unggun kecil di tepi danau itu," suara Zaki nyaris retak.

Aleeya tersenyum, menoleh perlahan. "Tapi bulan tak pernah mundur, Ki. Ia hanya terus berjalan, meski wajahnya tak selalu penuh."

Zaki tertawa lirih, lalu menatap langit. "Kadang aku iri pada bulan. Ia bisa tak utuh dan tetap dicintai. Tapi manusia... harus tampak kuat, harus tampak waras, agar diterima."

"Tapi bulan juga kesepian, Ki. Ia menggantung sendiri, dikelilingi kekosongan. Mungkin itu sebabnya ia selalu setia memantulkan cahaya dari matahari, agar tetap terlihat hidup," jawab Aleeya.

Suara mereka perlahan melebur dalam denting malam. Tak ada pelukan, tak ada kata maaf. Hanya dua jiwa yang saling tahu bahwa di antara mereka ada sesuatu yang tidak perlu diucapkan, tapi selamanya akan tinggal di sana.

"Aku tak akan bertanya lagi, Lee. Tentang kenapa, tentang bagaimana," kata Zaki akhirnya. "Karena bulan juga tak pernah bertanya, dan itu cukup membuatku tenang."

Aleeya berdiri. Embun membasahi ujung roknya. Ia menatap Zaki sejenak, lalu berkata, "Kalau suatu malam nanti kau merasa sunyi, tengoklah bulan. Mungkin aku sedang menatapnya juga."

Zaki mengangguk, menelan udara dingin yang mulai menusuk. "Dan biarkan ia menjadi jembatan yang tak terlihat, tempat semua rindu saling menyapa."

Langkah Aleeya perlahan menjauh. Kabut menyembunyikan bayangnya sedikit demi sedikit, hingga akhirnya lenyap ditelan malam.

Zaki tetap duduk di sana, ditemani bulan yang setia menggantung. Ia tak butuh jawaban lagi. Karena malam telah menyimpan semua yang perlu disimpan, dan bulan, seperti biasa, tak pernah bertanya.

Zaki bangkit perlahan. Dingin mulai menjalari telapak kakinya, menembus hingga ke persendian. Tapi tak satu pun langkah ia ayunkan. Tubuhnya seakan ditambatkan oleh malam, oleh kenangan yang masih mengendap di tanah basah, oleh bayangan Aleeya yang tertelan kabut.

Ia memejamkan mata.

Dalam kelam itu, wajah Aleeya muncul dengan lebih jelas daripada yang bisa diberikan cahaya bulan—senyum kecil yang dulu membuat hidupnya tenang, sepasang mata yang memuat semesta sekaligus kehampaan. Suara lembutnya mengalir lagi di kepalanya, seperti nada lama yang hanya bisa dikenang, bukan diputar ulang.

Lima tahun lalu, mereka sempat merancang masa depan yang penuh rencana. Menyusun impian seperti membangun rumah di atas awan—begitu tinggi, begitu jauh dari tanah. Lalu kehidupan, seperti biasa, datang tanpa permisi. Sakit, kehilangan, keluarga, pekerjaan—semua hal yang tidak mereka siapkan menjatuhkan satu demi satu pondasi yang dibangun dengan kata-kata manis.

Mereka bukan tidak berjuang. Mereka hanya kalah oleh waktu, oleh jarak, oleh pilihan yang terlalu menyakitkan untuk disebut pengkhianatan.

Zaki membuka mata. Langit di atasnya tetap utuh. Bulan masih menggantung, meski kini tampak lebih pucat. Mungkin karena air matanya mengaburkan pandangan, atau mungkin karena malam memang menyimpan cara tersendiri untuk memeluk kesepian.

Ia merogoh saku jaketnya. Sebuah kertas kecil yang sudah lusuh ia keluarkan—tulisan tangan Aleeya, bertahun-tahun lalu.

Ki, kalau nanti kita tidak bisa saling menemukan, berjanjilah satu hal: jangan membenci bulan. Sebab di sanalah aku menitipkan diriku.

Zaki menahan napas. Ia melipat kertas itu pelan, hati-hati seperti membungkus sesuatu yang rapuh, lalu menempatkannya kembali ke saku—dekat dengan dada, tempat rindu tak pernah selesai diurai.

Dari kejauhan, suara burung malam menyahut satu sama lain. Gunung Prau perlahan membiarkan malamnya mengalir lebih tenang, seperti lautan yang akhirnya menerima kesunyian sebagai bentuk kedamaian.

Zaki akhirnya melangkah. Menuruni lereng yang kini dibasahi embun, menghindari akar-akaran yang menjulur, dan sesekali menoleh ke belakang—bukan mencari bayangan Aleeya, tapi memastikan bahwa langkahnya tidak melupakan apa pun yang pernah tertinggal.

Sebab beberapa pertemuan memang ditakdirkan hanya untuk mengenang, bukan untuk terus bersama. Dan bulan, dalam kesunyiannya yang setia, menjadi pengingat bahwa cinta sejati tak selalu berbentuk kepemilikan.

Di pos pendakian bawah, malam telah berubah menjadi dini hari. Langit mulai beranjak dari hitam pekat menuju abu-abu, pertanda pagi akan datang. Namun bulan masih bertahan di langit, menolak pergi terlalu cepat.

Zaki berdiri sebentar, menatapnya sekali lagi.

"Bulan tak pernah bertanya, dan mungkin itu sebabnya aku tetap bisa mencintaimu," bisiknya, entah untuk Aleeya, atau untuk dirinya sendiri.

Ia melanjutkan langkah, meninggalkan gunung, membawa pulang diam yang lebih utuh daripada jawaban.

Dan di langit, bulan masih menyinari bumi dengan cahaya pinjaman—seperti cinta yang tak bisa dimiliki, tapi tetap memberi terang tanpa syarat.

____SELESAI____

Ditulis oleh Andik Chefasa, seorang frelance writer yang lahir dan bertempat tinggal di Nganjuk - JATIM. Bapak dari seorang putri dan suami dari seorang istri. Hobi menulis sejak puluhan tahun yang lalu, ‘Kereta Mimpi’ adalah buku kumpus pertamanya setelah menerbitkan 30-an antologi bersama berbagai komunitas. Menulis novel ‘Widoro Asih’ bersama Tsuki No Hanna & Rose Arifa, sebuah novel true story tentang kisah seorang perempuan hebat dari Desa Ngliman Kecamatan Sawahan. Sampai saat ini masih menerima job sebagai ghost writer.

Puisi dan cerpennya pernah disiarkan di beberapa media. Dua tahun terakhir lebih banyak input artikel yang bisa dibaca di hariantrust.com, proxyphone.id, idayantisudiro.com, pesonanganjuk.com, andikchefasa.com, temukansekitar.com, qubisa.com, blog.advan.id, dll.

Saat ini sedang serius menjadi affiliate marketer dan membangun sebuah website affiliate marketer bertema e-commerce. Lelaki penyuka kopi yang satu ini suka gabut, apalagi kalau liga volli Korea belum mulai. T_T

Posting Komentar

⚙️Flash Sale! Garansi Resmi Merek ORIGINAL 100% 1 Tahun!!
✔️ RP82.900
RP320.000
Mix and Match Outfit Kerja 2025
Flash Sale ✅ Rp104.500   Rp225.000
(Selama persediaan & masa promo masih ada)