Kembang Api di Lapangan Banteng

Daftar Isi

Kembang Api di Lapangan Banteng
Malam itu, Jakarta seperti sedang jatuh cinta pada dirinya sendiri. Lampu-lampu kota menyala lembut, bersinar bersama semesta yang turut merayakan ulang tahun kota ke-498. Di tengah kerumunan yang padat di Lapangan Banteng, Dara berdiri memeluk tas selempangnya erat-erat. Bukan karena takut kecopetan, tapi karena hatinya lebih kacau dari isi tasnya sendiri.

Dari arah panggung utama, suara musik menggema, ditingkahi sorakan penonton. Lagu Cari Jodoh dari Band Wali baru saja dimulai. Penonton ikut bernyanyi, bahkan beberapa melambaikan tangan di udara, seolah setiap bait lagu itu mewakili harapan mereka yang masih menggantung di langit Jakarta.

Dara menoleh ke kanan. Di sana, sosok pria kurus berkacamata berdiri. Namanya Rafi. Teman lama sejak kuliah yang tak sengaja ditemui kembali seminggu lalu, di halte Transjakarta Harmoni. Percakapan mereka waktu itu sederhana, tetapi cukup untuk memantik keberanian Dara mengajaknya ke acara malam ini.

“Aku enggak nyangka lagu ini yang bakal nutup acara,” ujar Rafi sambil tertawa pelan.

Dara hanya tersenyum. Jantungnya berdetak tidak karuan. Bukan karena kembang api yang sebentar lagi menyala, melainkan karena kata-kata yang sudah berhari-hari ingin diucapkan belum juga berani keluar dari bibirnya.

“Rafi,” kata Dara akhirnya, lirih nyaris kalah oleh musik. “Kau masih ingat obrolan kita waktu kuliah?”

“Yang mana?” Rafi menoleh.

“Yang soal cari jodoh,” Dara tergelak, malu-malu. “Kau bilang, kalau di usia tiga puluh belum nemu, kita saling coba, ingat?”

Rafi diam. Matanya menatap Dara lama, seperti membaca lembaran buku yang dulu sempat tertutup debu waktu.

“Kau masih ingat?” tanya Dara lagi, kali ini dengan keberanian yang tinggal setipis nyali anak kecil saat petasan menyala.

Rafi tersenyum. “Aku ingat. Tapi waktu itu, kukira cuma bercanda.”

“Kau pikir aku bercanda?” tanya Dara pelan.

Sebelum Rafi menjawab, langit tiba-tiba menyala. Suara gemuruh kembang api menyayat malam. Semua kepala menengadah. Warna-warna berhamburan. Merah, biru, emas, hijau, satu per satu membentuk lukisan semesta yang hanya bisa dilihat dari Jakarta malam ini.

Di bawah langit yang pecah oleh cahaya, Rafi menggenggam tangan Dara.

“Kalau ini bukan pertanda, aku enggak tahu lagi harus nunggu yang seperti apa.”

Dara menoleh. Di matanya, letupan kembang api terpantul seperti cahaya baru dalam hidupnya.

“Jadi,” bisik Rafi, “bolehkah kita coba, seperti yang pernah kau ucap dulu?”

Dara mengangguk. Tersenyum. Malam itu, mereka bukan sekadar penonton dari pesta kota. Mereka adalah bagian dari cerita yang ditulis oleh semesta, dengan kembang api sebagai tanda titik temu.

Jakarta merayakan usianya. Dan di tengah kerumunan, dua hati juga merayakan keberanian—mencari, menemukan, dan memulai sesuatu yang lama tertunda.

Saat letusan terakhir kembang api memudar di langit, tepuk tangan dan sorakan masih menggema. Beberapa orang mulai beranjak, tapi Dara dan Rafi tetap berdiri di tempat, seolah waktu sengaja melambat demi mereka. Wajah-wajah penuh senyum lewat di sekitar, anak-anak melompat girang sambil mengejar bayangan cahaya yang masih tersisa di angkasa. Namun untuk Dara dan Rafi, dunia mengecil menjadi satu lingkar kecil di tengah Lapangan Banteng—lingkar yang hanya mereka berdua isi.

“Aku enggak nyangka,” kata Dara setelah hening yang terasa seperti puisi, “malam ini akan seindah ini.”

“Karena kembang apinya?” Rafi menyunggingkan senyum nakal.

“Karena jawabanmu,” balas Dara sambil menunduk, matanya menyentuh bayangan mereka yang menyatu di tanah.

Angin malam berhembus membawa aroma tanah basah dan lontong sayur dari pedagang kaki lima tak jauh dari situ. Kota ini memang tak pernah benar-benar tidur, dan malam seperti ini mengingatkan bahwa Jakarta bukan hanya tentang macet dan polusi—ada sisi romantis yang menyelinap di sela riuhnya.

“Aku selalu suka cara kota ini menyembunyikan keajaiban di balik keramaiannya,” ucap Rafi. “Seperti... mempertemukan kita lagi. Dan malam ini, memberi kita awal yang baru.”

Dara tertawa pelan. “Kau benar. Mungkin selama ini kita cuma perlu waktu yang tepat.”

Mereka kemudian berjalan menyusuri taman. Lampu taman menyala lembut, membuat bayangan mereka memanjang di tanah. Mereka tak lagi terburu-buru, seperti orang-orang lain yang ingin segera pulang. Bagi mereka, malam belum benar-benar usai.

“Aku pernah berharap banyak hal tentang cinta,” ujar Dara, “tapi ternyata, hal paling sederhana justru yang membuat jatuh hati: kehadiran.”

“Dan keberanian,” Rafi menambahkan. “Untuk mengingat janji lama, lalu mewujudkannya.”

Sambil berjalan, Rafi mengeluarkan ponselnya dan membuka kamera depan. “Satu foto, sebagai penanda. Supaya nanti, saat ulang tahun Jakarta berikutnya, bisa kita kenang.”

Mereka berpose di bawah patung pembebasan Lapangan Banteng. Di belakang mereka, sisa kembang api masih berpendar tipis seperti asap dupa yang tertinggal dalam doa.

Klik. Satu momen abadi.

Dan Jakarta tetap bersinar. Tak hanya dari lampu dan langit malamnya, tapi dari kisah-kisah kecil yang tersembunyi di antara jantung kotanya. Kisah tentang dua orang yang pernah saling lupa, lalu dipertemukan kembali, di bawah ledakan cahaya dan lagu lama yang mendadak terasa baru.

Kisah cinta yang sederhana, seperti kota itu sendiri—riuh, hangat, dan tak pernah berhenti memberi kejutan.

Malam semakin larut, tetapi denyut kota belum juga mereda. Dari kejauhan, suara tanjidor dan rebana terdengar samar, seolah enggan menyerah pada waktu. Dara dan Rafi duduk di bangku taman, mengamati orang-orang yang masih lalu-lalang—beberapa berswafoto di depan air mancur, lainnya menari kecil mengikuti alunan lagu dari pengeras suara yang belum dimatikan panitia.

“Dulu, waktu kecil, aku selalu pikir Jakarta ini terlalu besar untuk dipahami,” kata Dara, mengusap rambutnya yang tertiup angin. “Tapi malam ini, Jakarta terasa akrab. Mungkin karena aku duduk di sini, bersamamu.”

Rafi menatap langit, lalu memejamkan mata sesaat. “Bagi banyak orang, Jakarta tempat mengejar mimpi. Tapi buatku, Jakarta malam ini justru tempat pulang. Tempat hati menemukan jawabannya.”

Hening sesaat, hanya suara malam yang berbicara. Di kejauhan, ondel-ondel sudah dibawa kembali ke dalam mobil pengangkutnya, seperti legenda-legenda lama yang disimpan kembali dalam peti kenangan. Perayaan hampir benar-benar usai, tapi bagi Dara dan Rafi, sesuatu baru saja dimulai.

“Aku belum tahu seperti apa nanti jalan kita,” ujar Dara lirih. “Apakah mudah, atau seperti jalan-jalan kecil di Jakarta yang sering macet tanpa alasan.”

Rafi tersenyum, lalu menyentuh jemari Dara dengan lembut. “Kalau pun macet, kita bisa jalan kaki. Pelan-pelan. Sama-sama.”

Kata-katanya mungkin terdengar sederhana, tapi bagi Dara, kalimat itu seperti jembatan ke masa depan. Ia tahu, kehidupan tidak selalu tentang kejutan kembang api atau konser di bawah langit terbuka. Akan ada hari-hari biasa, hujan yang datang tanpa aba-aba, dan mungkin, pertengkaran kecil karena hal sepele. Tapi jika semua itu dijalani bersama orang yang tepat, maka tak satu pun dari itu terasa sia-sia.

Lampu-lampu mulai redup, tanda panitia mulai merapikan peralatan. Dara dan Rafi berdiri, beranjak menuju pintu keluar taman. Di tangan mereka, masih tergenggam tiket kecil bertuliskan: Puncak Perayaan HUT Jakarta ke-498.

“Simpen ya,” ujar Rafi, menatap tiket itu. “Bukan cuma sebagai kenangan acara, tapi sebagai tanda bahwa malam ini pernah ada. Dan kita pernah berani memilih.”

Dara menyelipkan tiket itu ke dalam dompet, tepat di balik foto lamanya bersama Rafi saat masih kuliah dulu. Dulu mereka hanya teman, kemudian asing, lalu kembali menjadi dua orang yang duduk bersama dalam hening yang hangat.

Di luar gerbang taman, Jakarta kembali pada dirinya yang biasa. Riuh jalan, lampu kendaraan, dan teriakan tukang ojek mencari penumpang. Tapi kini, kota itu menyimpan satu kisah kecil tentang cinta yang kembali tumbuh di antara riuhnya perayaan.

Dan malam itu, Jakarta bukan hanya merayakan ulang tahunnya. Ia juga menjadi saksi, bahwa di tengah gemerlap kembang api dan lagu lama, dua hati bisa bertemu kembali dan mulai menulis babak baru—tanpa skenario, tapi dengan harapan yang sama: berjalan bersama, tanpa tergesa.

____SELESAI____

Ditulis oleh Andik Chefasa — penulis lepas yang lahir dan tinggal di Nganjuk, Jawa Timur. Ayah satu anak, suami satu istri (iya dong 😄), dan pecinta kopi garis keras. Sudah suka menulis sejak zaman masih pakai kertas binder dan pulpen isi ulang.

Kereta Mimpi jadi buku kumpus pertamanya, setelah sebelumnya ikut nulis di 30-an antologi bareng berbagai komunitas. Pernah juga nulis bareng Tsuki No Hanna & Rose Arifa dalam novel Widoro Asih, cerita nyata tentang perempuan tangguh dari Desa Ngliman, Sawahan.

Sampai sekarang masih menerima job ghost writing (calling aja kalau butuh 😅😅😅😅). Beberapa cerpen dan puisi pernah tayang di media. Dua tahun terakhir lebih sering nulis artikel yang bisa dibaca di: hariantrust.com, proxyphone.id, idayantisudiro.com, pesonanganjuk.com, andikchefasa.com, temukansekitar.com, qubisa.com, blog.advan.id, dan lainnya.

Lagi semangat belajar dunia affiliate marketing dan lagi bangun website e-commerce sendiri. Di luar itu, suka banget ngopi sambil bengong, apalagi kalau Liga Voli Korea lagi jeda. 😅

Posting Komentar

⚙️Flash Sale! Garansi Resmi Merek ORIGINAL 100% 1 Tahun!!
✔️ RP82.900
RP320.000
Mix and Match Outfit Kerja 2025
Flash Sale ✅ Rp104.500   Rp225.000
(Selama persediaan & masa promo masih ada)