Kulit Langit di Balik Jendela
Daru duduk bersandar di kursi kayu, tubuhnya rapuh, matanya
nyalang menatap langit yang tampak seperti sedang menahan tangis. Ia tak
berbicara, hanya sesekali menengadah, seolah mencari makna dari warna-warna
ganjil yang turun dari langit, seperti serpihan kenangan yang tak mau pulang.
“Langit itu sedang alergi pada bumi,” katanya suatu sore
pada Lira, gadis yang sering datang dengan buku-buku tipis dan diam panjang.
“Ia kelelahan mencium aroma dunia yang terlalu pekat. Debu, suara bising,
janji-janji yang menguap, semua jadi alergen yang tak bisa ia tolak.”
Lira tak menanggapi. Ia hanya membuka halaman bukunya dan
membiarkan kata-kata Daru menetap di udara, seperti abu dupa yang tak punya
arah pulang.
Daru percaya, tubuh manusia dan langit saling berkaca.
Ketika kulitnya mulai memerah, gatal, dan terasa terbakar, ia tak menyalahkan
sabun, udara, atau makanan. Ia menyalahkan kenangan—semacam serpihan masa lalu
yang menempel di pori-pori, menyelinap lewat tidur dan bicara manis.
“Ada kenangan yang tak cocok dengan tubuhku,” ucapnya suatu
waktu. “Seperti parfum asing yang dulu disemprotkan orang yang sudah lama
pergi, dan kini baunya tiba-tiba kembali, menyesakkan.”
Lira kembali diam. Ia tak tahu apakah harus bersimpati atau
cukup mendengarkan. Ia hanya tahu bahwa Daru sedang berbicara tentang sesuatu
yang tak bisa dijamah obat, tak bisa disembuhkan dokter.
Pada malam-malam tertentu, Daru menggigil. Bukan karena
demam, tapi karena dunia terlalu dekat. Sentuhan halus debu di udara bisa
membuatnya merasa seperti disayat. Suara klakson dari ujung jalan bisa memantik
rasa panas di kulitnya. Bahkan kata-kata, jika terlalu kasar, bisa membuat
dadanya sesak.
Ia hidup dalam dunia yang terlalu keras untuk orang yang kulitnya setipis mimpi.
Suatu pagi, Lira datang dan menemukan kursi kayu itu kosong.
Jendela masih terbuka, dan angin masih datang membawa serpihan langit yang tak
utuh. Di meja, ada secarik kertas dengan tulisan tangan Daru:
“Aku tak alergi pada dunia. Aku hanya tubuh yang tak lagi
mampu menawar realitas. Maka biarlah aku mengelupas seperti kulit yang
bersalin. Mungkin, di balik ini semua, ada langit yang baru.”
Lira membaca berulang-ulang, lalu menyimpannya dalam halaman
terakhir buku yang paling ia sukai. Di luar, langit hari itu tampak bersih,
nyaris biru polos. Seperti luka yang sudah mengering. Tapi Lira tahu, itu hanya
sementara. Sebab setiap langit, seperti Daru, menyimpan alerginya
sendiri-sendiri.
Dan dunia… dunia tak pernah sungguh-sungguh sembuh.
***
Sejak kepergian Daru, waktu di rumah itu tidak
lagi berdetak dengan cara yang biasa. Lira masih datang setiap minggu, membuka
jendela yang sama, menaruh bukunya di meja, dan membiarkan angin
mengobrak-abrik halaman tanpa marah. Ia seperti tamu dalam rumah yang perlahan
ditinggalkan oleh ingatan, tapi tetap enggan pulang.
Suatu ketika, Lira mencoba tidur di kursi kayu
peninggalan Daru. Ia ingin tahu, barangkali dari duduk yang sama, ia bisa
memahami kesunyian yang dulu Daru peluk erat seperti selimut musim hujan. Namun
malam itu, tubuhnya gatal. Bukan karena tungau atau debu, tapi seperti rasa
asing yang tumbuh dari dalam. Seperti kata yang ingin keluar tapi tak punya
huruf.
Ia ingat ucapan Daru: “Tubuhku menolak dunia
dengan caranya sendiri.”
Dan malam itu, Lira merasa tubuhnya mulai paham.
Di sudut lain kota, hujan turun. Tidak deras,
tidak ringan, hanya cukup untuk membuat warna-warna di jalanan larut seperti
cat air. Seorang lelaki tua dengan mantel kumal berjalan melawan arah angin. Di
kantongnya ada sepotong surat tak terkirim—untuk seseorang yang tak pernah
benar-benar tinggal.
Surat itu, entah bagaimana, pernah sampai di
tangan Daru. Isinya bukan kabar, bukan puisi, hanya kalimat pendek:
“Apa kau juga merasa bahwa dunia ini seperti
pakaian yang terlalu sempit, padahal kita tak pernah memintanya dijahitkan
untuk tubuh kita?”
Daru tak pernah menjawab. Tapi ia menuliskan
puisi di balik surat itu:
“Bumi mungkin rumah,
tapi tak semua dari kita
lahir dengan kunci pintunya.”
Waktu berlalu, dan Lira mulai belajar hidup
dengan cara Daru—memahami gejala dunia dengan tanda-tanda kecil. Ia mulai
sensitif terhadap suara. Kata "maaf" yang terlambat bisa membuat
tengkuknya panas. Ia mulai alergi pada kepalsuan—senyum tipis, tawa pesta, dan
motivasi yang dipaksa. Ia mulai menyadari, tubuh bukan sekadar daging dan
tulang, melainkan bahasa yang jujur atas apa yang tak bisa diucap.
Ia juga mulai menulis. Bukan untuk dibaca
siapa-siapa, tapi untuk menampung apa yang tak sanggup tinggal di dada. Kadang
ia menulis tentang langit, kadang tentang luka yang tumbuh seperti jamur saat
terlalu lama diam. Tapi paling sering, ia menulis surat pada Daru.
Surat-surat itu tak pernah dikirim.
Ia menyimpannya di bawah jendela yang masih setia terbuka, berharap angin, suatu waktu, bisa membacanya.
Tahun berlalu. Kota berubah warna. Bangunan
tumbuh seperti jamur. Tapi langit—langit tetap punya kulit yang sama: rentan,
mudah meradang, dan sesekali merah seperti perasaan yang tak diberi tempat.
Dan Lira, di balik jendela itu, masih duduk
sambil membaca surat-surat yang ia tulis sendiri. Dalam diam, ia tahu:
barangkali tubuhnya tak sedang sakit.
Barangkali, dunia yang tak benar-benar sembuh.
***
Musim berubah diam-diam, seperti seseorang yang
berpindah keyakinan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pohon-pohon di halaman
belakang mulai menggugurkan daun-daunnya lebih awal, seolah tahu tak ada tangan
yang akan memungutnya satu per satu.
Di meja Daru, Lira menaruh setangkai bunga
rumput—tak harum, tak indah, tapi ia suka cara batangnya berdiri walau ditiup
angin. Ia pernah berkata dalam hati: “Barangkali yang kuat bukan mereka yang
besar, tapi yang bisa berdiri meski tak diperhitungkan.”
Hari itu, ia mulai menulis bukan sekadar surat.
Tapi cerita.
Tentang seorang lelaki yang tubuhnya menolak
realitas, lalu larut ke dalam angin. Tentang dunia yang punya terlalu banyak
wewangian, terlalu banyak sentuhan, terlalu banyak tekanan. Ia menulis tokoh
bernama Daru, tapi wajahnya kabur. Suaranya samar. Hanya satu yang jelas: Daru
tak pernah benar-benar pergi.
Dalam tulisannya, Daru tinggal di antara batas tidur dan bangun, muncul dalam mimpi yang terlalu terang untuk disebut bunga tidur, tapi terlalu pudar untuk disebut nyata. Lira menulisnya dengan pelan, seperti membalut luka yang baru sembuh agar tak sobek lagi.
Malam berikutnya, Lira bermimpi aneh.
Ia berada di ruang putih. Hampa. Lantai dan
dinding seperti awan yang membeku. Di tengah ruang itu, berdiri seseorang
dengan jubah dari benang-benang halus, seolah dijahit dari sisa-sisa perasaan
yang tak selesai.
“Lira,” suara itu familiar. “Kau mulai bisa
membaca tubuhmu sendiri.”
Lira menatap. Itu Daru—tapi lebih muda. Matanya
terang, dan kulitnya bersih dari segala kemerahan.
“Apa tubuhmu masih menolak dunia?” tanya Lira
pelan.
Daru tersenyum, lalu menunjuk dadanya. “Bukan
menolak. Aku hanya tak lagi menelan semuanya.”
“Kau sembuh?”
“Aku belajar memilih. Itu saja.”
Lira terbangun dengan air mata mengering di pipi.
Di luar, langit belum subuh, tapi ada cahaya tipis di balik awan. Ia tahu,
mungkin mimpi itu bukan pesan. Mungkin cuma sisa cerita yang terlalu lama ia
tahan.
Tapi pagi itu, ia berani menulis sesuatu yang
belum pernah ia tulis: akhir.
Bukan akhir untuk Daru.
Bukan akhir untuk cerita.
Melainkan akhir dari keyakinan bahwa ia harus menanggung semuanya sendirian.
Kini, setiap pagi, Lira membuka jendela tanpa
takut angin membawa debu. Ia sudah mengganti tirai, tapi kursi kayu itu masih
ia biarkan di sana, sebagai pengingat bahwa ada luka yang tak bisa
disembuhkan—hanya diterima, dipahami, dan diberi tempat.
Langit pun mulai berbeda. Masih rentan. Masih
sesekali meradang. Tapi Lira tak lagi takut. Ia tahu, kulit langit memang
tipis, tapi ia tetap payung paling setia bagi bumi yang gaduh.
Dan dirinya sendiri—barangkali bukan seseorang
yang tahan terhadap semua hal. Tapi ia adalah seseorang yang tahu kapan harus
menghindar, kapan harus memeluk, dan kapan harus melepas.
___SELESAI___
Andik Chefasa — penulis lepas yang lahir dan tinggal di Nganjuk, Jawa Timur. Ayah satu anak, suami satu istri (iya dong 😄), dan pecinta kopi garis keras. Sudah suka menulis sejak zaman masih pakai kertas binder dan pulpen isi ulang.
Kereta Mimpi jadi buku kumpus pertamanya, setelah sebelumnya ikut nulis di 30-an antologi bareng berbagai komunitas. Pernah juga nulis bareng Tsuki No Hanna & Rose Arifa dalam novel Widoro Asih, cerita nyata tentang perempuan tangguh dari Desa Ngliman, Sawahan.
Sampai sekarang masih menerima job ghost writing (calling aja kalau butuh 😅😅😅😅). Beberapa cerpen dan puisi pernah tayang di media. Dua tahun terakhir lebih sering nulis artikel yang bisa dibaca di: hariantrust.com, proxyphone.id, idayantisudiro.com, pesonanganjuk.com, andikchefasa.com, temukansekitar.com, qubisa.com, blog.advan.id, dan lainnya.
Lagi semangat belajar dunia affiliate marketing dan lagi bangun website e-commerce sendiri. Di luar itu, suka banget ngopi sambil bengong, apalagi kalau Liga Voli Korea lagi jeda. 😅
Posting Komentar