Satu Kota, Dua Kepala, dan Langkah-Langkah yang Tidak Dikenang

Daftar Isi

Satu Kota, Dua Kepala, dan Langkah-Langkah yang Tidak Dikenang

Di tengah riuh alun-alun kota Nganjuk yang hidup hingga larut malam, Kidika duduk bersisian dengan Rena di bangku kayu yang menghadap ke air mancur menari. Udara hangat berpadu semilir angin malam, membawa aroma khas jagung bakar, kacang rebus, dan telur gulung dari pedagang kaki lima yang berjejer di sepanjang trotoar. Di kejauhan, terdengar tawa anak-anak yang bermain mobil remot dan balon tiup, bercampur dengan suara pengamen jalanan yang menyanyikan lagu-lagu nostalgia. Lampu-lampu taman menggantung rendah, memantulkan kilau lembut di wajah Rena yang tenang namun tampak lelah.

Di pangkuan masing-masing, laptop menyala—layar penuh dengan draf artikel tentang software terbaru, tabel spesifikasi, strategi selling produk spreadsheet, dan notifikasi  deadline yang menderu diam-diam. Jari-jari mereka berhenti di atas papan ketik, mata sibuk menatap paragraf yang tak kunjung selesai. Namun saat pandangan mereka saling bertaut, seolah bunyi dunia meredup. Tak perlu ucapan, hanya tatap diam yang sepakat: malam ini cukup. Serempak, laptop ditutup. Suara klik itu seperti isyarat pembebasan.

Mereka berdiri perlahan, lalu mulai berjalan tanpa arah pasti. Menyusuri keramaian kota kecil yang bersahabat, melewati roda warna-warni odong-odong, lampu sepeda hias berbentuk binatang, dan suara pedagang yang menawarkan balon karakter kartun. Di tengah semua itu, Kidika dan Rena tidak bicara soal artikel, AI, atau deadline. Mereka hanya berjalan, membiarkan langkah kaki berbicara dalam bahasa yang tidak ditulis—hanya dirasa.

“Kota ini berubah,” ucap Kidika pelan, nyaris tak terdengar di tengah riuh malam yang perlahan mulai surut.

Rena tidak langsung menoleh. Matanya masih tertuju pada lampu taman yang berpendar kuning di sela-sela ranting pohon beringin. Ia menggenggam sisa kacang di tangannya, tapi tak lagi memakannya.

“Kita ke mana saja selama ini?” lanjut Kidika, suaranya seperti bukan untuk ditanggapi, melainkan hanya ingin dikeluarkan—seperti embusan napas setelah menahan terlalu lama.

Rena menarik napas perlahan, tapi tetap tak menjawab. Hanya suara gerimis kecil yang mulai jatuh di atap lapak sebelah, mengetuk-ngetuk terpal lusuh seperti mengisi jeda.

Kidika menunduk, menatap trotoar basah yang dipenuhi bayangan lampu. Ia tidak menatap Rena. Mungkin takut melihat jawaban yang tak diucapkan. Mungkin tahu bahwa tak semua pertanyaan memang butuh balasan.

Malam tetap berjalan. Waktu tetap mengalir. Tapi di pojok alun-alun yang lembap itu, dua manusia yang pernah tenggelam dalam pekerjaan, diam-diam sedang mencoba muncul kembali ke permukaan.

Rena menatap ke arah pedagang kaki lima yang sibuk mengipas sate di ujung jalan. Asap mengepul pelan, membingkai tubuh lelah yang tetap tersenyum saat melayani pembeli. Tatapan itu lama. Seolah dari sana ia melihat bayangan diri sendiri—bukan sebagai penjual makanan, tapi sebagai penjual kata-kata. Kata yang dibungkus rapi agar tampak menggoda, padahal di baliknya ada lembur panjang, mata merah, dan waktu yang tak pernah cukup untuk sekadar merasa hidup.

“Lucu ya,” gumamnya pelan, lebih pada angin malam daripada pada Kidika. “Satu laptop kelas menengah, tujuh jutaan, bisa terjual ribuan. Jutaan, mungkin. Tapi siapa yang tahu siapa yang menulis agar orang tertarik membelinya? Siapa yang menghitung malam-malam yang kita lewati, sendiri di kamar, di kota yang berbeda, di balik layar yang tak pernah benar-benar mati?”

Kidika masih diam. Rena melirik sekilas, lalu menatap lagi ke jalan yang mulai sepi. “Kita baru bertemu, tapi sudah dua tahun saling tahu tanpa pernah bertatap muka. Aku di Surabaya, kamu di Madiun. Kita bertukar file, bukan cerita. Bertukar revisi, bukan suara. Semua bermula dari pekerjaan, dari layar yang sama, tapi tak pernah cukup dekat untuk disebut teman, apalagi lebih dari itu.”

Ia tersenyum kecil, seolah kenangan itu manis sekaligus asing. “Dulu, waktu SMP, kita mungkin masih mengisi buku harian dengan pena. Sekarang, bahkan isi kepala kita disimpan di cloud. Dan kadang rasanya hidup ini cuma dikelola oleh folder, tenggat, dan koneksi internet.”

Angin bertiup pelan. Kidika masih belum menjawab. Tapi Rena tahu, ia sedang mendengarkan. Dan untuk malam itu saja, itu sudah cukup.

“Cengeng,” ujar Kidika datar, tanpa menoleh. “Cukup balsem aja kalau mata lelah, leher kaku. Nggak perlu drama. Emangnya gegara tulisanmu saja mereka bisa survive? Mereka juga ngiklan ke mana-mana, ngatur distribusi, optimasi SEO, bikin campaign. Lu pikir lu sendirian?”

Rena tak membalas. Tapi Kidika belum selesai. Suaranya pelan, tapi kali ini ada nada lain di dalamnya—bukan marah, bukan juga getir. Mungkin hanya lelah yang terlalu lama mengendap.

“Kadang aku mikir,” lanjutnya, “gimana kalau teknologi beneran terus berevolusi. Bukan sekadar chip makin cepat, atau baterai makin awet. Tapi benar-benar lompat jauh. Dua ratus lima puluh tahun ke depan, misalnya. Bayangin dunia di mana manusia udah punya laboratorium pengembangan perangkat lunak sendiri di luar orbit. Semua konten ditulis otomatis. Nggak perlu lagi jari-jari kayak kita. Nggak perlu mikir gaya bahasa, riset kata kunci, atau mikir kalimat penutup yang halus tapi tetap menjual.”

Ia tertawa kecil. “Mereka mungkin duduk santai di kubikel transparan yang melayang di udara, sambil ngopi tanpa takut tumpah. Lalu berkelakar, ‘Kenapa ya dulu manusia harus nyiksa mata, begadang, cuma buat nulis konten tentang laptop yang akhirnya dibuang tiga tahun kemudian?’”

Kidika menghela napas. “Dan mungkin saat itu, ada yang iseng buka arsip digital, nemuin tulisan kita. Terlihat usang. Terlalu manusiawi. Tapi justru di situ mereka bisa tahu... kalau dulu, pernah ada orang-orang yang menyentuh kata-kata dengan jari, bukan algoritma.”

Diam menggantung lagi di antara mereka. Tapi bukan lagi diam yang asing. Kini terasa seperti jeda dari cerita panjang yang masih ingin mereka bagi, meski belum tahu kapan akan diakhiri.

Langkah kaki kecil menghampiri lebih dulu—suara sandal jepit, lalu tawa renyah. Tiara berlari pelan ke arah Rena sambil membawa balon yang mulai kempis. Di belakangnya, Zaki—suami Rena—datang dengan tubuh tinggi dan tenang, menggandeng satu kresek berisi jajanan pasar. Rena tersenyum, berdiri, dan menyambut mereka. Tak lama, dari arah lain, muncul Aleeya yang langsung memeluk kaki Kidika sambil berseru riang, disusul oleh Alima—istri Kidika—yang datang dengan tas selempang penuh botol minum dan tisu basah.

“Kota kecil yang banyak berubah ya,” gumam Zaki sambil memandang air mancur yang kini berdansa dengan lampu warna-warni. “Dulu enggak begini...”

“Dulu mah cuma lapangan tanah, kalau hujan becek, kalau kering ngelotok,” timpal Alima sambil tertawa. “Sekarang jadi terang begini. Cakep. Romantis. Tapi tetep ya... kayak biasa...”
Ia mendekat dan langsung nerocos, membuyarkan udara sunyi yang sedari tadi menyelimuti Kidika dan Rena. Obrolan mengalir cepat—tentang anak, pekerjaan, kebijakan baru bos, harga sembako, dan nostalgia. Rena sesekali mengangguk. Kidika hanya senyum kecil. Mereka bicara secukupnya.

Malam semakin larut. Setelah cukup berbagi tawa dan cerita, akhirnya mereka berpisah. Tiara digendong Zaki, Aleeya naik ke pundak Kidika. Satu demi satu melangkah ke arah parkiran. Kota kecil ini—Nganjuk—memang selalu menjadi titik temu. Tidak terlalu ke timur, tidak terlalu ke barat. Tempat yang cukup adil bagi mereka yang tinggal terpisah, tapi sesekali ingin merasa dekat.

Sebelum benar-benar berpisah, langkah Kidika dan Rena melambat. Sekilas, pantulan cahaya taman memperlihatkan penampilan mereka—sederhana, khas pekerja lepas yang tak terikat kantor tapi tetap memikul beban dunia digital.

Kidika mengenakan kaos polos warna abu-abu kusam, bagian lehernya mulai melar, dipadukan dengan celana bahan longgar warna hitam pudar yang dulunya mungkin celana kantor. Sepatunya sneakers hitam penuh debu, merek yang tak lagi terbaca. Rambutnya sedikit acak, janggut tipisnya tidak rapi, tapi justru tampak jujur: begitulah rupa pengangguran terhormat yang otaknya selalu bekerja diam-diam, bahkan saat duduk di trotoar.

Rena mengenakan hijab segi empat warna cokelat susu yang dililit rapi namun sederhana, ujungnya dibiarkan menjuntai ke bahu. Di baliknya, hoodie krem kebesaran membungkus tubuhnya, menyembunyikan bentuk, menyuarakan kenyamanan. Lengan panjangnya menutupi hampir setengah telapak tangan, sementara celana jogger gelap yang sedikit longgar dan sepatu slip-on usang menyempurnakan penampilannya. Tas kecil selempang menggantung ringan di sisi kiri, penuh kabel charger, flashdisk, dan sisa-sisa pekerjaan yang belum rampung.

Tak ada aksesoris mencolok. Tak ada dandanan yang dibuat-buat. Namun dari sorot mata dan caranya berjalan, terlihat jelas bahwa ia bukan perempuan biasa—ia perempuan yang pernah bertarung diam-diam dengan sunyi, lelah, dan tenggat waktu. Perempuan yang memilih hidup dari kata-kata, meski dunia jarang membaca namanya.

____SELESAI____

Ditulis oleh Andik Chefasa — penulis lepas yang lahir dan tinggal di Nganjuk, Jawa Timur. Ayah satu anak, suami satu istri (iya dong 😄), dan pecinta kopi garis keras. Sudah suka menulis sejak zaman masih pakai kertas binder dan pulpen isi ulang.

Kereta Mimpi jadi buku kumpus pertamanya, setelah sebelumnya ikut nulis di 30-an antologi bareng berbagai komunitas. Pernah juga nulis bareng Tsuki No Hanna & Rose Arifa dalam novel Widoro Asih, cerita nyata tentang perempuan tangguh dari Desa Ngliman, Sawahan.

Sampai sekarang masih menerima job ghost writing (calling aja kalau butuh 😅😅😅😅). Beberapa cerpen dan puisi pernah tayang di media. Dua tahun terakhir lebih sering nulis artikel yang bisa dibaca di: hariantrust.com, proxyphone.id, idayantisudiro.com, pesonanganjuk.com, andikchefasa.com, temukansekitar.com, qubisa.com, blog.advan.id, dan lainnya.

Lagi semangat belajar dunia affiliate marketing dan lagi bangun website e-commerce sendiri. Di luar itu, suka banget ngopi sambil bengong, apalagi kalau Liga Voli Korea lagi jeda. 😅

 

Posting Komentar

⚙️Flash Sale! Garansi Resmi Merek ORIGINAL 100% 1 Tahun!!
✔️ RP82.900
RP320.000
Mix and Match Outfit Kerja 2025
Flash Sale ✅ Rp104.500   Rp225.000
(Selama persediaan & masa promo masih ada)