Bab 5 - Titik Kecil Konflik
Kelegaan dari presentasi Biologi
itu cepat berlalu, digantikan oleh kegelisahan yang menggerogoti. Pujian Pak
Chandra masih terngiang, sebuah bukti nyata bahwa pesan dari Naya (2035)
benar-benar bekerja. Perasaan berdaya yang aneh memang terasa manis, seperti
memegang kunci rahasia dunia. Namun, sebuah rahasia selalu punya harga. Harga
yang kini mulai terasa berat di bahuku.
Mira, sahabat terbaikku, adalah
orang pertama yang merasakan perubahan. Ia selalu peka, ibarat seismograf emosi
pribadiku. Sejak pagi, sesudah kelas Biologi, saat kami berjalan menuju kantin
sekolah, ia tak henti menatapku. Tatapan matanya yang tajam seolah mencoba
menembus pertahanan yang aku bangun.
“Kamu aneh sekali, Naya,” kata
Mira, menyeruput es tehnya dengan sedotan. Dinginnya gelas membasahi telapak
tangannya. Aroma nasi goreng yang kuat menusuk hidung dari warung sebelah.
“Sejak kemarin. Kayak ada yang kamu simpan, tapi aku enggak tahu apa.”
Aku berusaha menyembunyikan
keterkejutanku. Jantungku berdebar kencang. “Aneh bagaimana? Aku baik-baik
saja.”
“Bukan baik-baik saja, tapi…
berbeda,” balas Mira, menaruh gelas ke meja dengan sedikit hentakan. Suaranya
terdengar tidak puas. “Kamu lebih sering melamun, senyummu pun terasa
dipaksakan. Tadi di kelas Biologi, padahal presentasi kita sukses besar, kok kamu
malah kelihatan tegang begitu?”
Aku menunduk, mengaduk-aduk es
tehku. Esnya bergemelincir. “Aku cuma gugup, seperti biasa,” jawabku, mencoba
meyakinkan, meski tahu suaraku sedikit gamang. “Kamu tahu sendiri aku memang
suka gugup kalau presentasi.”
Mira menyipitkan mata. Kilatan
curiga tergambar jelas di wajahnya. “Naya, kita sudah berteman dari SD. Aku
tahu bedanya gugup dengan menyimpan rahasia besar. Jangan coba mengelabui aku.”
Pernyataannya langsung menohok.
Lidahku kelu. Aku tidak bisa membalas tatapannya. Benar yang Dito bilang,
semakin spesifik pesan yang datang, semakin besar risiko yang aku hadapi,
termasuk risiko merusak persahabatan.
“Tidak ada rahasia apa-apa, kok,”
bisikku, mencoba terdengar santai, tapi gagal. Aku bisa merasakan keringat
dingin membasahi punggungku.
“Tidak ada?” Mira mengangkat
sebelah alisnya. “Lalu kenapa tadi pagi buru-buru mencari Dito? Aku melihatnya,
Naya. Kamu bahkan tidak menungguku padahal sudah janji akan bercerita semua.”
Aku gelagapan. “Aku… aku hanya
ingin membahas materi Biologi lagi dengannya. Dia kan lebih pintar. Mungkin ada
yang terlewat.”
Mira terkekeh sinis, sebuah tawa
yang jarang aku dengar dari mulutnya. “Materi Biologi? Naya, presentasi kita
sudah selesai. Bahkan Pak Chandra sudah memuji. Tidak ada lagi yang perlu
dibahas.” Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, sorot matanya kini penuh
kekecewaan. “Kamu tidak mau cerita denganku?”
Aku menggeleng lemah. Kepalaku
terasa berat. Bagaimana aku bisa menjelaskan tentang notifikasi dari diriku di
masa depan? Bagaimana ia akan bereaksi? Mira bisa saja menganggapku gila, atau
lebih buruk lagi, berpikir aku sedang main-main dengan sesuatu yang berbahaya.
Perlindungan yang ia miliki terhadapku bisa berubah menjadi kepanikan.
“Aku hanya… sedang banyak pikiran,”
ujarku, mencoba menemukan alasan yang masuk akal. “Orang tuaku kan sedang
pusing soal biaya sekolah. Aku hanya membantu mereka mencari jalan keluar.”
Itu adalah sebagian kebenaran.
Orang tuaku memang sedang kesulitan ekonomi, tapi masalah itu sudah ada sebelum
notifikasi pertama datang.
Mira membuang napas kasar. “Naya,
aku tahu. Aku tahu orang tuamu sedang berjuang. Tapi kamu tidak pernah
menyembunyikan hal seperti ini sebelumnya dariku. Kamu selalu bercerita apapun.
Ini bukan hanya soal biaya sekolah, kan?”
Keheningan menggantung di antara
kami, berat dan penuh tuduhan. Suara riuh kantin terasa samar. Aku hanya bisa
mendengar detak jantungku sendiri, yang berdetak seiring dengan kekecewaan di
mata sahabatku.
“Aku tidak bisa menceritakannya
sekarang,” kataku akhirnya, menyerah mencoba berbohong. Ada sedikit rasa lega
karena mengakui, meski hanya sebagian kecil, kebenaran tersebut. “Tapi bukan
berarti aku tidak percaya padamu. Aku hanya… tidak tahu harus mulai dari mana.”
Mira menyandarkan punggungnya ke
sandaran kursi. Wajahnya mengeras. “Baiklah. Kalau kamu memang tidak mau
berbagi, aku tidak akan memaksa.” Ada nada pahit dalam suaranya. “Tapi jangan
heran kalau aku merasa kamu semakin menjauh. Aku selalu ada untukmu, Naya. Aku
pikir kita tidak punya rahasia satu sama lain.”
Kata-kata tersebut menusuk relung
hatiku. Mira benar. Aku telah melanggar salah satu aturan tak tertulis
persahabatan kami: selalu berbagi. Perasaan bersalah mencengkeramku. Aku
melihat air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Mira, jangan begitu. Aku janji aku
akan cerita pada waktunya,” kataku, mencoba meraih tangannya, namun ia
menariknya menjauh.
“Waktunya kapan, Naya? Sampai kamu
benar-benar terjerumus dalam masalah yang tidak bisa kamu tangani sendiri?”
tantang Mira, suaranya naik satu oktaf. Beberapa pasang mata di sekitar kami
mulai melirik. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu berubah begini, apa yang
membuatmu jadi orang yang suka menyimpan rahasia, tapi aku tidak suka. Aku
tidak kenal Naya yang seperti ini.”
Ia bangkit dari kursi, kursinya
berderit melengking di lantai kantin yang kotor. “Aku harus pergi. Ada rapat
OSIS.”
Sebelum aku bisa berkata apa-apa,
ia sudah berbalik dan berjalan cepat meninggalkan kantin. Aku hanya bisa
menatap punggungnya yang menjauh, rasa sesak memenuhi dadaku. Tatapan mata
teman-teman sekelas yang melirikku terasa seperti pisau tajam.
Aku tahu aku telah menyakiti Mira.
Aku telah mengkhianati kepercayaannya. Rahasia dari ‘Naya (2035)’ telah mulai
menggerogoti hal paling berharga dalam hidupku: persahabatanku.
Sepanjang sisa hari itu, aku tidak
bisa fokus. Pikiran tentang Mira yang marah dan kecewa terus menghantuiku. Di
kelas Fisika, Pak Harianto menjelaskan tentang hukum gravitasi, namun yang
terdengar di telingaku hanyalah gema kata-kata Mira. Aku bahkan tidak tahu
bagaimana menghadapi Dito nanti. Apakah dia akan menganggap ini sebagai bagian
dari "risiko" yang sudah ia ingatkan?
Saat pulang sekolah, aku sengaja
berjalan sendiri. Ponsel di saku celanaku terasa dingin. Setiap getaran kecil
membuatku terlonjak, berharap itu adalah pesan dari Mira yang berubah pikiran,
namun yang datang hanyalah notifikasi aplikasi belanja. Langit sore tampak
muram, sama seperti perasaanku. Aku menyadari satu hal krusial hari itu:
notifikasi yang kuterima tidak hanya membawa keuntungan, tetapi juga
konsekuensi yang tak terlihat. Kehilangan kepercayaan dari sahabat sendiri
adalah harga yang terlampau mahal. Aku tahu, perpisahan kecil dengan Mira hanya
permulaan. Aku harus segera bertindak, atau aku akan kehilangan lebih banyak
lagi.
Aku bertanya-tanya, apakah ‘Naya
(2035)’ tahu harga yang harus kubayar untuk setiap petunjuk yang ia berikan?
Apakah ia peduli? Atau ini hanyalah bagian dari rencana besarnya, sebuah
pengorbanan kecil demi tujuan yang lebih besar dan belum terungkap? Aku
mencengkeram ponselku, pertanyaan-pertanyaan tersebut menggantung di udara,
berat dan tanpa jawaban. Aku merasa semakin sendirian, meskipun pesan-pesan
misterius itu seharusnya membimbingku. Aku tahu, hari-hari ke depan akan jauh
lebih sulit, dan aku harus memilih, berpegang pada rahasia ini atau
menyelamatkan apa yang masih tersisa dari diriku yang lama. Mana yang harus
kuprioritaskan? Rahasia masa depan atau orang-orang yang ada di hadapanku
sekarang? Itu adalah pertanyaan yang mendesak, dan aku tahu aku tidak bisa
menghindarinya lebih lama lagi.(*)
Posting Komentar untuk "Bab 5 - Titik Kecil Konflik"
Posting Komentar