Bab 6 - Kesan Besar Pertama

 

notif untuk naya

Pagi itu, udara terasa lebih dingin, menampar pipiku seperti konsekuensi nyata dari pertengkaran semalam dengan Mira. Bahkan gema pujian Pak Chandra untuk presentasi Biologi itu tak mampu menghangatkan hatiku yang beku. Rasanya seperti memegang kunci rahasia dunia, namun dengan harga yang tak terlukiskan. Harga yang kini merangkak naik, menggerogoti persahabatanku.

Aku duduk di tepi ranjang, ponselku tergeletak dingin di sampingku. Jam di layar menunjukkan pukul 00:01. Seperti janji yang tak pernah terucap, sebuah notifikasi muncul, cahayanya memecah kegelapan kamar.

Naya (2035): Hati-hati di persimpangan Jalan Anggrek, jam 07.15. Sebuah motor akan terjatuh. Bawa kotak P3K. Jangan hanya melihat.

Jantungku berdebar kencang. Pesan kali ini lebih dari sekadar peringatan untuk diriku. Pesan itu adalah sebuah perintah, sebuah instruksi untuk bertindak. Setelah semua yang terjadi dengan Mira, setelah rasa bersalah yang menusuk, apakah aku sanggup mengikuti petunjuk lain dari Naya (2035)? Apakah aku masih bisa memercayai "diriku" di masa depan yang seolah tak peduli dengan keretakan di masa kiniku?

“Jangan hanya melihat,” bisikku pada diri sendiri, mengulang kalimat terakhir dari notifikasi. Suaraku tercekat di tenggorokan. Ini bukan lagi soal menghindari ujian atau menemukan dompet. Ini soal orang lain. Soal tanggung jawab.

Selama hampir satu jam, aku bergulat dengan pikiranku. Aku bolak-balik memeriksa ponsel, membaca ulang pesan itu, seolah mencari celah atau alasan untuk tidak melakukannya. Haruskah aku memberitahu Dito? Tapi ia pasti akan bertanya lagi, "Kenapa kali ini lebih spesifik?" Aku tidak punya jawaban. Mira? Tidak. Aku tidak bisa menambah bebannya lagi setelah kemarin. Aku merasa sendirian di tengah persimpangan moral yang dingin.

Ketika alarm berbunyi pada pukul enam pagi, aku sudah membuat keputusan. Rasa bersalah pada Mira masih menggerogoti, namun bayangan sebuah motor terjatuh di jalanan, dengan aku yang hanya diam, terasa jauh lebih berat. Aku mengambil kotak P3K kecil di lemari obat, yang biasa digunakan untuk luka saat bermain di taman belakang. Aku menyelipkannya ke dalam tas, bersama kamera analog dan buku catatan kecilku.

Perjalanan ke sekolah pagi itu terasa berbeda. Biasanya, aku akan berjalan santai, menikmati aroma pagi dari warung-warung makan yang baru buka. Hari itu, langkahku tergesa, penuh kegelisahan. Setiap persimpangan terasa seperti ujian, setiap motor yang lewat membuatku menahan napas. Aku sampai di Jalan Anggrek lebih awal, tepat pukul 07.00.

Aku memilih tempat yang tidak terlalu mencolok, di dekat sebuah pohon rindang di sisi jalan. Aku berpura-pura sedang memotret. Lensaku mengarah ke bunga-bunga liar, tapi mataku terus mengawasi persimpangan. Suara klakson mobil, deru motor, dan obrolan samar dari para pejalan kaki memenuhi telingaku. Aku menunggu, jantung berdetak seperti drum yang tak sabar.

Waktu merangkak lambat. Jam 07.10. Jam 07.14. Aku mulai merasa bodoh. Mungkin notifikasi itu salah. Mungkin ini hanya lelucon kejam dari "diriku" di masa depan. Tapi tepat saat pikiran itu melintas, pada pukul 07.15, sebuah insiden terjadi.

Seorang bapak-bapak paruh baya yang mengendarai motor bebek, berusaha menghindari sebuah lubang besar yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia mengerem mendadak, membuat ban belakangnya selip. Dalam hitungan detik, motor itu oleng dan terjatuh, membawa serta bapak itu. Dagangannya — sekumpulan bunga mawar segar — berserakan di aspal.

"Ya ampun!" teriakku refleks, menjatuhkan kamera. Aku berlari menghampirinya tanpa berpikir dua kali. Beberapa orang di sekitar mulai mendekat, namun aku menjadi yang pertama.

"Pak, Bapak tidak apa-apa?" tanyaku, berlutut di sampingnya. Bapak itu meringis kesakitan, memegang pergelangan kakinya. Wajahnya pucat pasi. Beberapa goresan muncul di lengannya.

"Tidak apa-apa, Nak. Hanya kaget," jawabnya, suaranya sedikit gemetar. Namun, aku bisa melihat ia kesulitan berdiri. "Kakiku sepertinya terkilir."

"Tunggu sebentar, Pak," kataku, membuka tas dan mengeluarkan kotak P3K. Aku membersihkan luka di lengannya dengan hati-hati. Udara pagi yang dingin terasa sejuk di tanganku yang bergetar. "Mari saya bantu bangun, Pak."

Dengan bantuan beberapa orang yang akhirnya ikut mendekat, kami membantu bapak itu duduk di trotoar. Aku melihat bunga mawar yang berserakan, beberapa sudah hancur. "Dagangan Bapak..."

"Tidak apa-apa, Nak. Yang penting saya tidak luka parah," ucapnya, menatapku dengan mata berbinar. "Terima kasih banyak, Nak. Kalau tidak ada kamu, mungkin saya masih di tengah jalan sana. Kamu bawa kotak P3K?"

Aku mengangguk. "Tadi pagi kebetulan saya ambil, Pak. Ini kakinya biar saya balut sebentar supaya tidak terlalu bengkak."

Saat aku membalut pergelangan kakinya, ia terus mengucapkan terima kasih. Wajahnya yang sebelumnya pucat kini mulai memerah karena malu dan lega. "Kamu anak yang baik sekali, Nak. Jarang sekali sekarang ada anak muda yang mau menolong secepat ini."

Mendengar pujian tulus itu, perasaan aneh menjalari diriku. Sebuah gelombang kehangatan, kebanggaan, dan kekuatan mengalir dalam nadiku. Ini bukan lagi tentang menghindari kesalahan pribadi atau mendapat keuntungan kecil. Ini adalah perasaan nyata, bahwa aku telah membuat perbedaan, bahwa tindakanku berdampak positif pada orang lain. Notifikasi itu… notifikasi itu telah membawaku pada sebuah kebaikan.

Setelah memastikan bapak itu ditangani oleh warga lain yang bersedia mengantarnya ke klinik terdekat, aku berjalan menuju sekolah, langkahku terasa lebih ringan. Kamera analogku kugenggam erat. Perasaan berdaya itu masih membara, mengalahkan sedikit demi sedikit rasa bersalah tentang Mira. Aku telah menyelamatkan seseorang dari sedikit rasa sakit, dan itu terasa jauh lebih berarti dari apapun.

Namun, di tengah perasaan eforia itu, sebuah bisikan kecil mulai mengusik. Jika notifikasi ini bisa membawaku pada kebaikan sebesar ini, seberapa besar lagi kebaikan yang bisa aku lakukan? Dan seberapa besar harga yang harus kubayar untuk semua itu?

Saat aku melintasi gerbang sekolah, pandanganku tanpa sengaja bertemu dengan Raka. Ia sedang berdiri di dekat mading, ponsel di tangannya, berbicara dengan beberapa temannya. Matanya yang tajam menatapku sekilas, lalu kembali pada layar ponselnya. Namun, di tatapan singkat itu, aku menangkap sesuatu. Sebuah kerutan kecil di dahinya, seolah ada sebersit pikiran yang melintas. Apakah Raka mulai menyadari perubahan diriku? Apakah ia melihatku di persimpangan tadi? Atau ini hanya paranoia dari rasa bersalahku yang belum pudar? Aku mempercepat langkahku, meninggalkan pertanyaan itu menggantung di udara pagi. Aku tahu, perasaan berdaya ini adalah candu. Dan setiap candu, pasti ada konsekuensinya. Konsekuensi yang sebentar lagi, entah bagaimana caranya, akan menemukan jalannya kembali kepadaku.(*)


Posting Komentar untuk "Bab 6 - Kesan Besar Pertama"