Notif untuk Naya BAB 1 Bangku Rayap
Pagi itu alarm di ponselku bunyi seperti biasa—lambat, tak
memaksa. Aku menutup mata sebentar, merasakan getaran kasur di bawah tubuh,
lalu meraih tas kamera yang selalu kusingkirkan di ujung ranjang. Kameraku, tua
dan berat, tinggal di dalam tas kulit yang berbau minyak dan kertas negatif.
Ada kenyamanan aneh tiap kali kugenggam, seperti memegang bagian diriku yang
tak perlu diumbar di layar.
Di dapur, ibu sudah sibuk. Suara sendok yang mengaduk teh
dan bunyi minyak panas menggelegak jadi latar, aroma tempe goreng mengisi
celah-celah pagi. Ayah belum pulang—pekerjaan serabutan membuatnya sering
pulang larut—tapi aku tak heran lagi. Aku makan cepat, menelan nasi hampir
tanpa menikmati rasanya, sambil mataku melayang ke jendela, langit masih
bersih, seperti kertas kosong yang menunggu coretan. Di meja, buku-buku dan
kertas tugas berdiri berjajar dan di antara tumpukan itu ada selembar kertas
kecil, daftar foto yang ingin kuambil akhir pekan. Anak-anak di pasar, lampu
pedagang malam, cahaya sore di jembatan tua—semua itu terasa seperti janji yang
belum ditepati.
Perjalanan ke sekolah adalah bagian ritual. Sepeda ontel
yang kudorong, rantainya sering berdendang dengan nada patah, dan jalannya yang
berlubang seperti garis-garis. Aku menyukai detik-detik itu, bukan karena
jalannya menarik, melainkan karena pikiranku longgar—bebas mengendus komposisi
bayang dan cahaya. Di sela derap roda aku menata frame di kepala, sebuah
bingkai untuk napas, satu untuk sorot mata, satu untuk langkah kaki yang
terlewat. Dunia terasa lambat, dan itu memberiku ruang.
Kelas pagi ramai seperti biasanya. Suara guru seperti lewat
begitu saja, aku mencoba menambatkan diri pada beberapa kata, tapi perhatian
sering meleset ke gulungan lamunan yang belum kukembangkan di meja sudut kamar.
Di buku catatanku aku menulis hal-hal kecil, bagaimana menangkap pantulan mata
di gelas bening, bagaimana bayang nampak seperti kata-kata yang belum terucap.
Mereka bilang aku pendiam. Mungkin benar—aku lebih suka mengamati. Mengamati
membuatku merasa hadir tanpa harus membuka diri.
Saat bel istirahat berbunyi, aku berjalan ke luar sekolah.
Taman kecil di seberang gerbang yang bangkunya dimakan rayap dan rumputnya
berjajar acak adalah titik temu kami. Mira sudah duduk di sana, rambutnya
diikat kencang, mata dan tangan sama lincahnya—ia selalu punya pendapat untuk
segala hal. Di sampingnya, Dito sibuk dengan ponsel, jari-jarinya menari cepat,
matanya kadang menyingkap layar seperti membaca peta rahasia. Ia pandai membuat
teknologi terasa ramah, bila dunia terasa asing, Dito bisa mengubahnya menjadi
teka-teki yang menyenangkan.
“Kamu bawa kamera?” Mira langsung menuding saat aku menaruh
tas di bangku. Suaranya itu—seperti perintah disamarkan jadi pertanyaan—selalu
membuatku tersadar. Kuseret resleting, mengeluarkan kamera yang bodinya penuh
goresan, tiap lekuknya menahan cerita.
Dito menoleh, pura-pura terkejut seperti anak yang melihat
mainan baru. “Kapan terakhir kamu pakai film?” tanyanya tanpa melepaskan
pandang dari ponselnya.
“Kemarin sore,” jawabku singkat. “Di jembatan. Ada anak yang
mengejar layang-layang. Cahaya bagus—ada sayap di udara.”
Mira langsung menggulung deretan pertanyaan, tugas
portofolio, waktu latihan, siapa yang jadi model. Aku menjawab seperlunya—lebih
sering dengan contoh kecil yang muncul tiba-tiba. Bau karet gelang di pasar
yang menambah warna, langkah penjual yang memberi ritme. Mereka mendengarkan
bukan karena mengerti semua teknik fotografi, tetapi karena mengerti aku. Itu
lebih penting.
Kami bertukar cerita kecil. Mira mengeluh tentang rapat OSIS
kemarin yang berlarut, Dito menceritakan ada kerusakan pada aplikasi yang ia
kerjakan—kata-katanya penuh istilah teknis yang kupelajari sedikit saja—dan aku
memberitahu rencana foto sore nanti. Tawa kami ringan, saling sindir seperti
biasa, lalu datang diam yang nyaman, saat itulah aku paling senang, ketika kata
tak perlu banyak memenuhi udara.
“Nanti sore?” tanya Mira tiba-tiba, menatap ke arah langit
yang mulai kepompong mendung tipis. “Kita ke taman lagi, foto buat tugas. Dito
bantu cek pencahayaan, terus kita jajan—setuju?”
Dito mengangkat bahu tanpa sungkan. “Kalau ada sinyal di
taman, aku bisa bawa komputer jinjing,” godanya. Aku menahan senyum. Dito—yang
hidupnya sering di depan layar—selalu mencari koneksi di tempat-tempat yang tak
terduga, lucunya, ia juga yang paling peka melihat momen nyata.
Aku mengangguk. “Sampai nanti sore, ya.” Suaraku tenang,
tapi ada getar kecil di dalam dada—bukan rasa takut, melainkan antisipasi yang
lembut: rasa menunggu yang tidak bising tetapi nyata. Seperti menunggu kertas
film muncul sedikit demi sedikit di bak pengembang: sabar dan penuh rindu.
Saat kami berpisah, aku menenteng tas kamera seperti membawa
sekumpulan rahasia kecil yang masih basah. Di jalan pulang, aku berhenti
sejenak di bawah pohon beringin di dekat gang rumah—cahaya sore menembus sela
daun, memantulkan pola-pola seperti negatif yang menunggu dicuci. Angin membawa
bau tempe dari rumah tetangga, suara anak-anak yang masih bermain, denting
kunci sepeda. Semua itu terasa akrab dan aman, seperti gulungan hayalan yang
masih tersegel.
Aku menaruh ponsel di saku, terasa hangat di antara kunci
dan uang receh—sesuatu yang biasa, tidak bernada. Kupikir tentang foto yang
belum kutangkap, kata-kata yang belum kukatakan, dan rencana untuk sore nanti.
Dunia terasa biasa, aman, penuh bau makanan ibu, tawa Mira, dan suara rantai
sepeda yang beradu dengan jalan. Aku belum tahu—belum sama sekali—bahwa layar
kecil di sakuku akan segera berbisik sesuatu yang mengubah kebiasaan itu. Untuk
sekarang, hari ini tetap hari biasa.
Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya BAB 1 Bangku Rayap"
Posting Komentar