Notif untuk Naya Bab 2 Notifikasi Pertama

 

Notif untuk Naya

Notif untuk Naya Bab 2 Notifikasi Pertama

Malam merayap masuk ke kamarku, menggelar sepi yang tebal. Hanya suara jangkrik dari luar jendela dan desau angin yang mengelus gorden lusuh, mengisi ruang. Aku mencoba membaca beberapa halaman buku fotografi lama, tetapi mataku terus melayang ke langit-langit, ke bayang-bayang yang menari di sana, seperti guratan negatif yang tak pernah bisa kutangkap. Aku merasa melayang tanpa suara, ada harapan lembut yang datang entah dari mana. Kukira itu cuma lelah.

Pukul 00:01

Tepat saat jarum jam digital di ponselku beralih angka, ponsel bergetar. Bukan getaran panggilan atau notifikasi grup, melainkan desiran aneh yang terasa di telapak tanganku, seolah melahirkan sensasi baru. Layar menyala, cahayanya memercik di kegelapan kamar. Sebuah notifikasi pop-up muncul di bagian atas.

Pengirim: Naya (2035)

Pesan: Jangan lupa dompet di meja guru besok.

Aku terdiam, mengedipkan mata beberapa kali. Naya (2035)? Itu nama aneh. Mungkin lelucon dari Dito? Atau Mira? Tapi mereka tak pernah sebercanda aneh ini. Kutarik napas panjang, mencoba menelusuri kebingungan. Masa depan?

Kemudian, sebuah sengatan dingin menjalar di perutku. Dompet.

Dengan gerakan panik, aku merogoh tas kamera yang kubiarkan tergeletak di dekat kaki ranjang, lalu ke saku celana yang kugantung di kursi. Kosong. Aku bahkan mengecek saku jaketku yang sempat kupakai siang hari. Tidak ada. Dompet kulit berwarna cokelat tua, hadiah ulang tahun dari ayah, tempat kartu pelajar dan beberapa lembar uang receh, menghilang.

Kepalaku mulai berputar. Kapan terakhir aku melihatnya? Tadi sore? Saat membayar minuman di kantin? Atau mungkin saat mengeluarkan buku di kelas Pak Budi? Jantungku berdebar tak karuan, bukan karena takut kehilangan, tetapi karena pesan aneh itu. Bagaimana mungkin seseorang, entah siapa, tahu dompetku hilang? Dan lagi, "Naya (2035)"?

Aku membaca ulang notifikasi itu. Tidak ada nomor telepon. Tidak ada foto profil. Hanya nama itu, dan kalimat pendek yang terasa begitu… dingin dan lugas. Seperti sebuah instruksi. Aku membalik ponsel, mematikan layar, tapi sensasi getaran aneh masih tersisa di jari. Malam itu, aku tidur tidak nyenyak. Pertanyaan-pertanyaan berlarian di kepala, seperti anak-anak yang tak mau pulang dari permainan.

Keesokan paginya, aroma tempe goreng dan kopi pahit ibu tak mampu menarik perhatianku sepenuhnya. Aku sarapan sambil terus memikirkan pesan itu, merasakan ponsel di saku seragamku seolah-olah bernyawa, menunggu waktu untuk berbisik lagi.

“Naya, kamu kok diam saja?” Ibu menyentuh dahiku, mengecek suhu. “Sakit, ya? Wajahmu pucat.”

Aku menggeleng. “Tidak, Bu. Hanya… ada tugas yang harus dikumpulkan hari ini.” Sebagian adalah kebohongan. Ada sesuatu yang lebih besar dari tugas.

Ibu menghela napas. “Tugas terus. Sudah sarapan semua, kan? Dompetnya jangan lupa dibawa. Nanti tidak jajan.”

Aku hampir tersedak nasi. Ibu! Bagaimana ia bisa menyebut dompet begitu saja? Aku menatapnya, mencari tanda-tanda tahu. Tapi wajah Ibu hanya menunjukkan kekhawatiran seorang ibu biasa.

“Sudah beres semua, Bu,” jawabku, mencoba meyakinkan diri sendiri. Padahal, jantungku bergemuruh. Bagaimana jika dompetku benar-benar ada di meja guru? Apa artinya pesan misterius semalam?

Perjalanan ke sekolah terasa berbeda. Sepeda ontelku melaju seperti biasa, namun pikiranku penuh perhitungan. Apakah aku harus memeriksa meja guru? Bagaimana aku melakukannya tanpa terlihat mencurigakan? Aku bukan tipe siswa yang mondar-mandir di ruang guru tanpa alasan jelas.

Sesampainya di sekolah, suasana pagi sudah ramai. Koridor dipenuhi celotehan siswa. Aku menatap ke arah ruang guru, pintunya sedikit terbuka. Jantungku berdetak lebih cepat. Rasa ingin tahu mengalahkan keraguan.

Aku memutuskan untuk ke sana. Langkahku terasa ringan, tapi kakiku seperti diikat beban. Aku berjalan seolah mencari sesuatu di mading sekolah, melirik sekilas ke dalam ruang guru. Beberapa guru sudah hadir, sibuk dengan berkas atau laptop mereka.

Tepat saat aku hendak berbalik, suara familiar menyapa.

“Naya, pagi-pagi sudah di sini. Ada apa?”

Pak Budi. Guru Bahasa Indonesia kami, seorang bapak paruh baya yang selalu ramah. Ia baru saja keluar dari ruangannya, membawa tumpukan buku.

“Pagi, Pak,” jawabku, berusaha terdengar setenang mungkin. “Maaf, Pak. Saya… saya mau bertanya, Pak.”

“Bertanya apa?” Pak Budi tersenyum, menumpuk buku-bukunya di meja dekat pintu.

Aku menelan ludah. "Begini, Pak. Saya rasa, dompet saya tertinggal kemarin sore di kelas. Saya sempat membantu membersihkan papan tulis setelah jam Bapak.” Itu adalah kebohongan yang cukup meyakinkan. Aku memang suka tinggal sedikit lebih lama di kelas, tapi tidak untuk membersihkan papan tulis.

Pak Budi mengerutkan kening, berpikir. “Oh, dompet? Sudah kamu cek meja piket?”

Aku menggeleng. “Belum, Pak. Tapi saya punya firasat, mungkin saja terselip di… di meja Bapak. Maaf, Pak. Bolehkah saya melihat sebentar?” Aku menunjuk meja di sudut yang biasa ditempati Pak Budi.

Pak Budi menatapku sebentar, mungkin merasa ada yang aneh, tapi ia mengangguk. “Baiklah, Naya. Silakan. Biasanya saya rapikan, tapi siapa tahu memang ada.”

Aku mengangguk cepat, mengucapkan terima kasih, lalu masuk ke ruang guru. Mataku langsung tertuju ke meja Pak Budi. Ada tumpukan kertas tugas, beberapa pulpen, dan sebuah cangkir kopi dingin. Dan di bawah tumpukan kertas itu, tersembunyi sebagian, ada sesuatu berwarna cokelat tua. Dompetku.

Napas tertahan di kerongkongan. Tanganku gemetar saat meraihnya. Ya Tuhan. Benar-benar di sana. Dompetku. Utuh.

“Sudah ketemu, Naya?” suara Pak Budi membuatku tersentak.

Aku berbalik, menyembunyikan dompet di belakang punggungku, berusaha menyunggingkan senyum lebar. “Sudah, Pak! Terima kasih banyak, Pak!” Perasaan lega bercampur dengan keheranan yang luar biasa. Pesan itu. Pesan misterius itu benar.

Aku cepat-cepat keluar dari ruang guru, langkahku seperti melayang. Setelah berterima kasih lagi pada Pak Budi, aku langsung menuju toilet terdekat. Di sana, aku mengunci pintu bilik, mengeluarkan dompetku dan menatapnya. Tak ada yang hilang. Semua kartu dan uang receh masih ada.

Kemudian, aku mengeluarkan ponselku. Layarnya masih menampilkan notifikasi yang sama. Naya (2035).

Aku menatap nama itu, lalu pada dompet di genggamanku, lalu kembali ke ponsel. Siapa kamu? Bagaimana kamu tahu? Bagaimana ini mungkin?

Ponselku terasa dingin di tangan, tapi di dalamnya, ada sebuah rahasia yang baru saja terkuak. Notifikasi singkat semalam telah mengubah hari yang seharusnya biasa menjadi sebuah pertunjukan sihir yang tak bisa dijelaskan. Aku merasakan adrenalin berdesir, bukan ketakutan, melainkan rasa penasaran yang menghantam, seolah ada pintu baru yang terbuka di hadapanku. Pertanyaan-pertanyaan itu kembali, berlipat ganda, dan kali ini, mereka menuntut jawaban. Ponsel di genggamanku tidak lagi hanya sebuah alat komunikasi. Ia telah menjadi pembisik masa depan. Dan aku, Naya, tak bisa mengabaikan bisikan itu. Tidak lagi.

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya Bab 2 Notifikasi Pertama"