Notif untuk Naya - Bab 4 - Manfaat Kecil

notif untuk naya

Malam hari, setelah percakapan intens dengan Dito, tidurku terasa gelisah. Aku terus membolak-balik tubuh di ranjang, bayangan barisan kode di monitor Dito menari-nari di pelupuk mata. Kata-kata Dito tentang ‘niat lain’ dan ‘jejak digital’ terus berputar, bercampur dengan rasa takjub akan keajaiban dompetku yang kembali. Ponselku tergeletak di meja samping ranjang, seperti menunggu, seperti bernapas. Aku tahu harus menunggu notifikasi selanjutnya, sebagaimana Dito sarankan. Perasaanku campur aduk. Takut, tapi juga harapan yang tak bisa kupungkiri.

Tepat pukul 00:01, ponselku bergetar. Cahaya biru muda menerangi dinding kamar. Aku segera meraihnya, jantungku berdegup kencang seolah sedang berlomba. Nama yang sama muncul di layar: Naya (2035).

Pesan kedua berbunyi: “Slide presentasi Biologi mu besok, di halaman terakhir ada kesalahan data. Ganti sekarang.”

Napasku tertahan. Presentasi Biologi? Aku memiliki presentasi kelompok dengan Mira dan Bima esok, tentang ekosistem air tawar. Aku sudah mengerjakannya semalam, merasa cukup puas. Kesalahan data?

Aku bangkit dari ranjang, menyalakan lampu belajar, dan segera membuka laptopku. Jemariku gemetar saat mencari file presentasi. Aku membuka slide demi slide, dengan tergesa-gesa. Tidak ada yang salah, pikirku, sampai aku mencapai halaman terakhir: daftar sumber. Sebuah angka tahun di salah satu sumber jurnal tertulis “2005”, padahal harusnya “2015”. Kesalahan kecil, yang pastinya akan luput dari pengawasan mata normal, tapi cukup untuk membuat Pak Chandra mengerutkan kening dan memberi nilai minus.

Aku mematung. Dingin menjalari tubuhku. Notifikasi kedua ini, sekali lagi, tepat sasaran. Bagaimana mungkin? Bagaimana ‘Naya (2035)’ tahu detail sekecil ini? Bukan hanya dompet hilang, tapi sebuah kesalahan sepele yang hanya bisa diketahui jika seseorang benar-benar melihat file presentasi itu sendiri.

Dengan tangan masih sedikit gemetar, aku mengoreksi angka tahun tersebut. Perasaan campur aduk antara kagum dan takut kembali menyelimuti. Ini bukan lelucon. Bukan phishing. Jelas bukan kebetulan. Ini… sebuah petunjuk. Sebuah intervensi.

Aku mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam. Keberadaan pesan-pesan semacam ini benar-benar membuat akal sehatku diuji. Aku memejamkan mata, membiarkan pikiran-pikiran yang kalut itu berputar di dalam kepala. Apa tujuan di balik semua hal itu? Mengapa aku?

Keesokan paginya, aku pergi ke sekolah dengan perasaan tidak tenang. Langkahku terasa berat, seolah setiap pijakan membawa beban misteri. Aku tidak sempat bertemu Dito di koridor. Aku melihatnya sekilas, sibuk berbicara dengan beberapa temannya di depan loker. Aku tahu aku harus menceritakan notifikasi kedua secepatnya padanya, tapi momennya belum tepat. Kelas Biologi adalah jam kedua.

Saat bel berbunyi, aku duduk di bangku dengan punggung tegang. Mira di sampingku, sibuk mengulang materi. Dia sedikit cemberut melihatku melamun. “Naya, kamu mendengarkan tidak sih? Presentasi kita sebentar lagi, lho.”

Aku tersentak. “Oh, ya, tentu saja. Aku sudah siap kok.”

Mira memicingkan mata, entah mengapa, ekspresinya seolah bisa membaca kegelisahan yang kusimpan. “Kamu aneh dari kemarin. Ada apa? Jangan bilang kamu belum hafal bagianmu.”

“Tidak, sudah semua,” sahutku, mencoba tersenyum meyakinkan. Aku tahu Mira akan khawatir jika aku mulai bertingkah aneh tanpa alasan yang jelas. Persahabatan kami sangat berharga bagiku, dan aku tidak ingin merusaknya hanya karena misteri ponselku.

Pak Chandra masuk ke kelas, membawa tumpukan lembar penilaian. Atmosfer kelas mendadak berubah, dari santai menjadi tegang. Aku bisa merasakan keringat dingin mengucur di punggung.

“Baik, anak-anak,” ujar Pak Chandra dengan suaranya yang khas. “Kelompok pertama, silakan maju.”

Dia menyebutkan kelompok kami. Aku dan Mira bertukar pandang. Bima, anggota kelompok kami yang lain, sudah menunggu di depan. Kami berjalan ke depan kelas, detak jantungku berpacu kencang. Aku tahu materiku sudah siap. Aku tahu slidenya sudah sempurna. Tapi tetap saja, rasa gugup itu tidak bisa hilang begitu saja.

Mira memulai presentasi dengan percaya diri. Suaranya lantang dan jelas. Aku menatap layar proyektor, melihat slide-slide yang kami siapkan. Setiap visual, setiap poin, semua berjalan lancar. Ketika giliranku tiba, aku menjelaskan bagianku dengan tenang, meskipun suaraku sedikit bergetar pada awalnya. Aku fokus menjelaskan mekanisme adaptasi ikan air tawar, berusaha tidak memikirkan tatapan teman-teman sekelas atau “Naya (2035)” yang seolah mengawasiku dari jauh.

Akhirnya, kami sampai pada slide terakhir. Daftar pustaka. Aku melihat angka tahun “2015” di jurnal yang kuselamatkan tadi malam. Jika aku tidak mengoreksinya, angka “2005” pasti akan terpampang di sana, sebuah cela kecil yang bisa merusak kesempurnaan presentasi kami. Pak Chandra menatap slide itu sebentar, mengangguk kecil, lalu beralih menatap kami.

“Bagus sekali, kelompok kalian,” puji Pak Chandra. “Materi disampaikan dengan jelas, visualnya menarik, dan sumber yang digunakan relevan. Tidak ada kesalahan berarti yang saya temukan.”

Napas lega meluncur keluar dari bibirku. Aku melirik Mira, yang tersenyum lebar dan memberi isyarat ‘jempol’ padaku. Aku merasakan semburat kebahagiaan. Pujian dari Pak Chandra selalu berharga.

Setelah presentasi selesai, kami kembali ke bangku. Mira menyenggol lenganku. “Tuh kan, apa kubilang. Kamu pasti bisa! Aku bangga padamu, Naya.”

Aku membalas senyumnya, tapi pikiranku masih tertuju pada notifikasi semalam. Jika tidak ada pesan itu, aku pasti akan merasa malu di depan kelas. Aku pasti akan melihat kekecewaan di wajah Mira. Aku pasti akan mendapat nilai yang lebih rendah. Ini bukan lagi sekadar dompet yang hilang. Ini adalah sebuah penyelamatan kecil.

“Aku harus mencari Dito,” bisikku pada Mira saat bel istirahat berbunyi. “Aku janji akan ceritakan semuanya nanti.”

Mira menghela napas, tapi mengangguk. Dia tahu ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku.

Aku menemukan Dito di perpustakaan sekolah, tempat favoritnya saat senggang. Dia sedang membaca buku tentang machine learning, sesekali mencatat di buku kecil. Aroma kertas tua dan buku-buku berdebu memenuhi ruangan.

“Dit!” panggilku, suaraku sedikit berbisik agar tidak mengganggu ketenangan tempat.

Dia mengangkat kepala, melepaskan kacamatanya dan menggosok mata. “Naya? Sudah beres presentasinya?”

Aku mengangguk, lalu duduk di hadapannya. “Aku harus cerita. Notifikasi kedua sudah muncul.”

Dito meletakkan buku dan penanya. Wajahnya langsung serius. “Apa bunyinya?”

Aku mengeluarkan ponselku, menunjukkan pesan “Naya (2035)” yang masih terpampang. “Tentang presentasi Biologiku. Ada kesalahan data di slide terakhir. Sebuah angka tahun yang salah. Aku bahkan tidak menyadarinya sampai notifikasi itu muncul.” Aku mengoreksi diri, menghindari kata yang dilarang. “Aku memperbaikinya semalam. Dan tadi, Pak Chandra memuji presentasi kami, mengatakan tidak ada kesalahan yang berarti.”

Dito terdiam, menatap layar ponselku dengan intens. Bola matanya bergerak-gerak membaca pesan singkat tersebut. Senyum tipis, campur takjub, mulai tersungging di bibirnya. “Jadi… ini benar-benar terjadi lagi.”

“Bukan hanya terjadi lagi, Dit. Ini spesifik. Bagaimana mungkin ia tahu detail sekecil itu? Tentang presentasiku yang akan datang, tentang kesalahan di slide terakhir?”

“Ini jauh lebih kompleks dari dompet hilang,” Dito bergumam. Ia mengambil ponselku, membalik-balik. “Jika ini benar-benar dirimu dari masa depan, berarti masa depanmu punya cara untuk mengakses data digitalmu sekarang. File presentasi, jadwal pelajaran. Atau mungkin, kemampuan untuk melihat masa depan.”

“Kemampuan untuk melihat masa depan? Itu konyol!” Aku tertawa hambar.

“Tidak ada yang konyol lagi setelah dua notifikasi tepat sasaran begini, Naya.” Dito mengembalikan ponselku. “Aku masih tidak menemukan jejak. Aplikasi pesanmu tampak normal. Tidak ada bug yang bisa kubongkar.”

“Jadi, apa artinya?” tanyaku, merasa semakin bingung. Rasa percaya perlahan tumbuh, namun ketidakpastian membebani.

“Artinya, sumber pesan bukan hanya lihai, tapi mungkin tidak bisa dilacak dengan metode biasa,” jelas Dito, suaranya pelan. “Bisa jadi sebuah bug di sistem yang sangat dalam, yang belum pernah kita temui. Atau… sesuatu yang benar-benar di luar pemahaman teknologi kita.”

Aku menatap ponselku di tanganku. Notifikasi kedua ini, menyelamatkanku dari malu, membuatku merasa berdaya. Aku telah mengubah sesuatu. Aku telah menghindari konsekuensi buruk.

“Aku merasa… terbantu, Dit,” bisikku, mengangkat kepala menatapnya. “Ini aneh, menakutkan, tapi aku merasa ia membantuku.”

Dito mengangguk perlahan. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi ingat pesanku sebelumnya, apa pun yang datang selanjutnya, bisa jadi bukan hanya soal dompet atau slide presentasi. Ini bisa jadi semakin besar. Dan kita tidak tahu apa tujuan ‘Naya (2035)’ sebenarnya. Motif bisa berubah, Naya.”

Kata-kata Dito menusuk. Aku tahu dia benar. Semakin aku percaya pada pesan-pesan misterius, semakin rentan aku. Tapi bagaimana aku bisa menolak pertolongan yang terasa begitu nyata, begitu personal?

Saat aku menatap layar ponselku, sebuah pikiran baru muncul. Jika ‘Naya (2035)’ bisa melihat dan memprediksi hal-hal kecil, bagaimana jika pesan berikutnya bukan tentang diriku? Bagaimana jika pesan itu tentang orang lain? Sebuah bisikan dingin menjalar di tulang punggungku. Rasa penasaran bercampur rasa takut kian menjadi-jadi, membuatku sadar bahwa ‘keberuntungan’ ini mungkin akan datang dengan harga yang jauh lebih mahal dari yang kubayangkan.(*)

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 4 - Manfaat Kecil"