Notif untuk Naya - Bab 7 - Pergeseran
Pagi itu, udara kampus masih
menyimpan sisa dinginnya, namun bukan hanya itu yang membuatku menggigil.
Memori tentang Bapak penjual bunga yang terselamatkan, tentang gelombang
kehangatan yang membuncah di dadaku, terasa seperti mimpi buruk di tengah hari.
Bagaimana tidak? Aku telah melakukan sebuah kebaikan nyata, tapi dengan cara
yang mengusik, yang membuatku merasa seperti boneka yang ditarik talinya oleh
"diriku" di masa depan.
Ditambah lagi, semalam aku tidak
tidur. Sejak notifikasi terbaru itu muncul di layar ponselku, jam 00:01, aku
sudah tahu, kedamaian hanyalah ilusi.
Naya (2035): Besok, saat jam
Fisika, Rudi akan lupa kalau ada kuis mendadak. Beri ia sedikit petunjuk, Naya.
Pastikan ia tidak gagal.
Jantungku berdebar kencang membaca
pesan tersebut. Rudi, teman sekelasku, bukan Pak Rudi guru teknologi. Seorang
anak laki-laki pendiam yang seringkali kesulitan dengan pelajaran eksakta. Aku
tahu ia adalah siswa yang rajin, hanya saja Fisika memang bukan bidangnya.
Notifikasi sebelumnya membuatku berdaya, tapi yang ini? Ia terasa seperti
jebakan. Menolong orang dari kecelakaan itu satu hal. Membantu seseorang dalam
sebuah kuis adalah hal lain. Batasan antara menolong dan berbuat curang begitu
tipis di sana.
"Kenapa harus aku?"
bisikku pada diri sendiri, suaraku serak. Aku merasa seperti sedang berjalan di
atas tali tipis, dengan jurang moral menganga di bawahnya. Satu sisi
mengingatkanku pada senyum lega Bapak penjual bunga, pada perasaan “pahlawan”
yang sejenak memabukkan. Sisi lain membisikkan kata-kata Dito yang skeptis, dan
wajah Mira yang terluka karena aku terus menyembunyikan rahasia. Apakah
“diriku” di masa depan ini sedang mengujiku? Atau ia hanya ingin melihatku
semakin terjerumus dalam labirin pilihan yang ia ciptakan?
Aku melihat jam di dinding kamarku.
Pukul 06.00. Aku harus memutuskan. Kelas Fisika di jam kedua. Aku harus melihat
Rudi, siswa dengan kacamata tebal dan rambut acak-acakan yang selalu duduk di
baris ketiga. Membayangkan wajah paniknya saat kuis mendadak diumumkan, perutku
mual. Tapi membayangkan diriku membocorkan jawaban, atau bahkan sekadar
“petunjuk” yang bisa berarti jawaban terselubung, terasa seperti mengkhianati
diriku sendiri.
Di sekolah, suasana terasa lebih
ramai dari biasanya. Mungkin karena akan ada pertandingan basket antar kelas
sore nanti. Namun, bagiku, keramaian itu hanya menambah tekanan. Aku memutuskan
untuk mencari Dito di perpustakaan, berharap ia sudah tiba dan bisa memberiku
perspektif yang jelas. Ia selalu bisa.
Kudapati Dito sedang duduk di salah
satu meja paling ujung, laptopnya terbuka dengan deretan kode memenuhi
layarnya. Jemarinya menari lincah di atas keyboard. Ia mendongak saat aku
mendekat.
"Tumben sudah di sini sepagi
ini?" tanyanya, keningnya berkerut melihat ekspresiku. Ia pasti bisa
membaca kegelisahan di wajahku.
Aku menarik kursi di depannya dan
menjatuhkan tas. "Ada hal penting." Aku lalu menyerahkan ponselku
kepadanya, layarnya menunjukkan notifikasi dari Naya (2035).
Dito membaca perlahan, bibirnya
sedikit mengerucut. Lalu ia mengangkat alisnya. "Woah, ini bukan lagi soal
dompet atau kecelakaan. Ini... bantuan akademik."
"Bantuan atau
kecurangan?" tanyaku, suaraku lirih. "Aku tidak tahu harus berbuat
apa. Semalam aku tidak tidur memikirkannya."
Dito menghela napas. "Pilihan
yang berat, Nay. Kalau cuma membantu Bapak-bapak kemarin, itu jelas 'baik'.
Tapi memberi petunjuk kuis? Itu abu-abu." Ia mengetuk-ngetuk dagunya.
"Apa petunjuk yang diminta? Kau akan membisikkan jawabannya?"
"Tidak tahu! Notifikasinya
hanya bilang 'beri ia sedikit petunjuk'. Apa maksudnya? Mengingatkannya untuk
belajar? Itu terlambat. Atau... memberitahu kisi-kisi? Atau jawaban?" Aku
melihat ke jendela perpustakaan, pandanganku kosong. "Rasanya seperti ada
yang mengawasiku, Dito. Menguji seberapa jauh aku mau ikut."
"Memang, siapa yang tidak
merasa diawasi kalau ada yang tahu semua hal?" gumam Dito. Ia
mencondongkan tubuhnya ke depan. "Intinya begini, Nay. Dulu, notifikasi
ini menyelamatkanmu dari hal-hal buruk yang menimpamu. Lalu ia membantumu melakukan
kebaikan. Sekarang, ia memintamu melakukan sesuatu yang... bisa dibilang
merusak integritasmu. Atau integritas Rudi."
"Tapi kasihan, Dito. Rudi itu
orangnya baik. Ia selalu belajar keras, tapi memang Fisika bukan
kelebihannya." Aku mencoba membela diri. "Aku tidak ingin ia gagal
hanya karena kuis mendadak."
"Naya, kau tidak bertanggung
jawab atas nilai Rudi," kata Dito pelan, tapi tegas. "Setiap orang
punya perjuangan sendiri. Kalau kau ikut campur, itu tidak adil bagi siswa lain
yang sudah belajar keras. Dan juga tidak adil bagi Rudi, karena ia tidak
belajar dari kesalahannya."
Kata-kata Dito menghantamku. Tidak
adil. Rasa bersalah karena Mira yang kini masih marah padaku kembali menyeruak.
Aku memegang erat buku catatan kecilku. "Tapi notifikasi itu bilang
'pastikan ia tidak gagal'. Seolah ada konsekuensi besar kalau aku tidak
melakukannya."
"Konsekuensi apa? Nilai jelek?
Atau ada hal yang lebih besar yang tidak kita ketahui?" Dito memiringkan
kepalanya. "Kau makin tergantung, Nay. Setiap ada notifikasi, kau langsung
merasa harus mengikuti. Apa ini bukan jebakan, menurutmu? Apa kau tidak merasa
kalau kau kehilangan kendalimu sedikit demi sedikit?"
Pertanyaan Dito menusukku.
Kehilangan kendali? Benarkah aku telah berubah sejauh itu? Dulu aku skeptis.
Sekarang, satu bagian diriku benar-benar ingin mengikuti notifikasi tersebut,
seperti ada dorongan kuat untuk menyenangkan "diriku" di masa depan.
"Aku cuma ingin melakukan hal
yang benar, Dito," gumamku.
"Dan hal yang benar itu tidak
selalu yang paling mudah, atau yang paling menguntungkan," jawab Dito,
nadanya lembut tapi penuh arti. Ia menatapku, matanya memancarkan kekhawatiran
yang tulus. "Pikirkan baik-baik, Naya. Apa nilai yang ingin kau pegang?
Apakah kau ingin jadi orang yang selalu bergantung pada petunjuk, atau yang
membuat keputusan berdasarkan hatimu sendiri?"
Bel tanda pelajaran akan dimulai
berbunyi. Aku merasakan tekanan di dadaku. Waktu semakin sempit. Aku harus
memilih. Aku harus melewati Rudi di koridor, di depan pintu kelas Fisika. Aku
bisa saja memberinya petunjuk. Satu kalimat saja. Atau aku bisa membiarkannya.
Aku menghela napas, mengambil
ponselku kembali. "Aku... aku tidak tahu," kataku jujur. "Aku
takut salah."
Dito mengangguk. "Itu
manusiawi. Tapi kau harus memutuskan. Ini adalah ujianmu, Naya, bukan ujian
Fisika Rudi."
Aku berjalan menyusuri koridor
menuju kelas Fisika. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa beban seribu
ton. Aku melihat Rudi duduk di bangkunya, masih asyik membaca buku Fisika
tebalnya, tidak menyadari apa yang akan terjadi. Ia terlihat begitu polos,
begitu rentan. Aku bisa membantunya. Aku bisa menyelamatkannya dari kekecewaan.
Notifikasi itu ada di benakku, berulang kali: "Beri ia sedikit petunjuk,
Naya. Pastikan ia tidak gagal."
Saat aku melintas di barisan
belakang untuk menuju bangkuku, pandanganku tak sengaja bertemu dengan Raka. Ia
duduk di bangku paling depan, di sebelah Rudi, dan entah kenapa, tatapannya
terarah padaku. Matanya menyipit sedikit, seolah sedang memindai gerak-gerikku.
Sebuah kerutan kecil muncul di dahinya. Apakah ia sudah memperhatikan
perubahanku sejak kasus Bapak penjual bunga kemarin? Apakah ia mencurigai
sesuatu?
Saat itu, sebuah pikiran melintas
di benakku: jika Raka sampai tahu aku memberikan petunjuk pada Rudi, ia tidak
akan tinggal diam. Apalagi ia dikenal sebagai siswa yang sangat menjunjung
tinggi keadilan dan selalu ada di baris depan untuk hal-hal berbau kompetisi.
Aku cepat-cepat mengalihkan
pandangan, jantungku berdetak tak keruan. Dilema ini tiba-tiba menjadi lebih
rumit. Notifikasi itu hanya memberiku satu tugas, menolong Rudi. Tapi apa yang
harus kulakukan jika menolong Rudi berarti membahayakan diriku sendiri, bahkan
mungkin menyingkap rahasia yang selama ini kujaga mati-matian?
Bel masuk berbunyi nyaring, memutus
lamunanku. Pak Ardi, guru Fisika kami, masuk dengan senyum tipis yang selalu
membuat kami waspada.
"Selamat pagi,
anak-anak," sapanya. "Hari ini ada kuis mendadak."
Wajah Rudi langsung pucat pasi. Ia
menoleh ke arahku, matanya penuh kepanikan. Dalam sepersekian detik, aku harus
memutuskan. Petunjuk atau kejujuran? Notifikasi atau suara hatiku? Dan di
tengah semua itu, aku bisa merasakan tatapan Raka masih melekat padaku, seperti
sepasang mata elang yang menunggu mangsanya. Aku merasa terperangkap, di antara
bisikan masa depan, suara hati, dan ancaman dari masa kini. Apa pun pilihanku,
aku tahu, konsekuensinya pasti akan besar. Dan tidak ada yang bisa memberiku
petunjuk untuk itu.
Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 7 - Pergeseran"
Posting Komentar