Notif untuk Naya - Bab 8 - Bocoran Sosial
Di dalam kelas Fisika
yang pengap, aku merasa seperti memegang bom waktu. Pak Ardi telah mengumumkan
kuis mendadak, dan tatapan panik Rudi terasa menusuk. Dalam sepersekian detik,
keputusan harus kubuat. Notifikasi yang berbunyi, "Beri ia sedikit
petunjuk, Naya. Pastikan ia tidak gagal," terus terngiang. Aku melihat
Raka, yang duduk di bangku depanku, menyipitkan mata. Ia seolah menungguku.
Aku tahu aku tak bisa membocorkan
jawaban mentah-mentah. Itu jelas curang, dan hatiku berontak. Tapi ada dorongan
kuat untuk memenuhi "tugas" dari masa depan. Saat Pak Ardi mulai
membagikan lembar soal, aku bergerak. Kakiku seolah memiliki kehendak sendiri,
melangkah mendekati meja Rudi. Tanganku meraih bahunya, dan aku membisikkan
sesuatu, nyaris tak terdengar.
"Rudi," bisikku pelan,
"fokus ke materi bab lima dan enam. Rumus energi potensial, ingat,
kan?"
Aku tidak memberikan jawaban. Aku
hanya menyebutkan bab dan satu rumus spesifik yang kebetulan akan muncul dalam
kuis. Keringat dingin membasahi punggungku. Rudi mendongak, matanya yang tadi
panik kini sedikit melebar, seolah ada percikan pemahaman. Ia mengangguk samar,
lalu kembali menunduk ke lembar soalnya. Aku cepat-cepat kembali ke bangku,
pura-pura tidak terjadi apa-apa.
Sepanjang kuis, aku tak bisa
berkonsentrasi pada soal-soal sendiri. Pikiranku melayang pada tatapan Raka
yang tadi, dan pada Rudi yang tampak lebih tenang mengerjakan kuis. Apakah aku
melakukan hal yang benar? Apakah ini termasuk "kecurangan"? Notifikasi
ambigu, dan aku memilih interpretasi paling aman. Tapi "aman" untuk
siapa?
Beberapa hari kemudian, hasilnya
keluar. Rudi mendapatkan nilai B, yang mana jauh lebih baik dari perkiraannya
sendiri dan jauh di atas nilai rata-ratanya untuk Fisika. Ia terlihat lega,
bahkan sempat mengucapkan terima kasih kepadaku di koridor. "Terima kasih
banyak, Nay," katanya, senyum tipis di wajahnya yang berkacamata.
"Bantuanmu sangat berarti."
Aku hanya bisa mengangguk kaku,
perasaan campur aduk antara lega dan bersalah. Lega karena Rudi tidak gagal,
tapi bersalah karena aku merasa telah mengkhianati integritas. Perasaan begitu
tak tertahankan.
Tapi kemudian, aku mulai merasakan
hal aneh. Bisik-bisik. Pandangan yang mengikuti. Saat makan siang di kantin,
aku mendengar nama "Naya" disebut beberapa kali dari meja seberang.
Saat di perpustakaan, aku menangkap potongan percakapan tentang "keberuntungan"
atau "tahu duluan".
"Kau perhatikan tidak,
Nay?" Mira, yang duduk di depanku saat di kelas, berbisik suatu sore di
taman. Kami sedang mengerjakan tugas kelompok, tapi perhatiannya jelas
terpecah. "Anak-anak akhir-akhir ini membicarakanmu."
Aku mengaduk es tehku.
"Membicarakan apa?" Tanyaku, berusaha terdengar santai, padahal
jantungku sudah berdebar.
"Keadaan sekarang," Mira
mencondongkan tubuhnya, "soal kau yang... tahu banyak hal. Tentang dompet
Pak Budi yang ketemu, Bapak penjual bunga, sekarang soal Rudi."
Aku menelan ludah. "Hanya
kebetulan, Mir."
Mira mendengus. "Kebetulan?
Tiga kali kebetulan, dalam waktu berdekatan? Bahkan Raka, kemarin, sempat
menyindir. Dia bilang, 'wah, Naya memang visioner ya, bisa tahu hal yang orang
lain tidak tahu.' Nada suaranya sinis, Nay."
Aku merasakan hawa dingin merayapi
tengkukku. Raka. Senior ambisius yang selalu menjunjung tinggi kompetisi. Ia
pasti melihat kejadian di kelas Fisika hari itu. Aku bisa membayangkan ia sudah
menghubung-hubungkan kejadian-kejadian sebelumnya.
"Aku tidak tahu apa-apa,
Mir," ujarku, mencoba membela diri. "Aku tidak sengaja."
"Masalahnya, Nay," kata
Mira, suaranya naik satu oktaf. "Kau selalu bilang tidak sengaja, tapi kau
selalu terlibat dalam hal-hal seperti ini. Dan kau selalu merahasiakannya
dariku. Bagaimana aku bisa membela kalau aku tidak tahu apa-apa?"
Kutarik napas dalam-dalam.
"Aku tidak bisa memberitahumu, Mir. Situasi ini rumit."
"Lebih rumit dari pertemanan
kita?" Mira menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Aku sahabatmu.
Seharusnya kita saling percaya. Tapi kau terus-terusan membuat dinding di
antara kita."
Aku ingin sekali menjelaskan. Tapi
bagaimana? "Ada notifikasi dari Naya (2035) yang memberitahuku
semua?" Kedengarannya gila. Atau lebih buruk, itu akan membuat Mira
berpikir aku telah mengkhianati kepercayaannya demi hal-hal tak masuk akal.
Malam harinya, aku mencari Dito. Ia
sedang duduk di sofa ruang keluarga, membaca buku tebal tentang sirkuit. Aku
duduk di sebelahnya, meletakkan kepala di bahunya.
"Aku merasa seperti semua mata
tertuju padaku, Dito," gumamku.
Dito menurunkan bukunya.
"Rumor sudah mulai beredar?"
Aku mengangguk. "Mira marah
padaku karena aku tidak cerita. Dan Raka... Raka jelas mencurigaiku."
"Tentu saja. Kau sudah terlalu
banyak 'kebetulan'," kata Dito. Ia mengusap rambutku pelan. "Aku
sudah menduga akan terjadi. Notifikasi itu membuatmu punya keuntungan, Nay,
tapi juga membuatmu menonjol. Dan menonjol di sekolah itu tidak selalu
baik."
"Tapi kenapa? Aku tidak
melakukan hal buruk," kataku, suaraku sedikit bergetar.
"Kau melanggar norma sosial,
Nay. Orang suka menuduh hal yang tidak mereka pahami. Apalagi kalau membuat
mereka merasa dirugikan." Dito mengambil ponselnya. "Aku sudah
mencoba melacak notifikasi. Aku bahkan mencoba mendekripsi datanya, tapi tidak
ada jejak IP address atau server yang jelas. Seperti... phantom. Datanya
seperti muncul dari kehampaan."
"Jadi tidak ada cara untuk
tahu siapa yang mengirimnya?"
"Tidak dengan metode
standar." Dito menyandarkan kepala ke belakang. "Tapi ada satu hal
yang menarik. Aku mulai memperhatikan pola dalam rumor yang beredar. Tidak
semua orang membicarakannya. Hanya orang-orang tertentu, dan mereka tampaknya
punya koneksi ke Raka."
Aku menegakkan tubuh, menatapnya.
"Maksudmu, Raka yang menyebarkan rumornya?"
"Tidak menyebarkan secara
langsung, mungkin. Tapi ia mungkin yang pertama kali menyadarinya, lalu
'memancing' reaksi orang lain," jelas Dito. "Raka itu pintar, Nay. Ia
tidak akan langsung menuduh. Ia akan membuat situasi agar kau sendiri yang
terlihat bersalah atau mencurigakan."
Pikiranku kembali ke tatapan Raka
di kelas Fisika. Ke sindiran Mira. "Jadi, ia sedang memanipulasiku?"
"Bisa jadi. Ia ingin tahu
rahasiamu. Ia ingin tahu bagaimana kau 'tahu'. Mungkin ia merasa terancam, atau
ingin menggunakan informasimu." Dito menatapku tajam. "Situasinya
bukan lagi sekadar soal membantu orang atau tidak, Nay. Ini soal bagaimana kau
mengelola informasi yang kau dapatkan, dan bagaimana orang lain bereaksi
terhadapnya. Kau sedang diuji, bukan oleh 'Naya (2035)', tapi oleh lingkungan
sosialmu."
Kata-kata Dito terasa seperti
tamparan. Aku pikir aku hanya berurusan dengan dilema moral personal. Sekarang,
sudah menjadi masalah sosial. Notifikasi itu membuatku menjadi target.
Keesokan harinya, saat istirahat,
aku berjalan melewati mading sekolah. Ada kerumunan kecil di sana. Awalnya aku
tidak peduli, tapi kemudian aku mendengar namaku lagi. Dengan langkah ragu, aku
mendekat. Ada selembar kertas yang ditempel, dicetak tebal.
"SIAPA NAYA YANG 'TAHU'?"
Judulnya mencolok.
Di bawahnya, ada daftar singkat kejadian, ditulis dengan gaya menyindir:
- Dompet kembali ajaib.
- Penjual bunga selamat dari kecelakaan.
- Rudi tiba-tiba jadi jago Fisika.
- Dan masih banyak lagi 'kebetulan' ajaib lainnya!
Di bagian paling bawah, ada tulisan
tangan yang ditambahkan dengan spidol merah:
"JANGAN-JANGAN IA PUNYA KONTAK DENGAN ARWAH PENUNGGU SEKOLAH!"
Aku membaca setiap kalimat, setiap
sindiran, setiap goresan spidol merah. Darahku berdesir, bukan karena marah,
tapi karena takut. Notifikasi dari masa depan telah membawaku ke titik seperti
sekarang: menjadi tontonan, objek gosip, dan sasaran kecurigaan. Dan aku tahu,
entah bagaimana, Raka pasti berada di balik semua ini.
Saat itu, aku merasakan sebuah
tangan menepuk pundakku. Aku berbalik, dan mendapati Raka berdiri tepat di
belakangku, seringai tipis terukir di bibirnya. Matanya menatap mading, lalu
beralih padaku.
"Wah, populer juga kau
sekarang, Naya," katanya, nadanya datar tapi penuh ancaman yang
terselubung. "Pasti menyenangkan jadi yang paling tahu segalanya,
bukan?"
Ia mendekatkan wajahnya sedikit,
senyumnya semakin lebar, namun dingin. "Aku cuma penasaran,"
bisiknya, suaranya sangat pelan sehingga hanya aku yang bisa mendengarnya,
"kau bisa tahu banyak hal, tapi apa kau bisa tahu siapa yang menempel kertas
ini?"
Jantungku berdebar kencang,
menggila di dalam dadaku. Aku tahu ia tahu. Aku tahu ia tahu bahwa aku tahu.
Dan ia baru saja mengumumkan perang.
Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 8 - Bocoran Sosial"
Posting Komentar