Notif untuk Naya - Bab 9 - Dito Menyelidik
Raka berdiri di hadapanku, seringai dingin itu membeku di bibirnya, seolah ia baru saja memenangkan lotre yang paling kejam. Matanya memancarkan kemenangan, dan bisikannya adalah panah beracun yang menancap tepat di jantungku. Aku merasa seperti patung, kerongkonganku tercekat. Kerumunan di mading perlahan membubarkan diri, meninggalkan aku sendirian di tengah lorong sekolah yang riuh. Tapi riuh itu tidak lagi terasa ramah, melainkan seperti bisikan yang menghakimiku.
Setelah ia pergi, kakiku lemas. Aku
meraih tiang mading, mencoba menopang diri. Tulisan di kertas tebal itu seolah
menari-nari di depan mataku, setiap hurufnya adalah kutukan. Aku, Naya, si
pemalu yang suka memotret, kini menjadi tontonan. Rasa takut bercampur amarah
membakar dalam dadaku. Raka telah mengumumkan perang, dan aku bahkan tidak tahu
bagaimana cara membalasnya.
Sepanjang sisa hari itu, setiap
langkahku terasa berat. Setiap tatapan yang kutangkap terasa seperti
menembusku. Aku mencoba fokus di kelas, tapi bayangan Raka, kertas mading, dan
wajah Mira yang kecewa terus berputar-putar di kepalaku. Mira. Sahabatku. Ia
pasti sudah melihat kertas tersebut. Bagaimana aku bisa menjelaskan
semua kepadanya?
Malam harinya, aku tidak bisa
menunggu lagi. Aku mendatangi rumah Dito. Jendela kamarnya yang menyala adalah
mercusuar bagiku, satu-satunya tempat aku merasa aman. Aku mengetuk pintu
dengan hati-hati, lalu segera melesak masuk begitu Dito membukanya. Ia tampak
terkejut melihatku.
"Naya? Ada apa? Wajahmu pucat
sekali," katanya, nada khawatir jelas terasa dalam suaranya. Ia menuntunku
masuk ke kamarnya, yang selalu berantakan dengan kabel dan buku-buku.
Aku duduk di tepi tempat tidurnya,
lututku gemetar. "Dito, kau lihat kertas di mading tadi siang?"
Ia mengangguk, ekspresinya berubah
serius. "Aku sudah menduga kau akan ke sini. Raka memang
keterlaluan."
"Keterlaluan? Ini sudah
seperti..." Aku mencari kata-kata yang tepat. "Seperti ia ingin
mempermalukanku di depan semua orang! Ia bahkan menghampiriku dan menyindir
terang-terangan!"
Dito mendengarkan dengan sabar,
membiarkanku meluapkan semua kemarahan dan ketakutan. Ia mengambilkan segelas
air untukku. "Aku tahu. Aku sudah memperingatkanmu. Notifikasi itu
membuatmu punya keuntungan, tapi juga jadi target."
"Tapi ia menuduhku berhubungan
dengan arwah penunggu sekolah! Astaga, Dito! Bagaimana aku harus merespons
itu?" Aku merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk mata.
Dito duduk di sampingku, menepuk
punggungku pelan. "Tenang dulu. Raka tidak punya bukti. Ia hanya membuat
rumor. Tapi kita tidak bisa tinggal diam."
"Apa yang harus kita
lakukan?" tanyaku, suaraku nyaris berbisik. Aku merasa sangat tidak
berdaya.
"Pertama, kita harus mencari
tahu lebih banyak tentang notifikasi itu sendiri," kata Dito. "Aku
sudah mencoba melacaknya seperti yang kubilang kemarin, tapi tidak ada jejak
teknis. Ia seperti datang dari 'ruang hampa', itu benar."
"Jadi tidak ada harapan?"
"Bukan begitu." Dito
menyalakan laptopnya. Layar itu memantulkan cahaya di wajahnya yang fokus.
"Aku menghabiskan dua malam terakhir mencoba pendekatan berbeda. Aku tidak
mencoba melacak sumbernya, tapi aku mencoba melacak polanya."
"Pola?"
"Ya." Dito mengetik cepat
di keyboard-nya, membuka beberapa file dan script
code yang tidak kumengerti. "Setiap kali kau menerima notifikasi,
aku mencatat waktu kedatangannya dan waktu kejadian yang diperingatkan. Aku
juga mencari korelasi antara notifikasi dan kejadian lain di internet, seperti
berita lokal atau postingan media sosial."
Aku mencondongkan tubuh, penasaran.
"Apa yang kau temukan?"
"Ini menarik." Dito
menggeser laptopnya agar aku bisa melihatnya. Ada sebuah tabel dengan kolom
tanggal, waktu notifikasi, dan waktu kejadian. "Lihat di sini." Jari
telunjuknya menunjuk ke barisan angka. "Notifikasi pertama, dompet Pak
Budi. Datang pukul 00:01. Dompetnya ditemukan pukul 00:01 keesokan harinya.
Persis 24 jam kemudian."
Aku mengernyit. "Itu...
kebetulan?"
"Awalnya aku pikir
begitu," Dito tersenyum tipis. "Tapi setelah itu, semua notifikasi
mengikuti pola serupa. Notifikasi tentang penjual bunga, datang jam 14:30.
Kecelakaan terjadi jam 14:30 besoknya. Notifikasi kuis Fisika Rudi, datang jam
21:00. Kuis diumumkan jam 21:00 keesokan hari."
Aku terkesiap. "Maksudmu...
semua notifikasi datang tepat 24 jam sebelum peristiwa yang
diperingatkan?"
"Tepat. Hampir selalu. Ada
beberapa yang sedikit meleset beberapa menit, tapi itu bisa jadi karena
perbedaan jam di perangkat, atau delay jaringan. Tapi secara
keseluruhan, polanya sangat kuat." Dito menatapku. "Artinya, ini
bukan acak. Ini sangat... terencana."
Pikiranku berputar. Notifikasi itu
bukan sekadar pesan, melainkan jadwal yang sangat presisi. "Jadi... Naya
(2035) benar-benar tahu apa yang akan terjadi tepat 24 jam ke depan?"
"Bisa jadi. Atau ia memiliki
sistem yang sangat akurat untuk memprediksi hal itu." Dito menutup
laptopnya sejenak, menatapku lurus. "Ini bukan sekadar bantuan kecil lagi,
Nay. Ini adalah informasi yang sangat kuat. Dan jika Raka tahu kita punya akses
ke hal semacam itu, ia tidak akan berhenti sampai ia mengetahuinya."
"Kita harus lebih
hati-hati," kataku, kini bukan hanya ketakutan, tapi juga kekaguman dan
kengerian. Kekaguman pada presisi notifikasi itu, kengerian pada implikasinya.
"Bagaimana kalau kita membuat log sendiri? Agar kita punya data yang lebih
rapi?"
"Ide bagus." Dito
mengangguk. "Aku akan menyiapkan spreadsheet khusus. Kita
akan mencatat detail setiap notifikasi. Waktu datang, isi, waktu kejadian yang
diperingatkan, dan apa yang kau lakukan setelahnya. Dan yang paling penting,
konsekuensi dari tindakanmu."
"Konsekuensi..." Aku
teringat lagi mading sekolah dan tatapan Raka. "Konsekuensi sosial. Itu
sangat nyata, Dito."
"Ya, dan akan semakin
nyata." Dito menghela napas. "Kita tidak bisa terus-menerus
mengandalkan notifikasi tanpa memahami bagaimana ia bekerja atau apa tujuannya
sebenarnya. Ini bukan hanya tentang membantu atau menghindar, Nay. Ini tentang
pilihanmu, dan bagaimana pilihan tersebut memengaruhi
orang-orang di sekitarmu."
Aku menatapnya, merasa beban di
pundakku semakin berat. Dulu, notifikasi terasa seperti malaikat pelindung.
Sekarang, ia terasa seperti tali yang perlahan melilit leherku.
"Mira juga marah padaku,"
kataku, tiba-tiba teringat lagi. "Ia merasa aku tidak jujur padanya. Aku
tidak bisa menceritakan soal notifikasi ini, Dito. Ia pasti mengira aku
gila."
"Kau harus menemukan cara,
Nay," kata Dito serius. "Rahasia besar seperti ini, ia akan mengikis
kepercayaan. Mira itu sahabatmu. Kita akan butuh dia. Apalagi kalau Raka
semakin berani."
Aku tahu Dito benar. Kebenaran,
meski gila, adalah dasar sebuah pertemanan. Tapi bagaimana? Bagaimana aku bisa
menjelaskan notifikasi 24 jam dari masa depan kepada Mira, sahabatku yang
sangat logis dan skeptis? Apalagi sekarang, setelah kejadian mading, Raka sudah
terang-terangan mengincarku. Aku tidak hanya merasa di bawah pengawasan Naya
(2035), tapi juga di bawah pengawasan semua orang di sekolah. Dan yang paling
menakutkan, di bawah pengawasan Raka.
Malam itu, Dito membimbingku untuk
mulai mencatat. Dia menunjukkan spreadsheet yang dia buat,
rapi dan penuh detail. Kami mulai mengisi baris pertama, notifikasi pertama
tentang dompet Pak Budi.
"Ini baru permulaan,
Nay," kata Dito, matanya menyiratkan tekad. "Kita akan bongkar
misteri ini, bersama-sama."
Aku mengangguk, tapi hatiku masih
kalut. Misteri ini tidak hanya semakin dalam, tapi juga semakin berbahaya. Dan
Mira… ia belum tahu apa-apa. Bagaimana ia akan bereaksi saat mengetahui apa
yang selama ini kurahasiakan? Apa ia akan tetap percaya padaku? Pertanyaan itu terus
menghantuiku, merenggut nyenyak tidurku. Aku merasa seperti berjalan di tepi
jurang, dan di seberang sana, aku bisa melihat Mira berdiri, menatapku dengan
kekecewaan yang mendalam.
Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 9 - Dito Menyelidik"
Posting Komentar