Notif untuk Naya - Bab 10 - Pertengkaran Sahabat
Bayangan Raka yang
menyeringai masih membayang di benakku, terasa lebih nyata daripada embun pagi
yang menempel di jendela kamarku. Kertas mading yang menuduhku 'berhubungan
dengan arwah penunggu sekolah' itu seperti stempel tak terlihat di dahiku,
membuat setiap langkahku terasa canggung dan rentan. Tapi ada satu beban lain
yang lebih berat, menggerogoti perasaanku, Mira. Aku bisa merasakan tatapan
kecewanya bahkan tanpa melihatnya, seperti sebuah ramalan buruk dari Notifikasi
yang tidak pernah datang. Dito sudah memperingatkanku. Rahasia besar ini akan
mengikis kepercayaan.
Aku berusaha mencari Mira sepanjang
hari di sekolah, namun ia selalu selangkah lebih maju dariku. Di kantin, ia
memilih meja yang paling jauh. Di koridor, ia menunduk atau berpura-pura tidak
melihatku. Setiap kali aku mencoba mendekat, ada dinding tak terlihat yang ia
bangun. Hati kecilku mencelos setiap kali ia menolak kontak mata. Aku tahu ia
marah, dan aku tahu ia punya alasan untuk itu. Ketidakjujuranku, semua keanehan
yang mulai orang lain lihat dalam diriku, pasti terasa seperti penghianatan
baginya.
Sepulang sekolah, aku melihat Mira
sedang menunggu jemputannya di gerbang, sendirian. Ini kesempatanku. Aku
menghampirinya, jantungku berdegup kencang seperti akan lompat keluar. Aroma
hujan yang baru saja turun menyegarkan udara, tapi tidak mampu menenangkan
kegugupan di dadaku.
“Mira?” panggilku pelan.
Ia menoleh, tapi matanya tidak
bertemu dengan mataku. Pandangannya kosong, menembusku seolah aku tidak ada.
Ekspresinya dingin, jauh berbeda dari Mira yang biasanya vokal dan penuh tawa.
“Ada apa?” suaranya datar, tanpa
emosi, menusuk lebih dalam daripada amarah yang meledak-ledak.
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Kita perlu bicara.”
“Aku rasa tidak ada yang perlu
dibicarakan, Naya.”
“Ada. Soal... semuanya. Soal mading,
soal aku yang akhir-akhir ini aneh…”
Mira akhirnya menatapku, dan di
matanya, aku melihat campuran rasa sakit dan amarah yang mencoba ia
sembunyikan. “Aneh? Kau menyebutnya aneh? Kita sudah bersahabat sejak kecil,
Naya. Sejak kita bahkan belum mengerti arti kata ‘rahasia’. Sekarang, kau punya
rahasia yang bahkan lebih besar dari rumah Dito, dan kau pikir aku akan
baik-baik saja?”
“Bukan begitu,” aku tergagap. “Aku…
aku hanya belum bisa cerita.”
“Belum bisa? Atau tidak mau?” Mira
melipat tangannya di depan dada. “Sejak kapan kita saling menyembunyikan hal
sepenting ini? Kau berubah, Naya. Kau tahu hal-hal yang tidak seharusnya kau
tahu, kau bertingkah seperti kau punya peta masa depan, dan kau bahkan tidak
mau memberitahu kenapa.”
“Aku tidak punya peta masa depan,”
aku mencoba menyangkal, tapi suaraku terdengar lemah bahkan di telingaku
sendiri. Bagaimana aku bisa menjelaskan notifikasi dari diriku di masa depan
tanpa terdengar gila?
“Lalu apa? Ceritakan padaku, Naya!
Kenapa Raka tiba-tiba mengincarmu? Kenapa gosip-gosip aneh itu menyebar? Dan
kenapa kau selalu tahu kapan ujian akan dibatalkan atau kapan ada penemuan
dompet yang akan diserahkan?” suaranya mulai naik, beberapa siswa lain melirik
ke arah kami. Aku bisa merasakan wajahku memanas.
“Itu hanya… kebetulan,” aku
bersikeras, tahu itu terdengar bodoh.
Mira tertawa sinis. “Kebetulan?
Ribuan kebetulan, Naya? Apa kau lupa kita ini siapa? Kita ini Mira dan Naya!
Kita berbagi rahasia tentang siapa cowok yang kita taksir, kita saling pinjam
uang jajan saat dompet kosong, kita bahkan tahu warna kaus kaki favorit
masing-masing! Sekarang, kau berdiri di depanku, merahasiakan sesuatu yang
membuatmu jadi target dan kau bilang itu kebetulan?”
Air mata mulai menggenang di
mataku. “Aku minta maaf, Mira. Aku sungguh-sungguh. Tapi ini bukan hal yang
mudah dijelaskan. Aku takut kau tidak akan percaya.”
“Tidak akan percaya?” Mira
menggelengkan kepalanya. “Itu lebih menyakitkan, Naya. Kau tidak percaya padaku
bahwa aku akan memercayaimu. Kau pikir aku akan menertawakanmu atau
menghakimimu? Setelah semua yang sudah kita lewati bersama?”
Pundakku merosot. Aku merasa
seperti ada batu besar yang menimpaku. Rasa bersalah dan takut bercampur aduk.
Aku ingin sekali menceritakan semuanya, tentang Naya (2035), tentang pola 24
jam yang Dito temukan, tentang betapa mengerikannya Notifikasi itu bisa
memanipulasi hidupku. Tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokanku. Aku takut
akan kehilangan Mira sepenuhnya jika aku mengungkap kebenatan yang terlalu gila
untuk diterima.
“Aku hanya… tidak bisa sekarang,”
bisikku, suaraku pecah.
Mira menatapku dengan mata yang
basah, tapi ia menahan air matanya. “Baiklah. Kalau begitu, aku rasa kita tidak
punya apa-apa lagi untuk dibicarakan.” Ia berbalik, melangkah menjauh.
“Mira, tunggu!” Aku meraih
lengannya, tapi ia melepaskannya dengan cepat.
“Aku butuh waktu, Naya. Aku butuh
ruang. Kau harus memikirkannya baik-baik. Kalau kau benar-benar menganggapku
sahabat, kau tahu apa yang harus kau lakukan.” Suaranya gemetar, tapi tekadnya
jelas. Ia berjalan pergi tanpa menoleh lagi, masuk ke dalam mobil jemputannya
yang baru saja tiba.
Aku terpaku di tempat, menyaksikan
mobil itu melaju dan menghilang di balik tikungan. Ruas jalan yang tadinya
penuh dengan siswa yang pulang kini terasa sepi dan hampa. Perutku melilit,
dadaku sesak. Persahabatanku dengan Mira, yang kupikir tak tergoyahkan, kini
retak. Aku telah membuat pilihan, atau lebih tepatnya, aku telah gagal membuat
pilihan, dan harganya adalah kehilangan bagian dari diriku sendiri.
Aku berjalan pulang dengan langkah
gontai. Setiap rumah yang kulewati, setiap orang yang kusapa, terasa asing. Aku
merasa sangat sendirian. Dito benar, Notifikasi itu memang memberiku
keuntungan, tapi juga mengisolasi. Dan sekarang, di tengah semua gosip Raka dan
rahasia yang makin membesar, aku telah kehilangan salah satu pilar terpenting
dalam hidupku.
Sesampainya di rumah, aku langsung
masuk ke kamar. Kupandangi ponselku. Layarnya gelap, tapi aku tahu, Notifikasi
itu akan datang lagi. Kapan? Dengan peringatan apa? Apakah ia akan memberitahu
bagaimana memperbaiki hubunganku dengan Mira? Atau justru memperingatkan bahaya
yang lebih besar lagi? Aku merasa sangat kecil dan tidak berdaya. Semua
keputusan yang kuambil terasa salah. Aku merindukan masa ketika hidupku
sederhana, tanpa Notifikasi, tanpa rahasia, dan tanpa persahabatan yang hancur.
Malam itu, setelah aku menangis
sampai lelah, aku meraih buku catatan kecilku. Aku mulai menulis, bukan
Notifikasi, tapi perasaanku sendiri. Aku menulis tentang kekecewaan Mira,
tentang ketakutanku, tentang bagaimana rasanya menjadi Naya yang berbeda. Tiba-tiba,
ponselku bergetar.
Aku meliriknya. Layar itu menyala,
menampilkan notifikasi baru. Jantungku berdebar kencang. Kali ini, tidak ada
jam 00:01. Notifikasi itu datang pukul 22:45. Sebuah pesan singkat, lebih
dingin dan tegas dari biasanya:
Naya (2035): Besok akan ada
kebocoran data OSIS besar-besaran. Jangan ikut campur.
Peringatan itu terasa seperti
tamparan keras. Kebocoran data OSIS? Itu bukan lagi tentang dompet Pak Budi
atau kuis Fisika. Ini adalah masalah besar. Dan Notifikasi itu memerintahkanku
untuk tidak ikut campur. Apakah ini konsekuensi dari pilihanku untuk tidak
mengungkapkan rahasia kepada Mira? Atau justru ujian baru yang lebih
mengerikan? Aku tahu, besok, bukan hanya reputasiku yang dipertaruhkan, tapi
mungkin juga reputasi seluruh sekolah. Dan aku sendirian, tanpa Mira di sisiku.
Rasa takut itu kini berganti menjadi kengerian yang nyata. Apa yang akan
terjadi jika aku mengikuti Notifikasi itu? Dan apa yang akan terjadi jika aku
menolaknya?
Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 10 - Pertengkaran Sahabat"
Posting Komentar