Notif untuk Naya - Bab 11 Notif Berbahaya

notif untuk naya

Aku terbangun dengan mata bengkak dan kepala pusing, bukan karena kurang tidur, melainkan karena pikiran yang tak henti berputar. Notifikasi semalam masih terpatri jelas di benakku, menggema seperti lonceng malapetaka. "Jangan ikut campur." Kalimat itu, sungguh bukan gaya Notifikasi sebelumnya. Biasanya ia memberiku jalan keluar, atau setidaknya pilihan yang tampak menguntungkan. Kali ini, ia menyuruhku menutup mata, membiarkan sesuatu yang besar terjadi.

Aku menatap ponselku yang tergeletak di nakas. Notifikasi itu terasa dingin, tak seperti pesan-pesan awal yang entah bagaimana terasa personal. Rasa takut itu kembali. Takut pada konsekuensi jika aku tak mematuhi. Takut pada dampak dari kebocoran data OSIS itu sendiri. Aku bisa membayangkan daftar nama siswa, nomor telepon, bahkan mungkin alamat. Informasi pribadi yang seharusnya aman. Sebuah gelombang mual menjalar di perutku.

Di sekolah, suasana terasa biasa saja. Atau setidaknya, aku berusaha melihatnya begitu. Tapi setiap langkah, setiap suara, terasa seperti pertanda yang mungkin kulewatkan. Aku tahu aku harus mencari Dito. Ia satu-satunya orang yang tahu sebagian kecil dari rahasia besarku, dan ia satu-satunya yang masih kupercaya.

Aku menemukan Dito di sudut perpustakaan, tempat ia biasa menghabiskan waktu luang sebelum kelas. Ia sedang membaca buku tebal tentang kriptografi, kacamata bertengger di hidungnya. Ketika ia melihatku, senyumnya meluntur.

“Naya? Kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya dipelankan agar tidak mengganggu ketenangan perpustakaan.

Aku menggeleng. “Tidak. Aku perlu bicara. Penting.”

Ia menutup bukunya, menandainya dengan pembatas, lalu mendorongnya ke samping. “Tentu. Ada apa?”

Aku menarik ponselku, membuka aplikasi pesan, dan menunjukkan Notifikasi dari Naya (2035) yang kuterima semalam. "Besok akan ada kebocoran data OSIS besar-besaran. Jangan ikut campur."

Dito membaca pesan itu, ekspresi wajahnya berubah tegang. Alisnya berkerut, dan ia membenarkan letak kacamatanya. “Kebocoran data OSIS? Itu gila, Nay. Data apa?”

“Tidak dijelaskan. Hanya itu.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Dan yang paling bikin aku bingung, Dito, Notifikasi itu bilang… jangan ikut campur.”

Dito menatapku, matanya mencari jawaban di wajahku. “Jangan ikut campur? Tapi ini kan serius sekali. Kalau data OSIS bocor, itu bisa menyangkut data banyak siswa, termasuk kita yang pernah ikut acara-acara OSIS. Nama, nomor kontak, mungkin bahkan data bank kalau ada iuran-iuran yang diproses online.”

“Aku tahu!” Aku memelankan suaraku lagi, khawatir ada yang mendengar. “Aku tahu. Semalam aku tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Notifikasi ini… terasa seperti jebakan. Kalau aku ikut campur, apakah akan ada konsekuensi lain yang lebih buruk? Tapi kalau aku diam saja, aku merasa… jahat.”

Dito mengusap dagunya, kebiasaan ia saat berpikir keras. “Biasanya Notifikasi itu bantu kamu, kan? Untuk hal-hal kecil, untuk menghindar masalah. Tapi ini… ini bukan masalah pribadi lagi, Nay. Ini masalah publik. Etisnya, kita harus memberi tahu seseorang. Setidaknya, pengurus OSIS atau Pak Rudi.”

Sebuah desakan untuk berteriak muncul di benakku, tapi aku menahannya. Aku tahu Dito benar. Tapi rasa takut itu lebih besar. “Bagaimana kalau dengan ikut campur, aku malah memperparah keadaan? Atau, bagaimana kalau ini semacam tes? Kalau aku menolak Notifikasi, apa yang akan terjadi pada pesan-pesan selanjutnya? Aku takut, Dito.”

“Takut apa, Nay?”

“Takut kehilangan keuntunganku. Takut kehilangan panduan itu. Setelah semua yang terjadi dengan Mira… aku merasa sangat sendirian. Notifikasi ini satu-satunya yang aku punya.” Suaraku bergetar di akhir kalimat. Aku merasa malu mengakui betapa tergantungnya aku pada sumber misterius tersebut.

Dito meletakkan tangannya di lenganku. Sentuhannya hangat. “Aku tahu kau merasa sendirian, Nay. Tapi ini bukan tentang kamu sendiri. Bayangkan kalau data kamu sendiri yang bocor. Bagaimana perasaanmu?”

Pikiranku berpacu. Aku membayangkan nama-nama yang kukenal di OSIS: Raka, beberapa teman sekelasku, bahkan Pak Budi selaku pembina OSIS. Mereka semua akan terdampak. Tapi perintah “jangan ikut campur” terasa mengikat. Aku sudah terlalu sering bergantung pada Notifikasi, dan entah bagaimana, aku merasa terpaksa untuk patuh.

“Aku… aku tidak tahu, Dito. Aku… aku rasa aku akan mengikuti pesannya,” aku berbisik, suaraku nyaris tak terdengar.

Dito menarik tangannya. “Naya, kau serius? Kau akan membiarkan kebocoran data besar-besaran terjadi begitu saja?”

Aku tidak menjawab, hanya menunduk. Rasa bersalah mulai mencengkeram. “Aku tidak mau mengambil risiko, Dito. Notifikasi itu selalu benar. Kalau aku melanggarnya, bagaimana kalau ada hal yang lebih buruk terjadi pada kita? Aku sudah cukup kehilangan Mira. Aku tidak mau kehilangan hal lain.”

Ada keheningan panjang di antara kami. Udara di perpustakaan terasa semakin berat. Aku bisa merasakan tatapan kecewa Dito, meskipun ia tidak mengatakan apa-apa.

“Baiklah,” akhirnya ia berkata, suaranya pelan dan penuh kekecewaan. “Kalau itu keputusanmu. Tapi setidaknya, Naya, biarkan aku mengamati saja. Kalau ada celah yang bisa kuperbaiki nanti, aku akan coba.”

Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. “Terima kasih, Dito. Setidaknya ada yang… aku tidak benar-benar sendirian.”

Ia hanya mengangguk, sorot matanya masih muram.

Sepanjang hari itu, aku mencoba mengabaikan kecemasanku. Aku berpura-pura semuanya baik-baik saja. Namun, sekitar jam istirahat siang, desas-desus mulai muncul. Aku mendengar beberapa siswa OSIS berbisik di koridor tentang masalah teknis di server sekolah. Kemudian, seorang teman di kelasku, yang juga anggota OSIS, mengeluh bahwa ia menerima banyak email spam aneh yang menyebut namanya.

Aku bisa merasakan keringat dingin mengucur di punggungku. Ini pasti efek dari Notifikasi itu. Kebocoran data itu.

Aku melihat Raka, yang juga anggota OSIS, mondar-mandir di dekat ruang OSIS dengan wajah cemas, berulang kali memeriksa ponselnya. Ia tampak frustrasi, sesekali berbicara dengan nada tinggi kepada teman OSIS lain. Tampaknya, ia adalah salah satu yang paling terdampak.

Detik demi detik, ketegangan makin meningkat. Aku terus memegang erat kata-kata "jangan ikut campur" seperti mantra. Aku meyakinkan diriku bahwa ini untuk kebaikan. Bahwa aku menghindari bencana yang lebih besar.

Ketika pulang sekolah, aku melewati papan pengumuman. Di sana, di antara jadwal rapat dan informasi kegiatan, terpampang sebuah pengumuman darurat.

PEMBERITAHUAN PENTING: Penundaan Seluruh Aktivitas OSIS Hingga Waktu yang Belum Ditentukan. Mohon Maaf Atas Ketidaknyamanan Ini. Data Penting OSIS Sedang Dalam Peninjauan Keamanan.

Aku membaca pengumuman itu berulang kali. Penundaan seluruh aktivitas. Data penting dalam peninjauan keamanan. Kata-kata itu terdengar formal dan menenangkan di permukaan, tapi di baliknya, aku tahu ada kekacauan. Sebuah tanda kecil dari ketidakberdayaanku, pilihan untuk diam, mulai tampak.

Saat aku berjalan gontai menuju gerbang, ponselku bergetar. Sebuah notifikasi. Bukan dari Naya (2035). Melainkan dari grup chat OSIS yang beberapa minggu lalu aku sempat diundang untuk membantu dokumentasi.

_Raka:_ _(ke grup)_ _Guys, ini gila. Semua data proyek, data anggota, bahkan nomor HP sebagian besar dari kita bocor ke publik. Ada yang ngirim link ke grup-grup luar. Parahnya, ada yang nuduh ini kerjaan orang dalam karena cuma anggota OSIS yang tahu detail sistemnya._

Aku berhenti berjalan. Darahku seolah membeku. Aku membuka link yang dibagikan Raka. Dan di sana, terpampang jelas, sebuah file Excel besar. Daftar panjang nama-nama siswa, lengkap dengan nomor identitas, alamat email, dan nomor ponsel pribadi. Bahkan ada kolom tentang riwayat partisipasi mereka di berbagai acara OSIS. Aku melihat namaku sendiri, dan nama Mira.

Air mataku tumpah. Bukan hanya karena kebocoran data itu sendiri, tetapi karena rasa bersalah yang menggerogoti. Aku telah tahu. Aku telah diberi kesempatan. Dan aku memilih untuk tidak ikut campur.

Lalu, notifikasi lain masuk ke ponselku, mengakhiri hari yang mengerikan itu dengan tamparan terakhir. Kali ini dari Naya (2035).

Naya (2035): Konsekuensi dari kebocoran ini akan menimpa seseorang yang dekat denganmu. Bersiaplah.

Jantungku berdegup kencang, kali ini bukan karena takut, melainkan karena kengerian yang murni. Konsekuensi menimpa seseorang yang dekat denganku? Siapa? Mira? Dito? Atau… apakah itu bagian dari rencana, untuk membuatku semakin patuh? Aku menatap daftar nama di ponselku, merasakan dingin menjalar ke tulang. Siapa yang akan menjadi korban berikutnya dari Notifikasi yang kejam ini? Dan apa yang harus kulakukan, sekarang ketika Notifikasi itu sudah bersekutu dengan keacuhanku?

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 11 Notif Berbahaya"