Notif untuk Naya - Bab 12 - Dilema Etis

notif untuk naya

Pagi itu, aku terbangun dengan sensasi dingin menjalar di perut. Bukan karena udara, tapi karena beban yang menindih. Hari sebelumnya, aku telah mengambil keputusan yang terasa seperti mengkhianati diriku sendiri: membiarkan kebocoran data OSIS terjadi, patuh pada perintah notifikasi yang terasa dingin dan otoriter. Dan yang paling mengerikan adalah pesan terakhir: "Konsekuensi dari kebocoran akan menimpa seseorang yang dekat denganmu. Bersiaplah." Kata-kata tersebut menari-nari di benakku, seperti belati tajam yang siap menghujam. Siapa? Mira yang sedang renggang denganku? Dito yang telah kucewakan? Atau kedua orang tuaku yang selalu kubebani?

Langkah-langkahku ke sekolah terasa lebih berat dari biasanya. Udara pagi yang biasanya menyegarkan kini terasa pengap, dan riuh rendah obrolan teman-teman di koridor terdengar seperti desingan lebah yang membingungkan. Aku berusaha tampak biasa saja, menyembunyikan badai di dalam dadaku. Tapi setiap kali melirik ponselku, bayangan file Excel berisi data pribadi siswa yang dibagikan Raka kemarin melintas, membuat kerongkonganku kering. Namaku ada di sana, nama Mira juga. Rasa bersalah menusuk, membakar ulu hatiku.

Di tengah kegelisahan, aku masuk ke kelas Teknologi Informasi. Pak Rudi sudah berdiri di depan kelas, proyektor menampilkan judul besar: "Etika Digital: Tanggung Jawab di Era Informasi." Aku duduk di bangkuku, di barisan paling belakang, mencoba menenangkan diri. Dito duduk beberapa baris di depanku, tapi aku tidak berani menatapnya. Bayangan kekecewaan di matanya kemarin masih jelas.

Pak Rudi memulai ceramahnya dengan suara tenang namun tegas. "Anak-anak, di era digital seperti sekarang, informasi adalah mata uang paling berharga. Dan seperti mata uang lainnya, ia bisa disalahgunakan. Privasi, keamanan, dan etika menjadi sangat krusial."

Aku mencoba fokus pada catatanku, tapi setiap kata-kata Pak Rudi terasa seperti jarum yang menyentuh luka terbukaku.

"Kita seringkali merasa bahwa tindakan di dunia maya tidak seberat tindakan di dunia nyata," lanjut beliau, menggerakkan tangannya. "Padahal, dampaknya bisa jauh lebih luas, lebih tak terkontrol. Misalnya, kebocoran data. Ada yang tahu, apa saja potensi bahaya dari kebocoran data pribadi?"

Beberapa siswa mengangkat tangan. Raka, yang biasanya vokal, hanya terdiam di bangkunya, wajahnya masih tampak muram dari kemarin.

"Bisa dipakai untuk penipuan, Pak!" kata seorang siswi.

"Identitas bisa dicuri!" timpal yang lain.

"Bahaya, Pak, kalau data kartu keluarga atau KTP bocor, bisa pinjol!"

Pak Rudi mengangguk. "Tepat sekali. Ancaman finansial, pencurian identitas, penipuan, bahkan cyberbullying. Tapi ada satu hal lagi yang sering kita lupakan: dampak sosial dan psikologis. Kehilangan kepercayaan, rasa tidak aman, bahkan reputasi yang hancur. Bayangkan, data pribadi yang seharusnya aman di tangan institusi terpercaya, tiba-tiba tersebar luas tanpa kendali. Siapa yang bertanggung jawab?"

Pertanyaan Pak Rudi menggema di kepalaku. Siapa yang bertanggung jawab? Aku tahu jawabannya: sebagian adalah aku. Aku telah diberi peringatan. Aku tahu apa yang akan terjadi. Dan aku memilih untuk tidak ikut campur. Notifikasi itu menyuruhku begitu, dan aku patuh. Patuh, padahal hatiku berteriak lain.

"Banyak yang berpikir, 'Ah, itu bukan urusanku.' Atau, 'Saya kan cuma tahu, bukan pelakunya,'" Pak Rudi melanjutkan, menatap berkeliling. Matanya sempat berhenti padaku, meskipun hanya sepersekian detik. Aku langsung menunduk. "Tapi, ada pepatah yang mengatakan, 'The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.' Dalam konteks digital, ketika Anda tahu ada celah keamanan, ada potensi bahaya, namun Anda memilih diam—apakah itu etis?"

Napas ku tertahan. Aku bisa merasakan detak jantungku berpacu, menggedor-gedor rusuk. Pak Rudi baru saja mengucapkan apa yang selama ini menggangguku. Bukankah aku "orang baik" yang melakukan "nothing"? Aku punya kesempatan untuk memperingatkan, untuk setidaknya mencoba. Tapi Notifikasi itu... Notifikasi itu menakutiku.

"Tentu saja," Pak Rudi melanjutkan, "Ada kalanya ikut campur justru memperburuk keadaan. Dilema ini kompleks. Anda harus menimbang: Apakah intervensi saya akan benar-benar membawa perubahan positif, ataukah justru menimbulkan masalah baru yang tidak saya perkirakan? Dan apakah keacuhan saya, entah karena takut atau karena mencari keuntungan pribadi, sepadan dengan kerugian yang mungkin ditanggung orang lain?"

Aku memejamkan mata sejenak. Keuntungan pribadi. Aku memang mencari keuntungan, keuntungan dari panduan yang diberikan Notifikasi, kenyamanan karena tak harus menebak-nebak apa yang akan terjadi. Dan harga dari keuntungan adalah… data pribadi teman-temanku, reputasi OSIS, dan sekarang, ancaman pada seseorang yang dekat denganku.

"Bagaimana jika kita dihadapkan pada sebuah pilihan," tanya Pak Rudi, suaranya lebih lembut, namun penuh bobot. "Pilihan untuk melakukan sesuatu yang salah secara etis, demi melindungi diri kita sendiri dari bahaya yang lebih besar? Atau pilihan untuk berkorban, untuk melakukan hal yang benar, meskipun itu membahayakan kita?"

Seorang siswa di depan mengangkat tangan. "Tapi, Pak, kalau kita tahu informasi dari sumber yang tidak jelas, misalnya anonim, apakah kita tetap punya kewajiban etis untuk bertindak?"

Pak Rudi tersenyum tipis. "Pertanyaan yang bagus. Sumber informasi itu penting. Apakah bisa dipercaya? Apakah motifnya jelas? Tetapi, terlepas dari sumbernya, jika informasi mengindikasikan bahaya nyata dan serius bagi orang banyak, apakah kita bisa simply mengabaikannya? Kebijakan etis bukanlah tentang siapa yang memberi tahu, melainkan tentang apa yang diinformasikan dan dampaknya."

Jeda panjang melingkupi kelas. Semua orang sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku tahu pertanyaan ditujukan untuk seluruh kelas, tapi rasanya seperti laser yang menembus langsung ke dalam diriku. Notifikasi dari "Naya (2035)" memang anonim, sumbernya tak jelas. Tapi informasi yang diberikannya, kebocoran data OSIS, adalah bahaya nyata. Dan aku memilih untuk mengabaikannya.

"Jadi, anak-anak," Pak Rudi mengakhiri ceramahnya, "pada akhirnya, etika digital kembali pada satu hal mendasar: hati nurani kita. Apa yang kita yakini benar dan salah? Apakah kita bersedia menanggung konsekuensi dari pilihan? Tanggung jawab tidak hanya milik pembuat sistem, tidak hanya milik pelaku kejahatan, tapi juga milik setiap individu yang memiliki informasi. Terlebih lagi, informasi yang bisa menyelamatkan atau merugikan."

Bel istirahat berbunyi, memecah keheningan yang tegang. Siswa-siswa mulai beranjak, merapikan buku-buku mereka. Aku duduk diam, kepalaku berputar. Kata-kata Pak Rudi, ditaburi dengan notifikasi dari "Naya (2035)" dan bayangan daftar nama yang bocor, menciptakan sebuah pusaran dalam diriku. Aku merasa semakin kecil dan terkepung.

Ketika kelas sudah sepi, aku akhirnya memberanikan diri mendekati meja Pak Rudi. Ia sedang merapikan perangkat proyektor.

"Pak," panggilku pelan.

Ia menoleh, senyumnya hangat. "Oh, Naya. Ada apa?"

Aku memilin ujung kemejaku. "Saya… saya cuma mau tanya. Kalau… kalau ada seseorang yang tahu akan terjadi sesuatu yang buruk, tapi ia diancam, atau merasa terancam, kalau ia ikut campur… apa yang sebaiknya ia lakukan, Pak?"

Pak Rudi menatapku lekat-lekat. Senyumnya sedikit memudar, digantikan oleh ekspresi serius. "Naya, pertanyaanmu bukan lagi soal teori, ya?"

Aku menunduk. "Mungkin saja."

"Dalam kasus seperti itu, prioritas utama adalah keselamatan diri sendiri dan orang lain," ia berkata, suaranya kini lebih personal. "Jika ancaman nyata, mencari bantuan dari orang dewasa yang dipercaya adalah langkah pertama. Guru, orang tua, konselor. Jangan pernah menghadapi ancaman sendirian. Kemudian, jika informasi yang kau miliki bisa mencegah bahaya yang lebih besar—dan kau sudah memastikan kebenarannya—kau punya kewajiban etis untuk bertindak, tapi dengan cara yang paling aman dan bijaksana."

"Tapi… bagaimana kalau dengan bertindak, saya justru membuat situasi lebih buruk? Atau kalau saya tidak yakin siapa yang bisa dipercaya?" Aku mengangkat kepala, menatapnya, mataku mungkin sudah berkaca-kaca. "Kalau melibatkan rahasia yang… terlalu besar?"

Pak Rudi menghela napas. "Naya, rahasia besar seringkali tidak bisa ditanggung sendirian. Berat sekali. Kebenaran, meski pahit, seringkali menemukan jalannya. Dan jika kau menanggungnya sendiri, beban akan menghancurkanmu. Mencari seseorang yang bisa kau percaya—meski hanya satu orang—untuk berbagi beban, bisa membuat perbedaan besar. Kadang, melihat masalah dari sudut pandang lain bisa membuka jalan." Ia mendekat sedikit, menurunkan suaranya. "Apakah ada yang ingin kau ceritakan, Naya?"

Aku terdiam, memikirkan Dito, lalu Mira. Dito sudah kucewakan. Mira, aku sudah menutupinya darinya. Mereka memang orang yang bisa kupercaya. Tapi aku sudah merusaknya.

"Terima kasih, Pak," kataku akhirnya, menghindari pertanyaan langsungnya. "Saya… saya akan memikirkannya."

Aku berjalan keluar kelas, merasa seperti ada batu besar di dadaku. Pak Rudi telah membuka mataku pada kebenaran yang tak ingin kudengar. Notifikasi, yang dulu kurasa adalah penyelamatku, kini terasa seperti jerat yang semakin mengikat. Ia bukan panduan, tapi manipulasi. Dan aku telah menjadi pionnya.

Di koridor, aku melihat sekelompok siswi berkerumun, mereka menunjuk-nunjuk ponsel sambil berbisik. Ketika aku lewat, salah satu dari mereka mengangkat ponselnya, memperlihatkan sebuah tangkapan layar. Itu adalah foto profil Mira di media sosial, dikelilingi oleh komentar-komentar negatif dan pertanyaan-pertanyaan yang menyerang privasi, menuduhnya menyembunyikan data dan bersekongkol.

Aku berhenti, jantungku serasa berhenti berdetak. Mira. Notifikasi itu… "Konsekuensi dari kebocoran akan menimpa seseorang yang dekat denganmu." Dan sekarang, Mira, sahabatku, sedang dihujani komentar kejam di dunia maya, dituduh atas sesuatu yang ia sendiri tak tahu. Ini pasti gara-gara data OSIS yang bocor, data yang seharusnya ia lindungi sebagai anggota aktif OSIS, tapi justru menjadi senjata makan tuan. Itu konsekuensi dariku.

Aku melihat nama-nama di tangkapan layar. Beberapa dari Raka dan teman-temannya. Amarah membakar diriku. Bukan hanya rasa bersalah, tapi amarah pada diriku sendiri, pada Notifikasi, dan pada dunia yang terasa semakin kacau. Aku telah membiarkan terjadi pada Mira.

Seketika, sebuah notifikasi baru muncul di ponselku, kali ini bukan dari Naya (2035). Melainkan dari Dito. Sebuah pesan singkat, hanya berisi sebuah tautan dan tiga kata: "Nay, ini gila."

Tautan itu mengarah ke sebuah blog anonim. Judulnya terpampang jelas, menghujam mataku: "Misteri Pembocor Data OSIS: Siapa Dalang di Balik Layar?" Dan di bawahnya, ada sebuah foto. Foto diriku, diambil secara diam-diam, saat aku sedang menatap ponselku di sudut perpustakaan, tempat aku berdiskusi dengan Dito kemarin, tak lama setelah aku menolak ikut campur dalam kebocoran data.

Pikiranku berputar kencang. Apakah ulah "Naya (2035)" lagi? Atau ada orang lain yang kini memanipulasi situasi? Ancaman "konsekuensi" bukan hanya menimpa Mira, tetapi juga mengarah padaku. Aku tak lagi merasa sendirian karena Notifikasi. Aku merasa sendirian karena semua orang kini mungkin melihatku sebagai musuh.
Siapa yang mengambil foto itu? Siapa yang membocorkannya ke blog anonim? Dan yang paling penting: Siapa yang sedang memburuku?

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 12 - Dilema Etis"