Langit Retak di Atas Kepala Orang-Orang Biasa

Langit Retak di Atas Kepala Orang-Orang Biasa

Langit itu seakan disayat sesuatu yang tak kasat mata. Cahaya jingga yang biasanya ramah mendadak pecah, seperti kaca jendela dilempar batu. Orang-orang menengadah, sebagian diam, sebagian menggerutu, sebagian lagi berjalan terus, seolah tak ada apa pun yang berubah.

Di antara mereka ada Raka, seorang pemuda dua tiga puluh tahun yang baru saja pulang dari unjuk rasa. Kaosnya basah keringat, wajahnya kotor debu jalanan, dan matanya merah karena gas air mata. Di tangannya masih tergenggam bendera kecil yang kusut, simbol sederhana dari keyakinan yang belum padam.

Raka duduk di bangku taman yang catnya mengelupas. Nafasnya masih terengah, tetapi pikirannya jauh lebih gaduh dari tubuhnya. Ia ingat suara ibunya tadi pagi: “Hati-hati di jalan, Nak. Jangan nekat, cukup tahu batas.” Kata-kata itu menempel, tapi langkah kakinya tetap membawanya ke kerumunan, ke teriakan, ke hadapan polisi yang berdiri bagai tembok besi.

Di kejauhan, asap hitam dari gedung dewan yang terbakar masih membubung. Bau hangus bercampur dengan aroma gorengan seorang penjual tua di ujung jalan. Anak-anak berlari di sekitar taman, tertawa tanpa peduli retakan langit di atas kepala mereka.

Raka menunduk, lalu bergumam lirih, “Kami hanya ingin hidup wajar… kenapa harus sampai sejauh ini?” Kalimat itu nyaris hilang ditelan suara kendaraan yang lalu-lalang, tapi ia tahu hatinya mendengarnya dengan jelas.

Sementara itu, seorang perempuan muda dengan gendongan bayi menunggu bus di halte. Raka melihatnya sekilas. Bayi itu tertidur pulas, tak terganggu riuh kota yang baru saja menelan amarah massa. Ada kekuatan aneh di wajah perempuan itu—sebuah ketabahan yang membuat Raka merasa kecil.

Ia ingin mendekat, ingin berkata sesuatu, tapi langkah kakinya berat. Seolah bumi sendiri menahan. Akhirnya ia hanya kembali menatap langit yang retak.

Angin sore membawa suara-suara samar. Doa-doa pekerja yang upahnya tak cukup, doa ibu-ibu yang ingin anaknya tidur nyenyak, doa mahasiswa yang masih percaya kata-kata bisa mengubah dunia. Raka merasa suara-suara itu masuk ke dalam dirinya, menjadi bagian dari dadanya yang sesak.

Hari kian gelap, retakan langit perlahan tertutup oleh hitam malam. Bintang-bintang menyelinap di sela-sela, seperti janji samar bahwa esok akan tetap ada pagi.

Raka berdiri. Ia tahu langkahnya belum tentu berarti, suaranya belum tentu didengar. Tapi ia juga tahu, diam hanya membuat retakan langit kian melebar. Maka ia berjalan lagi, menembus jalanan kota, dengan keyakinan kecil di dadanya: bahwa orang-orang biasa, seperti dirinya, tak boleh berhenti menengadah.

Langit retak itu bukan akhir. Ia hanyalah tanda—bahwa masih ada yang berani melihat, meski dengan mata yang perih.

Raka berjalan tanpa arah pasti. Langkahnya berat, seolah setiap pijakan menanggung beban yang tak kasat mata. Kepalanya penuh bayangan wajah-wajah asing yang jatuh satu per satu di tengah bentrokan. Ada yang pingsan, ada yang berdarah di pelipis, ada yang tak lagi bergerak meski kerumunan berteriak meminta tolong.

Ia masih ingat tubuh seorang remaja lelaki yang digotong di atas spanduk robek. Napasnya pendek, matanya terbuka tapi kosong. Raka ikut membantu mengangkat, tapi setelah itu tak tahu ke mana bocah itu dibawa. Apakah ia selamat? Ataukah namanya kini hanya jadi angka tambahan dalam daftar korban? Pertanyaan itu menusuk, menolak padam dari kepalanya.

Suara sirene masih bergema di kejauhan. Di jalan besar, kerumunan bergerak liar menuju sebuah rumah megah—milik seorang anggota dewan yang kata-katanya beberapa hari lalu menghina rakyat kecil di layar televisi. Ucapan itu kini berbalik jadi bara. Rumah bertingkat itu dilempari batu, jendelanya pecah, dan dijarah.

Puluhan mobil mewah dibakar. Ada yang membawa kabur kursi, koper, piala, dan ada pula yang menyalakan api hingga suara ledakan ban terdengar bertubi-tubi.

Massa menyerbu ke dalam. Sofa empuk, lemari kayu jati, hingga uang kontan yang ditemukan di laci-laci ikut digasak. Setiap benda mewah yang keluar dari rumah itu seperti menyalakan sorak-sorai. Namun di balik sorak itu, Raka merasakan dentuman lain: semacam keputusasaan yang berubah menjadi amarah tak terkendali.

Ia berdiri terpaku di seberang jalan. Matanya menyaksikan bagaimana kemewahan yang selama ini dipamerkan dengan congkak, kini dilalap api dan tangan-tangan rakyat yang letih. Di satu sisi, ada rasa lega: kesombongan itu akhirnya roboh. Tapi di sisi lain, dadanya dicekam resah: Apakah ini balas dendam ataukah sekadar pelampiasan lapar? Apakah keadilan bisa lahir dari bara dan penjarahan?

Ponselnya terus bergetar. Grup pesan penuh dengan kabar simpang siur: ada yang bilang rumah pejabat lain ikut jadi sasaran, ada yang bilang hanya satu. Ada yang menyebut korban jiwa sudah puluhan, ada pula yang menyebut pemerintah menutup angka sebenarnya. Video pendemo tak berdaya dibuang ke sungai, video gedung dewan terbakar, dan potongan berita berseliweran, bercampur dengan hoaks yang tak jelas sumbernya.

Raka menatap layar itu lama, lalu memejamkan mata. Mana yang nyata, mana yang ilusi? Dunia terasa retak, seperti langit di atas kepalanya tadi sore.

Di tengah riuh api yang membakar rumah sang dewan, Raka merasa dirinya terjepit di antara dua arus: keadilan yang terus ditagih dan kekacauan yang makin menggila. Dan di dadanya, gejolak itu membesar: ketakutan bercampur keberanian, keraguan bercampur keyakinan samar, seolah hidup di negeri ini hanya bisa dijalani dengan perasaan yang saling bertabrakan.

Ia menarik napas panjang, menatap langit malam yang tertutup asap. Retakan itu seakan belum sembuh. Dan mungkin tak akan sembuh dalam waktu dekat.

***


Posting Komentar untuk "Langit Retak di Atas Kepala Orang-Orang Biasa"