5 Puisi tentang Point Ormond Lookout
![]() |
Picture by: Naufal Nasrullah |
Perjalanan jauh sering kali mengukir kisah dalam dada. Seorang penulis pernah berkata, “Rantau bukan hanya soal jarak, tapi juga tentang bagaimana jiwa belajar pulang.” Hal inilah yang dialami ketika suatu sore angin menggigit di bukit Point Ormond Lookout, Melbourne. Di tempat itu, langit menggantungkan warna kelabu di atas samudra, dan aroma garam laut membangkitkan kenangan masa kecil di pinggir pantai utara Jawa. Lahir rasa rindu yang tak terbendung, lalu tangan ini menari menulis puisi. Maka, lahirlah lima puisi tentang perantauan — kisah dari tanah air dan langit asing.
-
Di Perut Kapal, Menuju Selatan
Saat malam menebar kabut di pelabuhan,
ombak membawa kepergian dalam diam.
Sebuah koper, sebilah harapan.
Perahu tua melaju ke arah tak dikenal.
Ibu menyelipkan doa dalam lipatan sarung,
Ayah menggenggam pundak, mengirim diam sebagai keberanian.
Langit Nusantara perlahan terbenam,
diganti bintang-bintang baru yang asing.
Perantauan adalah perjamuan sepi—
roti keras, teh tanpa gula, dan kenangan ibu.
Puisi ini lahir dari perjalanan pertama ke luar negeri. Dalam lambung kapal yang berguncang, terasa bahwa setiap kilometer menjauhkan dari suara azan di kampung halaman. Setiap detik di perantauan membawa pertanyaan: apakah yang ditinggalkan akan tetap menunggu?
-
Warung Kopi di Fitzroy
Di ujung jalan Brunswick, aroma kopi menyeret langkah
Warung kecil bertuliskan “Selamat Datang”
Berisi lelaki berusia lima puluh, logatnya tak lekang
Ia berkata, “Saya dulu guru di Yogya,
Kini jadi penyaji kopi di negeri ini.
Bukan karena kalah,
tapi karena hidup butuh ruang berbeda untuk tumbuh.”
Dinding warung penuh foto anak-anak
yang jarang pulang,
surat dari istri yang tak sempat dijawab
dan catatan kecil berisi puisi:
"Di sini tak ada angklung,
tapi aku menabuh rindu setiap pagi."
Puisi ini mengabadikan seorang teman lama, sesama perantau. Warung kopi di Fitzroy menjadi tempat berbagi cerita. Meski tanah berpijak berubah, rasa untuk pulang tak pernah habis.
-
Surat dari Point Ormond Lookout
Langit terbuka lebar di Point Ormond,
dari sini tampak kapal-kapal yang menghilang.
Aku duduk di batu karang,
membaca puisi Chairil Anwar yang lusuh,
menulis balasan untuk tanah air
yang terus bertanya lewat mimpi.
“Kau kapan pulang?”
tanya suara di angin.
Di sini, tak ada nyiur melambai,
tapi burung camar sesekali meniru suaranya.
Tak ada nasi pecel di kaki lima,
tapi ada pisang goreng beku di toko Asian mart.
Surat ini kutulis dengan pasir sebagai tinta,
dan ombak sebagai perangko.
Point Ormond Lookout adalah bukit kecil yang menghadap ke Teluk Port Phillip. Dari tempat itu, langit membentang seperti halaman kosong tempat menulis segala kerinduan. Di sanalah puisi ini lahir — bukan sebagai curahan kesedihan, tapi catatan keberanian merindukan sesuatu yang pernah ditinggalkan.
-
Jakarta di Jendela Tram
Tram melaju di Collins Street,
melintasi kantor, toko, dan taman.
Di jendela, bayangan kota asing berganti cepat,
tapi dalam pikiran, Jakarta terus menempel.
Klaxon bajaj, tukang ketoprak, teriakan anak sekolah,
semua hadir di antara bunyi roda besi.
Orang-orang melangkah cepat di sini,
seperti waktu tak punya belas kasih.
Tapi di kepala ini,
waktu berputar lambat,
setiap kenangan memanggil dengan manis:
“Mau nasi uduk pagi ini?”
Puisi ini tercipta saat duduk di tram nomor 11. Meski mata memandang kota yang dingin dan sibuk, kepala dipenuhi kenangan akan kota yang riuh dan hangat. Rantau tak pernah bisa menghapus asal-muasal seseorang, justru menajamkan rasa memiliki.
-
Untuk yang Tak Bisa Pulang
Ada yang pergi dan tak kembali,
bukan karena mati,
tapi karena hidup membuat pulang terlalu mahal.
Surat-surat tak pernah sampai,
nomor ponsel tak bisa ditelepon dari luar negeri.
Di beranda waktu, seorang ibu menunggu
sambil menyapu halaman yang makin sepi.
Rantau, baginya,
adalah ruang kosong yang tak bisa diisi
oleh uang kiriman atau video call.
Ia butuh peluk, bukan pesan suara.
Puisi ini adalah persembahan bagi mereka yang hidup di dua dunia: satu di sini, satu lagi dalam ingatan. Perantauan membawa banyak kesempatan, tapi juga memunculkan pengorbanan yang tak semua orang tahu.
Point Ormond Lookout
Tempat ini bukan sekadar lokasi wisata di Melbourne, tapi simbol dari pandangan jauh: pandangan fisik dan pandangan batin. Dari puncaknya, garis pantai terlihat melengkung, laut terhampar, dan cakrawala seolah menjemput harapan. Begitu pula perantauan — selalu membawa dua sisi: harapan dan kehilangan.
Di bawah langit Point Ormond, puisi-puisi lahir dari benturan antara identitas dan adaptasi. Tempat ini menjadi saksi bisu perasaan banyak perantau Indonesia — mahasiswa, pekerja, bahkan pelancong — yang sesekali berhenti di bangku kayu, menatap laut, lalu meresapi rindu.
Puisi tentang Perantauan
Puisi adalah cara halus untuk menyimpan emosi. Dalam kata-kata yang terpilih, rasa rindu, harapan, dan luka disalurkan tanpa harus berbicara panjang lebar. Bagi perantau, puisi sering kali menjadi satu-satunya bentuk pulang yang bisa dilakukan secara batin.
Lebih dari itu, puisi tentang perantauan menjadi dokumentasi sosial. Ia mencatat masa, mencerminkan krisis identitas, serta memotret keindahan kecil dari kehidupan yang serba asing. Ketika dibaca ulang, puisi-puisi itu menjadi jembatan untuk memahami siapa diri ini dan dari mana datangnya.
Rantau, Puisi, dan Ruang
Perjalanan jauh bukan semata tentang meninggalkan, melainkan juga tentang menemukan. Di antara langit abu-abu Point Ormond dan suara lontong sayur dalam ingatan, puisi-puisi ini menjadi perahu kecil untuk menyeberangi samudra jiwa. Mereka bukan hanya catatan rasa, tetapi juga bukti bahwa perantauan bisa melahirkan sesuatu yang indah.
Bagi siapa pun yang kini tengah berada jauh dari kampung halaman, izinkan puisi menjadi teman. Saat tak bisa pulang lewat pesawat atau kapal, pulanglah lewat kata. Dan siapa tahu, dalam sebaris puisi, rindu bisa terjawab.(*)
Posting Komentar