Melalui Kaca Etalase (Puisi-Puisi dari Jalanan Melbourne)
![]() |
Picture by: Naufal Nasrullah |
Melbourne dikenal bukan hanya karena lorong-lorongnya yang artistik dan kafe-kafe yang hangat, tetapi juga dari etalase-etalase toko kecil yang menyimpan cerita diam-diam. Suatu hari, ketika langkah kaki tak sengaja berhenti di depan sebuah toko yang dikelola oleh sepasang saudara, pandangan mata tertahan pada kaca. Di baliknya, manekin berdiri dalam diam, tas-tas menanti dipilih, dan sebuah potret pria dengan sorot mata dalam menggantung di dinding. Dari momen itu, lahirlah tujuh puisi—refleksi dari suasana, benda, dan bayangan yang saling berpadu menciptakan narasi kota.
Puisi 1: Wajah di Balik Kaca
Di balik kaca,
sepasang mata mengintai diam-diam
seolah menyimpan kisah
dari zaman yang tak dijelaskan.
Manekin tak bersuara,
tapi sorot wajah itu bertanya:
siapakah yang datang,
dan siapa yang hanya melintas?
Puisi 2: Gaun Hitam dan Langit yang Kusam
Gaun hitam tergantung rapi
seperti malam yang dipotong cahaya toko.
Bercak putih di kainnya
seperti bintang-bintang yang jatuh di dada langit.
Tak ada musim dalam kaca,
hanya kenangan yang tergantung
di pundak etalase kota.
Puisi 3: Sibling Owned, Melbourne Di Dada
Tangan saudara membangun dinding,
memajang mimpi di jendela jalan.
Melbourne bukan sekadar kota,
ia adalah darah yang mengalir dalam benang pakaian.
Di situ cinta dilipat,
dalam pola dan potongan yang jujur.
Toko kecil, tapi dunia di dalamnya luas.
Puisi 4: Tas yang Menanti Bahu
Sebuah tas duduk tenang di podium beton,
seolah tahu siapa yang ditunggunya.
Belum ada genggaman,
tapi ia sudah menghafal bentuk punggung.
Kota bergerak, mobil lewat,
tapi tas itu tetap—percaya
bahwa bahu yang tepat akan datang.
Puisi 5: Pandangan Lelaki di Dinding
Siapakah lelaki itu?
Tatapannya membekas di dinding.
Apakah ia pemilik waktu?
Atau sekadar saksi bagi mereka yang singgah?
Ia diam, tapi bercerita
tentang keheningan
yang sering kali lebih nyaring
dari percakapan toko.
Puisi 6: Refleksi Jalan di Etalase
Bayangan mobil membelah kaca,
menyatu dengan kain, tas, dan manekin.
Seakan dunia luar
tak bisa benar-benar meninggalkan toko ini.
Refleksi menjadi bagian dari seni,
sebuah bingkai bagi mereka
yang lewat tapi tak benar-benar pergi.
Puisi 7: Di Antara Lampu dan Langkah
Lampu menyala tanpa suara,
menyapu lantai dengan cahaya datar.
Langkah kaki di trotoar
meninggalkan gema yang tak tertangkap kamera.
Di antara benda mati,
hidup justru terasa lebih dekat.
Kota ini mencintai diam,
dan diam itu dijual dengan harga gaya.
Dari satu etalase kecil di sudut jalan Melbourne, lahir berbagai interpretasi tentang ruang, benda, dan jiwa kota. Ketika objek-objek biasa dibingkai oleh cahaya, kaca, dan keheningan, puisi hadir sebagai cara lain untuk melihat. Tak hanya menjual pakaian, toko ini mengundang siapa saja yang lewat untuk menyentuh makna—tanpa harus masuk, tanpa harus berkata-kata.(*)
Posting Komentar