Notif untuk Naya - Bab 13 - Midpoint — Kabar Besar

notif untuk naya

Bayangan Mira di layar ponsel teman-teman, dikelilingi caci maki dan tuduhan, masih menghantam kepalaku seperti palu godam. Perutku melilit, mual. Dito, dengan pesan singkatnya, "Nay, ini gila," dan tautan ke blog anonim yang terang-terangan menuduhku sebagai "dalang kebocoran data OSIS" dengan fotoku yang diam-diam diambil, mengunci semua ketakutan dalam diriku. Aku merasa terjebak, disudutkan.

Notif untuk Naya

Aku mencengkeram ponselku erat-erat. Jari-jariku gemetar. Rasanya seluruh pandangan di koridor mengarah padaku, menghakimiku. Padahal, mungkin tidak ada yang sadar. Tapi paranoia itu nyata. Aku harus menemukan Dito. Segera.

Aku berlari menyusuri koridor, menerobos kerumunan siswa yang masih menikmati jam istirahat. Langkahku begitu cepat sampai beberapa kali aku hampir menabrak orang. Aku tidak peduli. Aku hanya butuh seseorang, siapa pun, yang bisa melihat apa yang kulihat, merasakan apa yang kurasakan. Aku butuh Dito.

Aku menemukannya di kantin, duduk sendiri di pojok, sibuk mengetik sesuatu di laptopnya yang selalu terbuka. Wajahnya tegang, keningnya berkerut. Aku tahu ia sedang mengolah sesuatu, mencoba menemukan jawaban, sama seperti yang selalu ia lakukan.

"Dito!" Panggilku, napasku terengah-engah. Suaraku tercekat di tenggorokan.

Ia mendongak kaget, matanya yang biasanya santai kini tampak khawatir. Laptopnya langsung tertutup. "Naya? Kau kenapa?"

Aku langsung duduk di depannya, mengabaikan tatapan beberapa siswa lain yang sempat melirik. Aku menunjukkan ponselku, layarnya menampilkan blog anonim itu, foto diriku, dan tulisan yang menyudutkan.

"Kau sudah lihat?" Suaraku bergetar.

Dito mengangguk perlahan, ekspresinya muram. "Aku baru saja mau mencarimu. Sudah kuduga kau pasti syok."

"Syok? Aku… aku tidak tahu harus merasa apa. Takut? Marah? Merasa bersalah karena Mira?" Aku menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Siapa yang mengambil fotoku? Siapa yang menulis ini? Dan… ini ada hubungannya dengan Notifikasi, kan?"

Dito menghela napas panjang. "Kemungkinan besar iya. Ini terlalu kebetulan untuk tidak ada hubungannya. Setelah kejadian kebocoran data OSIS, lalu Mira dihujat, sekarang kau dituduh terang-terangan. Polanya… mengerikan."

"Tapi kenapa aku?" Air mataku mulai menggenang. "Kenapa bukan Raka yang jelas-jelas menyebarkan datanya?"

"Karena kau yang tahu sebelum kejadian, Naya," Dito menjawab, suaranya pelan. "Dan entah bagaimana, ada orang lain yang tahu bahwa kau tahu. Mungkin orang yang sama yang mengirim Notifikasi, atau seseorang yang memata-mataimu. Makanya, Pak Rudi tadi bilang, sumber informasinya itu penting."

Aku teringat percakapanku dengan Pak Rudi pagi itu. "Apakah ada yang ingin kau ceritakan, Naya?" Suara beliau terngiang. Aku menunduk, rasa bersalah kembali menusuk. "Aku… aku seharusnya mendengarkannya. Aku seharusnya jujur pada kalian."

Dito meraih tanganku, genggamannya erat. "Bukan salahmu, Nay. Kau hanya mencoba memahami. Aku juga begitu. Notifikasi itu… kita tidak tahu apa motif sebenarnya. Tapi sekarang, ini sudah melampaui sekadar keuntungan pribadi atau peringatan sepele."

"Aku tahu," kataku, suara pelan. "Mira… dia benar-benar terpuruk. Aku melihat komentar-komentar itu. Itu salahku, Dito. Notifikasi itu bilang konsekuensi akan menimpa orang dekatku. Dan aku… aku memilih untuk diam."

"Kita akan cari tahu siapa dalang di balik semua kekacauan itu," Dito berucap, nadanya kini lebih tegas. "Dan kita akan bersihkan nama Mira, juga namamu. Tapi kita harus hati-hati. Ini bukan lagi main-main."

Aku menatapnya, ada sedikit harapan di tengah keputusasaan. "Bagaimana? Maksudku, bagaimana kita bisa tahu? Notifikasi itu tidak punya jejak. Blog itu anonim. Aku merasa seperti melawan hantu."

"Hantu pun meninggalkan jejak digital, Nay," Dito tersenyum tipis, mencoba menenangkanku. "Aku sudah mencoba melacaknya. Ada beberapa alamat IP yang mencurigakan. Satu mengarah ke luar negeri, pakai VPN. Yang lain… ke sebuah kafe internet dekat sekolah kita."

Mataku membelalak. "Kafe internet? Maksudmu… itu bisa saja seseorang dari sekolah? Atau setidaknya, seseorang yang dekat?"

"Betul. Atau setidaknya, itu adalah celah pertama kita. Tapi kita butuh lebih banyak bukti." Dito terdiam sebentar, lalu menatapku serius. "Kau tahu, Nay, ini semakin menyerupai skenario yang Pak Rudi bicarakan. Kita punya informasi, tapi sumbernya ambigu. Dan sekarang, tindakan kita, atau ketidak-tindakan kita, punya dampak nyata pada banyak orang."

Saat Dito berbicara, ponselku bergetar hebat di tangan. Aku meliriknya. Layar menyala, notifikasi baru muncul. Bukan dari Dito. Bukan dari aplikasi media sosial. Notifikasi yang selama ini menghantui dan menuntunku. Dari... Naya (2035).

Dito melihat ekspresiku, lalu mengikuti pandanganku ke ponsel. Ia terdiam.

Aku merasakan detak jantungku kembali berpacu, lebih kencang dari sebelumnya. Ketegangan yang mencekik. Aku membuka notifikasi itu.

Sebuah pesan singkat. Hanya satu kalimat. Dingin, lugas, namun penuh ancaman.
“Peringatan: Selama acara perayaan kelulusan besok malam di aula sekolah, sistem keamanan akan diretas. Terjadi kericuhan besar yang menyebabkan puluhan luka-luka. Jangan memberitahu siapa pun. Matikan semua sistem elektronik aula.”

Dunia terasa berhenti berputar. Puluhan luka-luka? Perayaan kelulusan besok malam? Acara itu akan dihadiri oleh ratusan siswa, guru, orang tua… Raka, Mira, Dito… semua akan ada di sana.

Notifikasi itu tidak lagi menawarkan keuntungan pribadi, tidak lagi sekadar membantu menghindari dompet tertinggal. Ini adalah skala yang berbeda. Bahaya besar, menyangkut keselamatan banyak nyawa. Dan perintahnya... "Jangan memberitahu siapa pun."

Napas ku tercekat. Aku mengangkat wajah, menatap Dito yang juga terpaku pada layar ponselku. Wajahnya memucat, matanya membesar karena terkejut.

"Dito…" Bisikku. "Apa… apa maksud semua ini?"

Dito tidak menjawab. Ia hanya menatap notifikasi tersebut, lalu menatapku, ekspresinya penuh keraguan, ketakutan, dan sebuah pertanyaan besar yang menggantung di udara.

"Naya (2035)" menyuruhku diam. Tapi bagaimana aku bisa diam, setelah apa yang terjadi pada Mira, setelah ceramah Pak Rudi, setelah ancaman luka-luka yang membayangi ratusan orang?

Aku merasa tubuhku dingin. Notifikasi itu, yang dulu kurasa adalah penyelamat, kini terasa seperti bom waktu. Dan aku adalah satu-satunya yang tahu detonatornya. Pilihan yang dulu terasa seperti dilema etis kecil, kini berubah menjadi beban raksasa yang menuntut sebuah keputusan yang bisa mengubah segalanya.

Haruskah aku mengikuti petunjuk masa depan yang misterius ini dan tetap diam, berisiko puluhan orang terluka demi alasan yang aku tidak pahami? Atau, haruskah aku membocorkan informasi itu, meski Notifikasi memperingatkan untuk tidak? Dan jika aku membocorkan, apakah aku akan dianggap sebagai pahlawan… atau justru dalang dari kekacauan yang lebih besar, seperti yang dituduhkan blog anonim itu?

Di tengah riuhnya kantin yang terasa sunyi bagiku, di bawah tatapan Dito yang mencemaskan, aku tahu, ini adalah titik balik.
Ini bukan lagi tentang aku. Ini tentang semua orang.
Dan aku, Naya, harus memilih. Segera.

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 13 - Midpoint — Kabar Besar"