Notif untuk Naya - Bab 16 - Pengorbanan Kecil
Kepalaku masih berdenyut kencang,
setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara pun ikut menghakimi. Kata-kata
Raka masih menggema di telingaku, menghantam dan meremukkan sisa-sisa
kepercayaan yang mungkin kupunya di mata teman-teman. Aku bukan lagi pahlawan
yang mencoba mencegah bahaya, melainkan penjahat yang menciptakan drama. Di
tengah keramaian sekolah yang seolah meredup, aku merasakan sebuah jurang
terbuka, menelan diriku sendirian.
📱 Notif untuk Naya
Klik salah satu bab di bawah ini untuk mulai membaca kisahnya.
Dito, tangannya menggenggam ponsel
dengan erat, matanya menyiratkan kemarahan dan kekhawatiran yang bercampur
aduk. Ia berdiri di sisiku, satu-satunya jangkar di tengah badai keraguan yang
menderu dalam benak.
"Nay, aku punya
rekamannya," bisiknya, suaranya tercekat. "Tapi Raka… dia terlalu
licin. Kata-katanya selalu bisa dipelintir. Tidak cukup untuk membuktikan
apa-apa."
Aku menatapnya, air mata yang tadi
kutahan kini luruh begitu saja. "Dia berhasil, Dito. Dia membuatku jadi
penjahat. Mereka semua percaya padanya."
Dito menghela napas panjang.
"Ini akan lebih sulit dari yang kita kira, Nay. Jauh lebih sulit."
Kami berdua terdiam, membiarkan
kebisingan sekolah berlalu lalang di sekitar kami, seolah kami tak kasat mata.
Aku merasa kosong, hancur. Acara kelulusan esok sudah di ambang mata, dan
kredibilitasku telah musnah. Bagaimana kami bisa menyelamatkan semua orang jika
bahkan orang-orang itu menganggapku sebagai ancaman?
Tepat pukul 00:01, ponselku
bergetar pelan. Sebuah notifikasi muncul, cahayanya membelah kegelapan kamar
yang senyap. Aku sudah tahu siapa pengirimnya, tapi setiap kali namanya muncul,
jantungku tetap berdegup kencang.
Naya (2035): Besok pagi,
saat simulasi acara kelulusan, akui kesalahan kecil pada sistem pendaftaran
ulang. Itu akan menghentikan akses mereka ke jaringan utama.
Tanganku gemetar saat membaca pesan
itu. Mengakui kesalahan? Aku sudah dihujani tuduhan tak berdasar. Mengakui
sesuatu yang tidak kulakukan berarti mengukuhkan citraku sebagai pengkhianat.
Aku bergegas ke kamar Dito,
mengetuk pintu tanpa sabar. Ia membukanya dengan wajah mengantuk, tapi langsung
menatapku khawatir saat melihat keadaanku. Mira sudah ada di sana, tidur di
sofa kecil, tapi terbangun oleh suara ketukanku.
"Ada apa, Nay? Kau
kenapa?" tanya Mira, suaranya serak.
Aku menunjukkan ponselku pada
mereka berdua. Dito membaca pesan itu perlahan, keningnya berkerut dalam. Mira
menarik napas tajam.
"Maksudnya apa ini, Nay?"
tanya Mira, suaranya kini penuh kecurigaan. "Apa 'kesalahan kecil' itu?
Apa kau benar-benar akan melakukan sesuatu?"
"Bukan!" Aku menggeleng
cepat. "Aku tidak tahu! Notifikasi ini… ini menyuruhku mengakui sesuatu
yang tidak kulakukan."
"Tapi kenapa?" Dito
menatap layar ponselku. "Untuk 'menghentikan akses mereka ke jaringan
utama'? Jadi ini cara Notifikasi untuk memblokir Raka?"
"Tapi harganya terlalu mahal,
Dito," kataku, suaraku bergetar. "Aku sudah kehilangan reputasiku.
Kalau aku mengakui kesalahan, mereka akan benar-benar percaya aku adalah
dalangnya."
Mira mengusap wajahnya, bangkit
dari sofa. "Mungkin ini hanya jebakan lain dari si pengirim misterius itu,
Nay. Atau… atau Raka sendiri yang menyebarkannya untuk menjebakmu lebih
jauh?"
"Tidak mungkin," Dito
membantah. "Notifikasi ini hanya masuk ke ponsel Naya. Kita sudah cek. Dan
polanya konsisten. Tujuan akhirnya selalu untuk mencegah hal buruk."
"Mencegah dengan cara
menghancurkanku?" Aku merasakan amarah dan frustrasi yang membuncah.
"Ini tidak adil. Aku sudah berusaha menjaga mereka. Sekarang aku harus
menjadi tumbal?"
Dito mengamati ekspresiku, lalu
menatap Mira. "Mungkin ada alasan lain, Nay. Notifikasi ini kan bilang
'kesalahan kecil'. Bukan kejahatan besar."
"Simulasi acara kelulusan
besok pagi," Mira memotong, matanya tiba-tiba berbinar. "Itu artinya
saat para guru dan panitia inti berkumpul untuk gladi bersih. Jika Naya
mengakui sesuatu di sana, semua orang pasti akan tahu."
"Dan akan menjauhi aku,"
ujarku pahit. "Raka akan menang telak."
"Tapi jika Notifikasi itu
benar, dan pengakuanmu bisa menghentikan akses Raka, itu berarti kita akan
mencegah bencana yang lebih besar," Dito mencoba berargumen. "Kita
tidak punya bukti kuat untuk melawan Raka. Ini mungkin satu-satunya cara untuk
memutus rantai serangannya."
Aku menggeleng, hatiku memberontak.
"Aku tidak mau jadi kambing hitam. Aku tidak mau dituduh melakukan sesuatu
yang tidak kulakukan. Aku sudah terlalu lelah."
"Nay," suara Mira
melembut. Ia berjalan mendekat dan menggenggam tanganku. "Aku tahu ini
berat. Aku tahu rasanya dihujat. Tapi jika Notifikasi ini bisa menyelamatkan
banyak orang… jika ini bisa mencegah acara kelulusan kacau dan membahayakan
teman-teman kita…"
Kami terdiam. Pikiran-pikiran
berkelebatan di benakku: wajah orang tuaku yang mengharapkan aku bisa masuk
perguruan tinggi favorit, impian Mira untuk menjadi ketua OSIS, senyum Dito
yang selalu mendukungku. Dan di atas semua itu, bayangan Shadow Weaver yang
siap meneror. Aku teringat Midpoint—kabar besar tentang kecelakaan besar yang
akan melibatkan banyak orang. Ini bukan sekadar keuntungan pribadi. Ini tentang
keselamatan.
"Apa yang harus kuakui?"
tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar.
Dito dan Mira saling pandang.
"Notifikasi hanya bilang 'kesalahan kecil pada sistem pendaftaran
ulang'," kata Dito. "Mungkin ada celah di sana yang Raka gunakan.
Jika kau 'mengaku' telah mencobanya, atau membuat semacam gangguan, itu bisa memberi
kita waktu untuk mengunci celah itu dari dalam."
Mira menambahkan, "Kita bisa
bilang kau mencoba 'mengecek keamanan' dengan cara yang salah, lalu tidak
sengaja membuat gangguan kecil. Ini akan membuatmu terlihat ceroboh, tapi tidak
sejahat peretas sungguhan."
"Tapi tetap saja akan
menghancurkan namaku," kataku, air mataku kembali mengalir.
"Kami akan ada di sana,"
Mira meyakinkanku. "Kami akan mendukungmu. Kami akan menjadi saksi bahwa
kau melakukannya untuk alasan yang benar."
Pagi harinya, aku berjalan ke aula
sekolah, setiap langkah terasa seperti menyeret beban seribu ton. Di sana, para
panitia inti, beberapa guru, dan kepala sekolah sudah berkumpul untuk simulasi
terakhir. Raka berdiri di depan, memberikan instruksi dengan percaya diri,
seolah ia adalah pahlawan tanpa cela. Perutku mual melihatnya.
Saat simulasi pendaftaran ulang
siswa dimulai, dan beberapa guru mencoba mengakses sistem di layar utama,
tiba-tiba sebuah peringatan muncul: "Sistem mengalami gangguan teknis.
Mohon tunggu." Beberapa orang mulai berbisik, panik. Notifikasi itu benar.
Inilah saatnya.
Aku melangkah maju, kakiku
bergetar. Semua mata tertuju padaku. Raka menatapku dengan tatapan sinis,
seolah tahu aku akan membuat masalah lagi.
"Saya… saya minta maaf,"
kataku, suaraku tercekat. "Saya… saya yang menyebabkan gangguan itu."
Semua orang terdiam. Kepala sekolah
menatapku tajam. Raka tersenyum tipis, seolah menanti babak berikutnya dari
drama yang kubuat ini.
"Maksudmu apa, Naya?"
tanya Pak Rudi, suaranya penuh kekecewaan. "Apa yang sudah kau
lakukan?"
"Saya…" Aku menarik napas
dalam, merasakan setiap kata bagaikan belati yang menusuk diriku sendiri.
"Saya… kemarin mencoba mengecek sistem keamanan pendaftaran ulang. Saya
khawatir ada celah. Tapi… saya tidak sengaja membuat sebuah error kecil. Saya
janji, saya tidak bermaksud buruk. Saya hanya ingin membantu. Saya khawatir ada
yang akan menyabotase."
Aku menatap Raka, yang kini
senyumnya melebar. Matanya berbinar kemenangan. Ia telah menanamkan keraguan
tentang diriku, dan sekarang, aku sendiri yang mengkonfirmasi keraguan itu.
Bisikan-bisikan segera menyebar.
"Sudah kuduga," kata seseorang. "Dia memang aneh."
"Peretasnya ternyata dia sendiri."
Kepala sekolah menghela napas.
"Naya, ini tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab. Kami tidak bisa
mentolerir ini. Anda akan diskors dari acara kelulusan besok."
Aku menunduk, menerima keputusan
itu. Notifikasi itu telah kulakukan. Reputasiku benar-benar hancur. Aku seorang
pengkhianat di mata mereka. Tapi setidaknya, Raka tidak bisa mengakses jaringan
utama. Setidaknya, mereka aman.
Raka maju ke depan, menepuk pundak
kepala sekolah. "Jangan khawatir, Pak. Saya akan pastikan sistem kembali
normal dan aman." Ia melirikku dengan tatapan mencemooh. "Beberapa
orang memang hanya bisa membuat masalah, bukan membantu."
Dito dan Mira segera mendekatiku.
Wajah Mira terlihat sedih, sedangkan Dito tampak murka.
"Aku akan mencoba memperbaiki
ini," kata Dito, matanya berkilat marah. "Ini tidak benar. Kau tidak
seharusnya dikorbankan begini."
Aku menggeleng, menatap ke
sekeliling, ke wajah-wajah yang kini memandangku dengan jijik atau kasihan. Aku
merasa seperti mayat hidup, tanpa harga diri.
"Tidak apa-apa, Dito,"
bisikku. "Yang penting… mereka aman. Bukan?"
Dito tidak menjawab, hanya
menggenggam tanganku erat. Aku tahu ia sedang marah, bukan padaku, tapi pada
situasi ini. Pada Raka. Pada Notifikasi.
Aku dikeluarkan dari aula, semua
mata mengikutiku. Aku berjalan perlahan, melewati koridor yang terasa begitu
panjang, membawa serta beban pengkhianatan yang tidak kulakukan. Aku telah
mengorbankan diriku, reputasiku, untuk orang lain. Tapi apakah itu cukup?
Apakah mereka benar-benar aman? Atau aku hanya membuat diriku terasing, tanpa
bisa berbuat apa-apa lagi?
Saat aku keluar dari gerbang
sekolah, sendirian, sebuah notifikasi lain muncul di ponselku.
Naya (2035): Sistem
pendaftaran ulang sudah diamankan. Tapi dia punya rencana cadangan. Cari 'kunci
utama'.
"Kunci utama?" bisikku
pada diri sendiri, napasku tercekat. Rencana cadangan? Jadi pengorbananku tadi
tidak cukup? Ancaman itu masih ada?
Aku merasakan dingin merayapi
tulang punggungku. Aku sudah kehilangan segalanya, dan bahaya belum berakhir.
Bahkan mungkin, justru sekaranglah bagian paling berbahaya itu dimulai. Aku
sendirian, dicurigai semua orang, dan waktu semakin menipis. Bagaimana aku bisa
mencari "kunci utama" itu jika aku bahkan tidak diizinkan masuk ke
acara kelulusan esok malam? Sebuah keputusasaan yang menusuk mencengkeram
hatiku, merenggut napas.
Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 16 - Pengorbanan Kecil"
Posting Komentar