Notif untuk Naya - Bab 24 - Masa Depan (TAMAT)
Enam bulan telah berlalu sejak
konfrontasi di perpustakaan hari itu, sejak tatapan Pak Wisnu menancap tajam ke
arahku dan Raka menyeringai penuh kemenangan. Aku masih bisa merasakan hembusan
udara dingin yang menyelimuti tengkukku saat itu, saat kami bertiga melangkah
keluar dari tempat buku-buku lama itu, menuju sebuah masa depan yang tak kami
duga sama sekali. Namun, masa depan tidaklah seperti notifikasi—ia tidak pernah
memberi instruksi. Ia hanya datang, membiarkan kami memilih.
📱 Notif untuk Naya
Klik salah satu bab di bawah ini untuk mulai membaca kisahnya.
Setelah pertemuan dramatis di
kantor kepala sekolah, diikuti oleh gelombang protes daring yang dipicu oleh
unggahan Dito dan Mira, skandal limbah kota benar-benar meledak.
Laporan-laporan media massa lokal menjemput bola, menggali lebih dalam, dan
akhirnya mengungkap seluruh kebusukan. Pak Wisnu memang kehilangan jabatannya,
reputasinya hancur. Bukan karena kami mendesaknya, melainkan karena kebenaran
itu sendiri—yang kami dorong—akhirnya menemukan jalannya. Raka, yang awalnya
menjadi pionnya, juga terkena imbas. Narasi ‘hoax’ yang dia sebarkan tidak
cukup kuat menahan fakta yang terkuak, dan popularitas semu dia meluntur
seiring rasa malu yang menyelimuti.
Pak Rudi? Ia kembali mengajar,
disambut dengan hormat dan senyum lega dari banyak siswa dan guru. Ia adalah
salah satu orang yang pertama kali kudekati setelah badai mereda. Ia menatapku
dengan mata berbinar, mengucapkan terima kasih bukan karena kami menyelamatkannya,
melainkan karena kami memilih untuk berdiri di atas kebenaran. Aku ingat betul
kalimat yang ia ucapkan: “Naya, kalian tidak hanya menyelamatkan saya. Kalian
menyelamatkan integritas diri kalian.” Kata-kata tersebut terukir dalam
benakku.
Kini, aku duduk di bangku taman
kota yang sama, di bawah pohon rindang yang akarnya menonjol keluar dari tanah.
Kamera analog kesayanganku tergeletak di sampingku, lensanya menghadap ke arah
langit sore yang perlahan berubah jingga. Aroma melati dari semak-semak di
dekat sini bercampur dengan bau tanah basah setelah hujan singkat. Aku
menikmati kedamaian tersebut, kedamaian yang terasa baru dan berharga. Tidak
ada lagi notifikasi yang bergetar di ponselku tengah malam, tidak ada lagi
bisikan dari masa depan yang memberiku instruksi. Hanya ada keheningan, dan
kebebasan untuk memilih jalanku sendiri setiap saat.
Dito duduk di sebelahku,
menyandarkan kepalanya ke belakang, matanya terpejam. Mira di sisi lain, sibuk
membalas pesan di grup OSIS, sesekali tertawa kecil. Persahabatan kami telah
melewati api dan badai, dan kini terasa lebih kuat, lebih nyata.
“Bagaimana rasanya, Naya?” Dito
membuka mata, menatapku. “Hidup tanpa suara dari masa depanmu?”
Aku tersenyum tipis. “Awalnya aneh.
Aku merasa sedikit… kosong? Seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Tapi
lama-lama, aku menyadari bahwa kekosongan itu sebenarnya ruang. Ruang untuk
diriku sendiri, untuk membuat keputusan tanpa bergantung pada siapa pun.”
Mira menoleh, meletakkan ponselnya.
“Aku masih kadang mikir, siapa sebenarnya dia? Naya (2035) itu… apa dia
benar-benar kamu?”
“Aku juga tidak tahu,” kataku
jujur. “Mungkin. Atau mungkin sebuah representasi dari diriku yang ingin
memastikan aku tidak membuat kesalahan yang sama. Yang jelas, sekarang dia
tidak lagi mengirim pesan. Mungkin karena aku sudah memilih jalanku sendiri.”
“Atau dia sadar bahwa campur tangan
terus-menerus itu tidak adil,” Dito menambahkan. “Setiap pilihan yang kau buat,
Naya, membentuk dirimu. Kalau semua sudah ditentukan, apa gunanya hidup?”
Aku mengangguk, memandangi
daun-daun yang bergoyang tertiup angin. “Dulu aku takut salah. Aku takut
kehilangan. Notifikasi tersebut seperti jaring pengaman, tapi jaring tersebut
juga membatasi. Sekarang, aku tahu jatuh itu mungkin. Tapi aku juga tahu aku
bisa bangkit, dan belajar dari setiap luka.”
“Itu namanya tumbuh dewasa,” kata
Mira, mengulurkan tangan menggenggam tanganku. “Aku bangga sama kamu, Naya.
Meskipun dulu aku sempat sebel, bahkan mengira kau mengkhianatiku. Aku minta
maaf soal itu.”
“Tidak apa-apa, Ra,” balasku,
meremas tangannya. “Kita semua belajar. Aku juga minta maaf sudah merahasiakan
banyak hal darimu.”
Dito tersenyum, menatap kami
berdua. “Kalau kalian masih ingat, dulu kita pernah membayangkan membangun
proyek bersama. Sebuah platform untuk berbagi kebenaran, tanpa manipulasi.
Bagaimana kalau kita mulai mewujudkannya?”
Mataku berbinar. “Platform?”
“Ya,” Dito mengangguk penuh
semangat. “Sebuah tempat di mana orang bisa memverifikasi informasi, melihat
sudut pandang berbeda, dan membuat keputusan sendiri berdasarkan fakta, bukan
bisikan-bisikan tanpa sumber.”
Mira menyahut. “Kedengarannya
bagus! Aku bisa bantu urusan komunitas dan sosialnya. Aku kan jago bergaul.”
Aku terdiam sejenak, membayangkan
semua kemungkinan. Ini adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa kami bangun
bersama, dengan pelajaran yang telah kami dapatkan. Ini adalah masa depan yang
kami ciptakan sendiri, bukan yang diberitahukan.
“Aku punya banyak ide untuk visual
dan desainnya,” kataku, semangatku membuncah. “Dan juga, cara untuk memastikan
kontennya netral dan terverifikasi.”
Kami bertiga mulai berbicara,
rencana-rencana berhamburan dari bibir kami, mengisi udara sore dengan gairah
dan harapan. Suara tawa kami, meskipun sesekali, tidak lagi cemas atau
terbebani. Ada kelegaan yang murni.
Saat matahari mulai terbenam,
menyisakan jejak merah dan ungu di langit, ponselku bergetar lagi. Jantungku
sempat berdesir, reflek lama itu masih ada. Namun, kali ini bukan deringan
notifikasi yang familier. Sebuah pesan push muncul di layar, dari aplikasi
pesan yang sudah lama tidak kulihat aktivitasnya. Pengirimnya: Naya (2035).
Dito dan Mira terdiam, menatap
layar ponselku. Mataku fokus pada pesan terakhir yang pernah kuterima dari
pengirim misterius. Ini bukan peringatan. Bukan instruksi. Hanya beberapa baris
kalimat yang sederhana, tanpa embel-embel, tanpa ancaman.
“Naya. Kamu telah memilih. Kamu
telah membuktikan bahwa kebebasan lebih berharga dari keselamatan semu. Terima
kasih. Jalani takdirmu, buatlah sendiri. Dunia menantimu. Tetap berhati-hati,
tapi jangan takut.”
Aku membaca pesan itu berkali-kali.
Sebuah ucapan terima kasih. Sebuah pengakuan. Dan peringatan ringan untuk tetap
berhati-hati, tapi bukan lagi sebuah larangan untuk takut. Kata-kata tersebut
terasa seperti sebuah pelukan hangat, sebuah penutup, dan sekaligus sebuah
restu. Akhirnya, sang pengirim telah melepaskanku. Atau, mungkin, aku telah
melepaskan diri darinya.
“Ini… sebuah perpisahan,” kata Mira
pelan, matanya berkaca-kaca.
Dito menggenggam tanganku. “Dia
bangga padamu, Naya.”
Aku menghela napas panjang, sebuah
beban yang tak kusadari masih kupikul kini terlepas. Aku merasakan kelegaan
yang luar biasa. Aku tersenyum, menatap langit.
“Aku tahu,” kataku, suaraku mantap.
“Aku juga bangga pada diriku sendiri.”
Aku mengambil kamera analogku.
Dulu, ada satu pemandangan di taman tersebut yang selalu membuatku ragu untuk
memotretnya: sebuah pohon tua dengan dahan-dahan yang bengkok dan berlumut,
berdiri sendiri di tengah rumput. Cahaya sore selalu membuat siluetnya terlihat
dramatis, namun aku selalu berpikir, "Ah, pasti ada yang lebih
sempurna." Aku selalu mencari kesempurnaan, menghindari ketidaksempurnaan.
Tapi sekarang, aku melihat keindahan pada ketidaksempurnaan pohon tersebut,
pada dahan-dahan yang bertahan di tengah berbagai cuaca, pada lumut yang tumbuh
di sana. Aku melihat kebebasan.
Aku membidik, mengatur fokus,
membiarkan cahaya yang merona menerpa lensa. Momen ini adalah milikku. Tidak
ada yang bisa memprediksi hasilnya, tidak ada yang bisa memberitahuku apa yang
harus kulakukan dengan gambar tersebut, atau bahkan apakah gambar tersebut akan
bagus atau tidak. Hanya aku, kamera, dan kebebasan untuk mengabadikan apa yang
kusaksikan.
Klik.
Suara rana kamera memecah
keheningan sore. Sebuah suara kecil, namun bagi diriku, itu adalah gemuruh yang
mengawali sebuah perjalanan baru. Perjalanan yang akan kupilih sendiri, dengan
setiap langkah yang kuputuskan berdasarkan hati dan akalku, bukan notifikasi
dari masa depan. Masa depanku terhampar luas, tanpa peta, tanpa kompas yang
pasti, namun diisi dengan teman-teman yang berdiri di sampingku, dan sebuah
semangat yang tak akan pernah padam. Aku siap.
***TAMAT***
Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 24 - Masa Depan (TAMAT)"
Posting Komentar