Notif untuk Naya - Bab 24 - Masa Depan (TAMAT)

notif untuk naya

Enam bulan telah berlalu sejak konfrontasi di perpustakaan hari itu, sejak tatapan Pak Wisnu menancap tajam ke arahku dan Raka menyeringai penuh kemenangan. Aku masih bisa merasakan hembusan udara dingin yang menyelimuti tengkukku saat itu, saat kami bertiga melangkah keluar dari tempat buku-buku lama itu, menuju sebuah masa depan yang tak kami duga sama sekali. Namun, masa depan tidaklah seperti notifikasi—ia tidak pernah memberi instruksi. Ia hanya datang, membiarkan kami memilih.

Notif untuk Naya

Setelah pertemuan dramatis di kantor kepala sekolah, diikuti oleh gelombang protes daring yang dipicu oleh unggahan Dito dan Mira, skandal limbah kota benar-benar meledak. Laporan-laporan media massa lokal menjemput bola, menggali lebih dalam, dan akhirnya mengungkap seluruh kebusukan. Pak Wisnu memang kehilangan jabatannya, reputasinya hancur. Bukan karena kami mendesaknya, melainkan karena kebenaran itu sendiri—yang kami dorong—akhirnya menemukan jalannya. Raka, yang awalnya menjadi pionnya, juga terkena imbas. Narasi ‘hoax’ yang dia sebarkan tidak cukup kuat menahan fakta yang terkuak, dan popularitas semu dia meluntur seiring rasa malu yang menyelimuti.

Pak Rudi? Ia kembali mengajar, disambut dengan hormat dan senyum lega dari banyak siswa dan guru. Ia adalah salah satu orang yang pertama kali kudekati setelah badai mereda. Ia menatapku dengan mata berbinar, mengucapkan terima kasih bukan karena kami menyelamatkannya, melainkan karena kami memilih untuk berdiri di atas kebenaran. Aku ingat betul kalimat yang ia ucapkan: “Naya, kalian tidak hanya menyelamatkan saya. Kalian menyelamatkan integritas diri kalian.” Kata-kata tersebut terukir dalam benakku.

Kini, aku duduk di bangku taman kota yang sama, di bawah pohon rindang yang akarnya menonjol keluar dari tanah. Kamera analog kesayanganku tergeletak di sampingku, lensanya menghadap ke arah langit sore yang perlahan berubah jingga. Aroma melati dari semak-semak di dekat sini bercampur dengan bau tanah basah setelah hujan singkat. Aku menikmati kedamaian tersebut, kedamaian yang terasa baru dan berharga. Tidak ada lagi notifikasi yang bergetar di ponselku tengah malam, tidak ada lagi bisikan dari masa depan yang memberiku instruksi. Hanya ada keheningan, dan kebebasan untuk memilih jalanku sendiri setiap saat.

Dito duduk di sebelahku, menyandarkan kepalanya ke belakang, matanya terpejam. Mira di sisi lain, sibuk membalas pesan di grup OSIS, sesekali tertawa kecil. Persahabatan kami telah melewati api dan badai, dan kini terasa lebih kuat, lebih nyata.

“Bagaimana rasanya, Naya?” Dito membuka mata, menatapku. “Hidup tanpa suara dari masa depanmu?”

Aku tersenyum tipis. “Awalnya aneh. Aku merasa sedikit… kosong? Seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Tapi lama-lama, aku menyadari bahwa kekosongan itu sebenarnya ruang. Ruang untuk diriku sendiri, untuk membuat keputusan tanpa bergantung pada siapa pun.”

Mira menoleh, meletakkan ponselnya. “Aku masih kadang mikir, siapa sebenarnya dia? Naya (2035) itu… apa dia benar-benar kamu?”

“Aku juga tidak tahu,” kataku jujur. “Mungkin. Atau mungkin sebuah representasi dari diriku yang ingin memastikan aku tidak membuat kesalahan yang sama. Yang jelas, sekarang dia tidak lagi mengirim pesan. Mungkin karena aku sudah memilih jalanku sendiri.”

“Atau dia sadar bahwa campur tangan terus-menerus itu tidak adil,” Dito menambahkan. “Setiap pilihan yang kau buat, Naya, membentuk dirimu. Kalau semua sudah ditentukan, apa gunanya hidup?”

Aku mengangguk, memandangi daun-daun yang bergoyang tertiup angin. “Dulu aku takut salah. Aku takut kehilangan. Notifikasi tersebut seperti jaring pengaman, tapi jaring tersebut juga membatasi. Sekarang, aku tahu jatuh itu mungkin. Tapi aku juga tahu aku bisa bangkit, dan belajar dari setiap luka.”

“Itu namanya tumbuh dewasa,” kata Mira, mengulurkan tangan menggenggam tanganku. “Aku bangga sama kamu, Naya. Meskipun dulu aku sempat sebel, bahkan mengira kau mengkhianatiku. Aku minta maaf soal itu.”

“Tidak apa-apa, Ra,” balasku, meremas tangannya. “Kita semua belajar. Aku juga minta maaf sudah merahasiakan banyak hal darimu.”

Dito tersenyum, menatap kami berdua. “Kalau kalian masih ingat, dulu kita pernah membayangkan membangun proyek bersama. Sebuah platform untuk berbagi kebenaran, tanpa manipulasi. Bagaimana kalau kita mulai mewujudkannya?”

Mataku berbinar. “Platform?”

“Ya,” Dito mengangguk penuh semangat. “Sebuah tempat di mana orang bisa memverifikasi informasi, melihat sudut pandang berbeda, dan membuat keputusan sendiri berdasarkan fakta, bukan bisikan-bisikan tanpa sumber.”

Mira menyahut. “Kedengarannya bagus! Aku bisa bantu urusan komunitas dan sosialnya. Aku kan jago bergaul.”

Aku terdiam sejenak, membayangkan semua kemungkinan. Ini adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa kami bangun bersama, dengan pelajaran yang telah kami dapatkan. Ini adalah masa depan yang kami ciptakan sendiri, bukan yang diberitahukan.

“Aku punya banyak ide untuk visual dan desainnya,” kataku, semangatku membuncah. “Dan juga, cara untuk memastikan kontennya netral dan terverifikasi.”

Kami bertiga mulai berbicara, rencana-rencana berhamburan dari bibir kami, mengisi udara sore dengan gairah dan harapan. Suara tawa kami, meskipun sesekali, tidak lagi cemas atau terbebani. Ada kelegaan yang murni.

Saat matahari mulai terbenam, menyisakan jejak merah dan ungu di langit, ponselku bergetar lagi. Jantungku sempat berdesir, reflek lama itu masih ada. Namun, kali ini bukan deringan notifikasi yang familier. Sebuah pesan push muncul di layar, dari aplikasi pesan yang sudah lama tidak kulihat aktivitasnya. Pengirimnya: Naya (2035).

Dito dan Mira terdiam, menatap layar ponselku. Mataku fokus pada pesan terakhir yang pernah kuterima dari pengirim misterius. Ini bukan peringatan. Bukan instruksi. Hanya beberapa baris kalimat yang sederhana, tanpa embel-embel, tanpa ancaman.

“Naya. Kamu telah memilih. Kamu telah membuktikan bahwa kebebasan lebih berharga dari keselamatan semu. Terima kasih. Jalani takdirmu, buatlah sendiri. Dunia menantimu. Tetap berhati-hati, tapi jangan takut.”

Aku membaca pesan itu berkali-kali. Sebuah ucapan terima kasih. Sebuah pengakuan. Dan peringatan ringan untuk tetap berhati-hati, tapi bukan lagi sebuah larangan untuk takut. Kata-kata tersebut terasa seperti sebuah pelukan hangat, sebuah penutup, dan sekaligus sebuah restu. Akhirnya, sang pengirim telah melepaskanku. Atau, mungkin, aku telah melepaskan diri darinya.

“Ini… sebuah perpisahan,” kata Mira pelan, matanya berkaca-kaca.

Dito menggenggam tanganku. “Dia bangga padamu, Naya.”

Aku menghela napas panjang, sebuah beban yang tak kusadari masih kupikul kini terlepas. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Aku tersenyum, menatap langit.

“Aku tahu,” kataku, suaraku mantap. “Aku juga bangga pada diriku sendiri.”

Aku mengambil kamera analogku. Dulu, ada satu pemandangan di taman tersebut yang selalu membuatku ragu untuk memotretnya: sebuah pohon tua dengan dahan-dahan yang bengkok dan berlumut, berdiri sendiri di tengah rumput. Cahaya sore selalu membuat siluetnya terlihat dramatis, namun aku selalu berpikir, "Ah, pasti ada yang lebih sempurna." Aku selalu mencari kesempurnaan, menghindari ketidaksempurnaan. Tapi sekarang, aku melihat keindahan pada ketidaksempurnaan pohon tersebut, pada dahan-dahan yang bertahan di tengah berbagai cuaca, pada lumut yang tumbuh di sana. Aku melihat kebebasan.

Aku membidik, mengatur fokus, membiarkan cahaya yang merona menerpa lensa. Momen ini adalah milikku. Tidak ada yang bisa memprediksi hasilnya, tidak ada yang bisa memberitahuku apa yang harus kulakukan dengan gambar tersebut, atau bahkan apakah gambar tersebut akan bagus atau tidak. Hanya aku, kamera, dan kebebasan untuk mengabadikan apa yang kusaksikan.

Klik.

Suara rana kamera memecah keheningan sore. Sebuah suara kecil, namun bagi diriku, itu adalah gemuruh yang mengawali sebuah perjalanan baru. Perjalanan yang akan kupilih sendiri, dengan setiap langkah yang kuputuskan berdasarkan hati dan akalku, bukan notifikasi dari masa depan. Masa depanku terhampar luas, tanpa peta, tanpa kompas yang pasti, namun diisi dengan teman-teman yang berdiri di sampingku, dan sebuah semangat yang tak akan pernah padam. Aku siap.

***TAMAT***

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 24 - Masa Depan (TAMAT)"