Notif untuk Naya - Bab 17 - Kebenaran Mulai Terbuka

Notif untuk Naya

Dingin menyergap, menusuk sampai ke tulang, padahal siang bolong. Aku tak pernah merasa sehampa hari itu. Langkah-langkah menjauhi gerbang sekolah terasa seperti melarikan diri dari sebuah adegan kejahatan yang tak kulakukan. Notifikasi terakhir menari-nari di retinaku: Sistem pendaftaran ulang sudah diamankan. Tapi dia punya rencana cadangan. Cari 'kunci utama'.

Kata-kata tersebut memecah sisa-sisa harapanku. Aku telah mengorbankan diriku, reputasiku, semua yang kupunya, hanya untuk mengetahui bahwa ancaman itu belum berakhir. Ini tidak adil. Sebuah pisau tajam seolah mengiris hatiku, membuatku bertanya, apakah pengorbanan ini sia-sia? Apakah Notifikasi ini justru mempermainkanku?

Notif untuk Naya

Aku langsung pulang, masuk ke kamar yang gelap, dan hanya menatap ponsel. Tak ada air mata lagi, hanya kekosongan. Suara ketukan pintu membuatku tersentak. Dito dan Mira. Mereka pasti tahu.

"Nay, kamu baik-baik saja?" Suara Mira terdengar cemas, melintasi ambang pintu yang sedikit terbuka.

Aku menggeleng. Tak sanggup bersuara. Dito masuk, diikuti Mira, dan langsung duduk di sampingku. Mereka melihat layar ponselku, Notifikasi itu masih menyala.

"Jadi, Notifikasi itu bilang Raka punya rencana cadangan?" Dito membaca ulang, suaranya pelan.

"Dan aku harus mencari 'kunci utama'?" Aku akhirnya bisa bicara, suaraku serak. "Bagaimana caranya, Dito? Aku bahkan tidak diizinkan masuk ke acara kelulusan. Semua orang menganggapku pengkhianat. Raka menang."

Mira meraih tanganku. "Tidak, Nay. Raka tidak menang. Kita tidak akan membiarkan dia menang."

"Tapi kita sudah mencoba," kataku, putus asa. "Kita sudah mengorbankan segalanya, dan ini belum cukup. Notifikasi itu… dia menyuruhku untuk mengaku. Sekarang dia memberiku teka-teki lagi. Apakah dia tidak tahu seberapa besar harga yang sudah kubayar?"

Dito mengusap rambutnya, ekspresinya serius. "Aku setuju, Nay. Ada yang aneh dengan ini. Notifikasi itu selalu muncul dengan saran yang spesifik, tapi tidak pernah menjelaskan kenapa. Dia memaksamu ke satu pilihan, seolah tidak ada cara lain."

"Maksudmu, Notifikasi itu memanipulasimu?" Mira bertanya, matanya melebar.

"Aku tidak tahu," jawabku jujur. "Tapi coba pikirkan. Dia memberitahuku untuk mengaku kesalahan kecil. Aku melakukannya. Semua orang membenciku. Tapi dia tidak pernah bilang kalau Raka punya rencana cadangan. Kenapa? Kenapa Notifikasi itu tidak memberi tahu semuanya dari awal?"

Dito bangkit, berjalan mondar-mandir di kamar kecilku. "Itu poin yang bagus. Jika dia benar-benar 'Naya (2035)' dan ingin mencegah bencana, kenapa informasinya selalu terpotong? Seolah-olah dia hanya memberi sekadar cukup agar kita bertindak sesuai kemauannya."

"Seolah dia punya skenario sendiri," tambah Mira, menyambung pemikiran Dito. "Dan kita hanya pion di dalam skenario tersebut."

Hatiku berdenyut sakit. Konsep itu terasa sangat menyeramkan. Selama ini aku bergantung pada notifikasi tersebut, percaya bahwa itu adalah diriku di masa depan yang mencoba menolong. Tapi bagaimana jika "diriku" itu lebih seperti sebuah program, sebuah algoritma yang dirancang untuk mencapai hasil tertentu, tanpa peduli pada perasaan atau konsekuensi emosional pada Naya yang sekarang?

"Tapi jika begitu, apa motifnya?" tanyaku. "Kenapa dia ingin mengubah masa depan dengan cara seperti ini?"

"Mungkin untuk menghindari bencana yang lebih besar di masa depannya," Dito berspekulasi. "Tapi dia tidak bisa langsung memberitahumu. Mungkin ada batasan waktu, atau batasan informasi yang bisa dia kirim. Atau…" Dito tiba-tiba berhenti, matanya tertuju pada salah satu papan fotoku. Ada beberapa foto lama Dito dan Raka saat mereka masih SD. "Atau memang dia sengaja membuat alur cerita ini."

"Alur cerita?" Mira mengangkat alis.

"Ya. Sebuah narasi," kata Dito. "Pikirkan. Dia memberimu peringatan kecil, lalu yang lebih besar. Dia membiarkan Raka memojokkanmu, lalu memberimu solusi yang mengorbankanmu. Lalu sekarang dia bilang ada rencana cadangan, tapi dia tidak bilang apa itu. Dia membuatmu terus mencari, terus berjuang. Ini bukan cuma tentang mencegah. Ini tentang membentuk."

"Membentuk siapa?" tanyaku.

"Membentukmu, Naya," jawab Mira pelan, menatapku dengan simpati yang mendalam. "Membentuk dirimu di masa depan. Mungkin 'Naya (2035)' ini adalah hasil dari semua pilihan sulit yang dia buat. Dan dia ingin kamu membuat pilihan yang sama."

Aku terdiam, merenungkan ucapan Mira. Selama ini, notifikasi tersebut selalu memberiku solusi. Solusi yang membuatku aman, atau membuat orang lain aman, tapi seringkali dengan harga yang harus kubayar. Aku tidak pernah diberi pilihan yang benar-benar bebas dari arahan tersebut.

"Kalau begitu, 'kunci utama' itu bisa jadi jebakan lain," kataku, suaraku mengeras dengan tekad baru. "Atau bisa jadi petunjuk yang sangat penting. Kita harus mencari tahu. Tapi kali ini, kita akan mencari tahu dengan cara kita sendiri. Bukan cara Notifikasi."

Dito mengangguk. "Tepat sekali. Kita tidak bisa lagi hanya mengikuti. Kita harus kritis. Mari kita analisis Raka. Notifikasi itu bilang 'dia punya rencana cadangan'. Siapa 'dia' di sini? Raka. Dan 'kunci utama'. Apa yang paling penting bagi Raka?"

Mira mengambil pena dan kertas dari mejaku. "Kita butuh daftar. Apa saja yang Raka kuasai? Apa yang dia pedulikan?"

"Popularitas," kataku. "Ambisi. Dia ingin jadi ketua OSIS, dia selalu ingin tampil sebagai pahlawan."

"Dan dia jago di bidang IT, bukan?" Dito menambahkan. "Dia sering bantu guru-guru setting proyektor atau jaringan. Dia punya akses lebih."

Kami menghabiskan berjam-jam membahas Raka, mengorek semua ingatan tentang dia. Dari kebiasaan kecilnya, lingkaran pertemanannya, hingga cara dia berbicara. Aku mengeluarkan semua catatan kecilku, berharap ada sesuatu di sana. Dito membuka laptop, mulai mencari jejak digital Raka yang mungkin terlewat olehku. Mira mencoba mencari tahu dari teman-teman lain secara tidak langsung, mengirim pesan lewat grup chat OSIS, menanyakan hal-hal sepele yang bisa menguak informasi penting.

Malam semakin larut. Aku merasa lelah, tapi ada semangat baru yang membara dalam diriku. Kemarahan pada Notifikasi itu, kekecewaan pada Raka, dan tekad untuk tidak menjadi pion lagi. Kami bertiga berada dalam mode penyelidikan penuh.

"Dapat!" Dito tiba-tiba berseru, matanya terpaku pada layar laptop. "Lihat riwayat akun sosial Raka yang sudah lama ini. Ada satu postingan yang dia hapus cepat-cepat. Isinya cuma foto kunci."

Kami mendekat. Kunci tersebut tampak biasa saja, tergeletak di atas meja yang agak kotor. Tapi ada tulisan samar di gantungan kuncinya.

"Itu… itu bukan kunci biasa," kata Mira, suaranya tercekat. "Itu… itu logo perpustakaan kota. Dan ada nomor seri di gantungan kuncinya."

"Perpustakaan kota?" tanyaku bingung. "Kenapa Raka punya kunci perpustakaan? Dan apa hubungannya dengan rencana cadangannya?"

Dito memperbesar gambar tersebut. "Kunci utama," bisiknya. "Mungkin ini bukan kunci fisik. Mungkin ini adalah akses ke sesuatu yang ada di perpustakaan. Sesuatu yang digital."

Saat itu, ponsel Dito bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Dia tahu kamu sedang mencari. Dia akan coba mengalihkan perhatianmu dengan isu lama.

Wajah Dito pucat. Kami saling pandang. Ancaman itu nyata. Raka tahu. Dan Notifikasi itu tidak bisa lagi sepenuhnya kupercaya. Kami harus bergerak cepat, sebelum Raka melakukan sesuatu. Tapi apa yang ada di perpustakaan kota? Dan bagaimana kami bisa mengaksesnya tanpa dicurigai? Sebuah teka-teki baru, lebih rumit, lebih berbahaya, kini menanti kami di ambang pintu acara kelulusan.

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 17 - Kebenaran Mulai Terbuka"