Notif untuk Naya - Bab 17 - Kebenaran Mulai Terbuka
Dingin menyergap, menusuk sampai ke
tulang, padahal siang bolong. Aku tak pernah merasa sehampa hari itu.
Langkah-langkah menjauhi gerbang sekolah terasa seperti melarikan diri dari
sebuah adegan kejahatan yang tak kulakukan. Notifikasi terakhir menari-nari di
retinaku: Sistem pendaftaran ulang sudah diamankan. Tapi dia punya
rencana cadangan. Cari 'kunci utama'.
Kata-kata tersebut memecah
sisa-sisa harapanku. Aku telah mengorbankan diriku, reputasiku, semua yang
kupunya, hanya untuk mengetahui bahwa ancaman itu belum berakhir. Ini tidak
adil. Sebuah pisau tajam seolah mengiris hatiku, membuatku bertanya, apakah pengorbanan
ini sia-sia? Apakah Notifikasi ini justru mempermainkanku?
📱 Notif untuk Naya
Klik salah satu bab di bawah ini untuk mulai membaca kisahnya.
Aku langsung pulang, masuk ke kamar
yang gelap, dan hanya menatap ponsel. Tak ada air mata lagi, hanya kekosongan.
Suara ketukan pintu membuatku tersentak. Dito dan Mira. Mereka pasti tahu.
"Nay, kamu baik-baik
saja?" Suara Mira terdengar cemas, melintasi ambang pintu yang sedikit
terbuka.
Aku menggeleng. Tak sanggup
bersuara. Dito masuk, diikuti Mira, dan langsung duduk di sampingku. Mereka
melihat layar ponselku, Notifikasi itu masih menyala.
"Jadi, Notifikasi itu bilang
Raka punya rencana cadangan?" Dito membaca ulang, suaranya pelan.
"Dan aku harus mencari 'kunci
utama'?" Aku akhirnya bisa bicara, suaraku serak. "Bagaimana caranya,
Dito? Aku bahkan tidak diizinkan masuk ke acara kelulusan. Semua orang
menganggapku pengkhianat. Raka menang."
Mira meraih tanganku. "Tidak,
Nay. Raka tidak menang. Kita tidak akan membiarkan dia menang."
"Tapi kita sudah
mencoba," kataku, putus asa. "Kita sudah mengorbankan segalanya, dan
ini belum cukup. Notifikasi itu… dia menyuruhku untuk mengaku. Sekarang dia
memberiku teka-teki lagi. Apakah dia tidak tahu seberapa besar harga yang sudah
kubayar?"
Dito mengusap rambutnya,
ekspresinya serius. "Aku setuju, Nay. Ada yang aneh dengan ini. Notifikasi
itu selalu muncul dengan saran yang spesifik, tapi tidak pernah menjelaskan
kenapa. Dia memaksamu ke satu pilihan, seolah tidak ada cara lain."
"Maksudmu, Notifikasi itu
memanipulasimu?" Mira bertanya, matanya melebar.
"Aku tidak tahu," jawabku
jujur. "Tapi coba pikirkan. Dia memberitahuku untuk mengaku kesalahan
kecil. Aku melakukannya. Semua orang membenciku. Tapi dia tidak
pernah bilang kalau Raka punya rencana cadangan. Kenapa? Kenapa Notifikasi itu
tidak memberi tahu semuanya dari awal?"
Dito bangkit, berjalan
mondar-mandir di kamar kecilku. "Itu poin yang bagus. Jika dia benar-benar
'Naya (2035)' dan ingin mencegah bencana, kenapa informasinya selalu terpotong?
Seolah-olah dia hanya memberi sekadar cukup agar kita
bertindak sesuai kemauannya."
"Seolah dia punya skenario
sendiri," tambah Mira, menyambung pemikiran Dito. "Dan kita hanya
pion di dalam skenario tersebut."
Hatiku berdenyut sakit. Konsep itu
terasa sangat menyeramkan. Selama ini aku bergantung pada notifikasi tersebut,
percaya bahwa itu adalah diriku di masa depan yang mencoba menolong. Tapi
bagaimana jika "diriku" itu lebih seperti sebuah program, sebuah
algoritma yang dirancang untuk mencapai hasil tertentu, tanpa peduli pada
perasaan atau konsekuensi emosional pada Naya yang sekarang?
"Tapi jika begitu, apa
motifnya?" tanyaku. "Kenapa dia ingin mengubah masa depan dengan cara
seperti ini?"
"Mungkin untuk menghindari
bencana yang lebih besar di masa depannya," Dito berspekulasi. "Tapi
dia tidak bisa langsung memberitahumu. Mungkin ada batasan waktu, atau batasan
informasi yang bisa dia kirim. Atau…" Dito tiba-tiba berhenti, matanya
tertuju pada salah satu papan fotoku. Ada beberapa foto lama Dito dan Raka saat
mereka masih SD. "Atau memang dia sengaja membuat alur cerita ini."
"Alur cerita?" Mira
mengangkat alis.
"Ya. Sebuah narasi," kata
Dito. "Pikirkan. Dia memberimu peringatan kecil, lalu yang lebih besar.
Dia membiarkan Raka memojokkanmu, lalu memberimu solusi yang mengorbankanmu.
Lalu sekarang dia bilang ada rencana cadangan, tapi dia tidak bilang apa itu.
Dia membuatmu terus mencari, terus berjuang. Ini bukan cuma tentang mencegah.
Ini tentang membentuk."
"Membentuk siapa?"
tanyaku.
"Membentukmu, Naya,"
jawab Mira pelan, menatapku dengan simpati yang mendalam. "Membentuk
dirimu di masa depan. Mungkin 'Naya (2035)' ini adalah hasil dari semua pilihan
sulit yang dia buat. Dan dia ingin kamu membuat pilihan yang sama."
Aku terdiam, merenungkan ucapan
Mira. Selama ini, notifikasi tersebut selalu memberiku solusi. Solusi yang
membuatku aman, atau membuat orang lain aman, tapi seringkali dengan harga yang
harus kubayar. Aku tidak pernah diberi pilihan yang benar-benar bebas dari
arahan tersebut.
"Kalau begitu, 'kunci utama'
itu bisa jadi jebakan lain," kataku, suaraku mengeras dengan tekad baru.
"Atau bisa jadi petunjuk yang sangat penting. Kita harus mencari tahu.
Tapi kali ini, kita akan mencari tahu dengan cara kita sendiri. Bukan cara
Notifikasi."
Dito mengangguk. "Tepat
sekali. Kita tidak bisa lagi hanya mengikuti. Kita harus kritis. Mari kita
analisis Raka. Notifikasi itu bilang 'dia punya rencana cadangan'. Siapa 'dia'
di sini? Raka. Dan 'kunci utama'. Apa yang paling penting bagi Raka?"
Mira mengambil pena dan kertas dari
mejaku. "Kita butuh daftar. Apa saja yang Raka kuasai? Apa yang dia
pedulikan?"
"Popularitas," kataku.
"Ambisi. Dia ingin jadi ketua OSIS, dia selalu ingin tampil sebagai
pahlawan."
"Dan dia jago di bidang IT,
bukan?" Dito menambahkan. "Dia sering bantu guru-guru setting
proyektor atau jaringan. Dia punya akses lebih."
Kami menghabiskan berjam-jam
membahas Raka, mengorek semua ingatan tentang dia. Dari kebiasaan kecilnya,
lingkaran pertemanannya, hingga cara dia berbicara. Aku mengeluarkan semua
catatan kecilku, berharap ada sesuatu di sana. Dito membuka laptop, mulai mencari
jejak digital Raka yang mungkin terlewat olehku. Mira mencoba mencari tahu dari
teman-teman lain secara tidak langsung, mengirim pesan lewat grup chat OSIS,
menanyakan hal-hal sepele yang bisa menguak informasi penting.
Malam semakin larut. Aku merasa
lelah, tapi ada semangat baru yang membara dalam diriku. Kemarahan pada
Notifikasi itu, kekecewaan pada Raka, dan tekad untuk tidak menjadi pion lagi.
Kami bertiga berada dalam mode penyelidikan penuh.
"Dapat!" Dito tiba-tiba
berseru, matanya terpaku pada layar laptop. "Lihat riwayat akun sosial
Raka yang sudah lama ini. Ada satu postingan yang dia hapus cepat-cepat. Isinya
cuma foto kunci."
Kami mendekat. Kunci tersebut
tampak biasa saja, tergeletak di atas meja yang agak kotor. Tapi ada tulisan
samar di gantungan kuncinya.
"Itu… itu bukan kunci
biasa," kata Mira, suaranya tercekat. "Itu… itu logo perpustakaan
kota. Dan ada nomor seri di gantungan kuncinya."
"Perpustakaan kota?"
tanyaku bingung. "Kenapa Raka punya kunci perpustakaan? Dan apa
hubungannya dengan rencana cadangannya?"
Dito memperbesar gambar tersebut.
"Kunci utama," bisiknya. "Mungkin ini bukan kunci fisik. Mungkin
ini adalah akses ke sesuatu yang ada di perpustakaan. Sesuatu yang
digital."
Saat itu, ponsel Dito bergetar.
Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Dia tahu kamu sedang mencari. Dia akan coba mengalihkan perhatianmu dengan
isu lama.
Wajah Dito pucat. Kami saling
pandang. Ancaman itu nyata. Raka tahu. Dan Notifikasi itu tidak bisa lagi
sepenuhnya kupercaya. Kami harus bergerak cepat, sebelum Raka melakukan
sesuatu. Tapi apa yang ada di perpustakaan kota? Dan bagaimana kami bisa mengaksesnya
tanpa dicurigai? Sebuah teka-teki baru, lebih rumit, lebih berbahaya, kini
menanti kami di ambang pintu acara kelulusan.
Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 17 - Kebenaran Mulai Terbuka"
Posting Komentar