Notif untuk Naya - Bab 19 - Notif Terakhir

notif untuk naya

Ponsel Dito yang bergetar dini hari itu, menampilkan judul berita yang memekakkan, bagai dentuman bom di ruang hampa. Aku tidak bisa bicara. Darahku terasa dingin, mengalir deras dari kepala ke ujung kaki. Skandal Bocornya Data Siswa: Pengakuan Jujur dan Konsekuensi Berat. Raka tidak hanya menyerangku; ia menghancurkanku. Ia membawa pertarungan ke medan yang paling berbahaya: opini publik.

Notif untuk Naya

"Bajingan!" Mira mengumpat, suaranya bergetar antara marah dan tak percaya. Ia mendekat, memelukku erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan yang ia miliki. "Bagaimana ia bisa sekejam itu? Setelah semua yang kau lakukan demi sekolah, ia membalikkan semua fakta!"

Aku hanya bisa menggeleng. Mataku terasa panas, namun air mata enggan keluar. Kekosongan merayap, menelan semua emosi lain. Aku sudah melewati banyak badai reputasi, namun yang ini terasa berbeda. Sebuah artikel berita. Itu akan menyebar lebih cepat dari api, meninggalkan jejak permanen di internet.

"Ia tidak hanya ingin mengalihkan perhatian kita," Dito berkata, matanya menatap tajam ke layar laptop. Jarinya dengan cepat mencari informasi terkait artikel itu. "Ia ingin melumpuhkan kita. Kalau reputasimu hancur di mata publik, tidak ada yang akan percaya omongan kita soal Raka atau Pak Wisnu."

"Tapi… kenapa?" bisikku, suaraku nyaris tak terdengar. "Kenapa harus sejauh ini?"

"Karena 'kunci utama' yang kita cari itu jauh lebih penting dari yang kita bayangkan," jawab Dito, mengalihkan pandangannya dari layar, menatapku dengan sorot serius. "Kalau ia sampai mengorbankan begitu banyak untuk menyembunyikannya, berarti ada sesuatu yang sangat besar di sana."

"Sesuatu yang bisa menghancurkan reputasinya, mungkin?" Mira menyahut. "Atau mungkin, itu bukan hanya tentang Raka. Mungkin ada orang lain yang bersembunyi di balik bayangannya."

Suasana di kamarku terasa berat. Fajar mulai menyingsing, mewarnai langit dengan gradasi oranye dan abu-abu, namun hatiku terasa gelap. Aku membayangkan tatapan teman-teman, tatapan orang tua yang kecewa, tatapan guru-guru yang akan mulai mempertanyakan integritasku. Semua itu karena aku pernah menuruti sebuah Notifikasi.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyaku, merasakan keputusasaan merayapi. "Kita tidak bisa mencari kunci itu kalau kita juga harus sibuk membersihkan namaku."

"Kita harus memikirkan cara membalas serangannya," Mira bersikeras, mengepalkan tangannya. "Kita tidak bisa diam saja."

Dito menghela napas panjang. "Mira benar. Tapi kita harus strategis. Kita tidak bisa langsung menuduh Raka di depan umum. Justru itu yang ia inginkan. Ia ingin kita panik dan membuat kesalahan."

"Kita perlu bukti," lanjutku, memutar otak. "Bukti yang tidak bisa ia bantah. Bukti yang lebih besar dari sekadar skandal. Bukti tentang ‘kunci utama’ itu, dan keterlibatan Pak Wisnu."

"Aku sudah mulai menelusuri aktivitas login Pak Wisnu di server sekolah," Dito menjelaskan. "Tapi seperti yang kubilang, sistem keamanannya ketat. Ini akan butuh waktu."

Mira mengangguk. "Aku juga akan melanjutkan rencanaku pura-pura butuh bantuan IT. Aku akan mencari kesempatan untuk mengamati apa pun yang mencurigakan di mejanya atau di komputernya."

Aku mengambil buku catatan kecilku, mencoret-coret tanpa tujuan. Pikiranku berkecamuk. Bagaimana bisa semuanya menjadi serumit ini? Notifikasi yang awalnya memberiku keuntungan kecil, kini menyeretku ke dalam pusaran kekacauan yang tak berujung. Aku lelah. Lelah dengan semua intrik, semua rahasia, semua tekanan.

Saat itulah, getaran lembut namun tegas di ponselku menarik perhatianku. Bukan dari grup alumni. Bukan dari Dito atau Mira. Notifikasi khusus. Mataku terbelalak. Naya (2035).

Jantungku berdebar kencang, kali ini bukan karena takut atau marah, melainkan karena firasat. Sebuah firasat yang mengatakan bahwa pesan yang akan datang akan mengubah segalanya. Aku membuka notifikasi itu.

Layarku menyala terang, menampilkan barisan teks yang terasa membekukan darahku:

Naya (2035): Dalam 72 jam, kegagalan sistem pengolahan limbah kota akan memicu bencana lingkungan skala besar. Jutaan nyawa terancam oleh pencemaran air dan udara yang tidak terkendali. Ini bukan lagi soal individu. Ini adalah darurat. Ikuti instruksi pada tautan ini [tautan.khusus.akses.mutlak] untuk mengaktifkan protokol darurat yang akan menghentikan bencana. Tapi kau harus menyerahkan kendali penuh. Tidak ada pilihan lain, Naya. Kegagalan berarti kehancuran. Pilihan ada di tanganmu: kendali mutlak atau kehilangan semua.

Napas tertahan di dadaku. Notifikasi itu… itu bukan sekadar peringatan tentang kecelakaan kecil atau kebocoran data. Kata-katanya menggema di kepalaku: jutaan nyawa terancambencana lingkungan skala besardaruratmenyerahkan kendali penuh.

Dito dan Mira, yang menyadari perubahan ekspresiku, langsung mendekat. Mata mereka melebar saat membaca isi notifikasi di layarku.

"Apa… apa maksudnya ini?" Mira tergagap, suaranya tak lagi berani.

Dito membaca ulang dengan cermat, rahangnya mengeras. "Notifikasi ini… ia berbeda. Tidak ada opsi untuk 'mengikuti saran'. Hanya 'ikuti instruksi' dan 'serahkan kendali penuh'."

"Jutaan nyawa?" tanyaku, suaraku serak. "Ini bukan lagi tentang sekolah, atau Raka. Ini… ini skala kota, bahkan mungkin lebih besar."

Mira menggelengkan kepala. "Tapi, 'menyerahkan kendali penuh'? Apa artinya? Apa yang akan terjadi padamu jika kau melakukannya?"

"Aku tidak tahu," bisikku, jari-jariku tanpa sadar menyentuh layar ponsel. Tautan berwarna biru itu tampak mengundang sekaligus menakutkan. Aku tahu apa yang Notifikasi maksud dengan 'kendali penuh'. Itu berarti aku harus berhenti berpikir, berhenti meragukan, berhenti memilih. Aku harus menjadi pion yang sempurna. Alat tanpa suara.

"Ini jebakan," kata Dito tegas. "Pasti. Notifikasi itu selalu manipulatir, Naya. Ingat itu. Tidak ada yang gratis. Apalagi ini."

"Tapi kalau ia benar?" Suaraku terdengar seperti orang lain. "Kalau jutaan nyawa benar-benar terancam? Bagaimana jika aku menolaknya, lalu bencana itu benar-benar terjadi?"

Ketakutan menyergapku. Notifikasi itu bermain dengan taruhan tertinggi. Tidak hanya mengorbankan diriku, tetapi juga memaksaku mempertimbangkan konsekuensi dari menolaknya. Raka dan skandalnya terasa begitu kecil dibandingkan dengan bayangan jutaan nyawa.

"Naya, dengarkan aku," Mira memegang pundakku. "Kau sudah melewati banyak hal. Kau belajar untuk tidak lagi bergantung pada Notifikasi. Kalau kau menyerahkan kendali sekarang, itu berarti semua perjuanganmu sia-sia."

"Tapi apa gunanya perjuangan kalau aku membiarkan bencana besar terjadi?" tanyaku, memandang Mira dan Dito bergantian, mencari jawaban di mata mereka yang sama-sama penuh kebingungan. Beban dunia terasa menimpaku.

"Kita akan cari cara lain!" Dito berseru, berusaha meyakinkanku. "Pasti ada jalan! Notifikasi itu bukan satu-satunya sumber informasi, Naya. Kita bisa… kita bisa melapor ke pihak berwenang, kita bisa mencari tahu sendiri tentang sistem limbah itu!"

"Dengan reputasiku yang sedang hancur karena berita Raka?" Aku tersenyum pahit. "Siapa yang akan percaya padaku?"

Notifikasi terakhir itu terus menyala di layar ponselku, seolah menuntut jawabanku. 72 jam. Waktu terus berjalan. Sebuah pilihan yang tidak hanya menguji integritasku, tetapi juga keberanianku untuk memilih jalanku sendiri di tengah ancaman kehancuran. Aku memandang tautan itu, bayangan jutaan nyawa melintas di benakku, berhadapan dengan bayangan diriku yang kehilangan segalanya.

Apa yang akan kupilih? Kebebasan yang berisiko tinggi, atau keamanan yang dibayar dengan kehilangan diri?

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 19 - Notif Terakhir "