Notif untuk Naya - Bab 22 - Pembalasan & Penyelesaian
Pesan ancaman di ponselku terasa
seperti tamparan dingin yang membangunkanku dari ilusi keselamatan. Aku tahu
telah memilih jalan yang penuh rintangan, tapi tidak menyangka rintangan itu
akan datang secepat dan sedingin ini, langsung dari lawan yang tidak kasat
mata. Jantungku berdebar tak karuan, darah serasa membeku dalam nadi. Dito,
yang berdiri di sampingku, melihat ekspresiku yang tiba-tiba pucat.
📱 Notif untuk Naya
Klik salah satu bab di bawah ini untuk mulai membaca kisahnya.
“Naya, ada apa?” tanyanya, suaranya
dipenuhi kekhawatiran.
Aku hanya bisa menyerahkan ponselku
padanya, membiarkan mata Dito membaca rentetan kalimat yang baru saja
menghantamku. Wajahnya mengeras, kerutan muncul di dahinya saat ia
menyelesaikan pesan itu. “Raka dan Pak Wisnu mengawasi…” bisiknya, lebih kepada
dirinya sendiri. “Siapa Pak Wisnu?”
Mira berlari menghampiri kami,
napasnya tersengal. “Bagaimana? Pak Rudi bilang apa?” Dia melihat ekspresi kami
yang tegang dan langsung tahu ada yang tidak beres. “Ada apa?”
Aku mengambil kembali ponselku,
jari-jariku gemetar. “Mereka tahu, Mira. Mereka tahu kita sudah bergerak.”
Mira membaca pesan itu, dan mata
protektifnya menyipit tajam. “Sialan. Ini bukan lagi soal gosip atau reputasi.
Ini ancaman terang-terangan. Siapa Pak Wisnu? Apa Pak Rudi mengenalnya?”
Dito menggeleng. “Kurasa Pak Rudi
tidak akan mengaitkan nama itu dengan masalah ini. Tapi, jelas Pak Wisnu figur
kunci di balik Raka, atau setidaknya, dalam masalah manipulasi data limbah.
Raka mungkin hanya pionnya.”
Keheningan sesaat melanda kami,
hanya suara bisikan siswa lain yang lewat yang memecah ketegangan. Sekolah
tiba-tiba terasa seperti arena pertarungan, bukan lagi tempat yang aman.
“Kita harus memberitahu Pak Rudi,”
kata Mira, tegas. “Dia harus tahu ancaman seperti apa yang kita hadapi. Dia
dalam bahaya juga sekarang.”
Aku menggigit bibirku. “Tapi Pak
Rudi bilang jangan bicarakan hal ini pada siapa pun. Aku tidak mau dia semakin
berisiko.”
“Justru karena risiko itulah dia
harus tahu!” Mira bersikeras. “Lagipula, bagaimana kalau mereka mencoba
menghentikannya? Kita butuh dia untuk membongkar masalah limbah itu, Naya.
Tanpa dia, kita tidak punya apa-apa.”
Dito mengangguk, menyetujui Mira.
“Mira benar. Pak Rudi bukan anak-anak. Dia pasti bisa menghadapi risiko. Yang
terpenting sekarang adalah memastikan dia punya gambaran lengkap.”
Aku menghela napas, pikiran-pikiran
berlomba-lomba di kepalaku. Kekhawatiran akan keselamatan Pak Rudi,
teman-temanku, dan juga diriku sendiri. Ancaman Naya (2035) yang menjanjikan
bencana jika aku memilih jalan lain, dan sekarang ancaman dari pihak yang ingin
menutupi kebenaran. Ini semua terasa nyata dan mematikan.
“Baiklah,” kataku, akhirnya
menyerah. “Aku akan coba temui Pak Rudi lagi setelah jam pelajaran pertama.
Kita tidak bisa langsung ke sana lagi, itu akan mencurigakan.”
Pagi hari itu berlalu dengan
perlahan, setiap menit terasa seperti jam. Aku mencoba fokus di kelas, tapi
pikiranku terus melayang pada pesan ancaman dan kemungkinan terburuk. Kerusakan
pertama dari keputusan kami mulai terasa bukan hanya dalam bentuk ancaman
verbal, melainkan beban psikologis yang mengerikan. Aku merasa seperti berjalan
di atas tali tipis, di antara jurang yang dalam di kedua sisinya.
Bel istirahat pertama berbunyi, dan
aku segera bergegas menuju ruang guru lagi, kali ini ditemani Dito dan Mira.
Kami mencoba menjaga ekspresi sesantai mungkin, seolah hanya ingin menanyakan
tugas atau nilai.
Pak Rudi masih di mejanya, membaca
dokumen. Saat ia melihat kami lagi, ekspresi keheranannya jelas terlihat.
“Kalian lagi? Ada apa? Apa ada yang kalian lupakan?”
Aku melirik sekeliling, memastikan
tidak ada guru lain yang terlalu dekat. “Pak, ada hal penting yang harus kami
sampaikan. Ini… tentang pesan yang saya terima setelah kami menemui Bapak
tadi.” Aku menyerahkan ponselku lagi, membuka pesan dari nomor tak dikenal.
Pak Rudi membacanya, dan kali ini,
ketenangan di wajahnya memudar. Mata di balik kacamata menajam, rahangnya
mengeras. “Pak Wisnu…?” gumamnya, suaranya rendah. “Saya tahu nama itu. Dia
salah satu konsultan teknis utama untuk proyek pengolahan limbah kota beberapa
tahun terakhir. Punya koneksi kuat di dinas lingkungan hidup.”
Mendengar konfirmasi Pak Rudi,
hatiku semakin mencelos. Jadi, dugaan Dito benar. Ancaman ini datang dari orang
yang berkuasa.
“Jadi, Bapak mengenalnya?” tanya
Mira, nadanya tak bisa menyembunyikan keterkejutan.
“Tidak secara pribadi, tapi
reputasinya cukup dikenal. Orang yang sangat berhati-hati dengan citra publik,
tapi juga dikenal… ambisius,” jawab Pak Rudi, menghela napas. Ia menatap pesan
itu lagi. “Mengancam kalian… ini serius.”
“Dan ada batas waktu tiga hari yang
kami sampaikan itu, Pak,” Dito mengingatkan. “Kami yakin mereka akan melakukan
sesuatu untuk mencegah Bapak bertindak atau menutupi masalah ini lebih jauh.”
Pak Rudi berdiri, berjalan ke papan
tulis kecil di ruangannya, lalu menunjuk peta kota yang terpampang di sana.
“Jika Pak Wisnu terlibat, berarti ini jauh lebih besar dari sekadar kecerobohan
data. Ini bisa jadi sindikat yang terorganisir, Naya. Melawan orang-orang
seperti dia butuh strategi.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan,
Pak?” tanyaku, merasakan sedikit harapan muncul karena Pak Rudi tidak gentar,
melainkan mulai menyusun strategi.
“Saya akan menghubungi kenalan saya
secepatnya. Tapi kalian benar, mereka mungkin akan mencoba menghentikan saya,”
katanya, raut wajahnya serius. “Mungkin dengan cara yang halus, atau mungkin…
lebih langsung.”
Tiba-tiba, ponsel Pak Rudi
bergetar. Dia melihat layar, ekspresinya berubah. “Ini dari kepala sekolah.”
Kami bertiga bertukar pandang penuh
kecemasan. Apakah mereka sudah bergerak secepat itu?
Pak Rudi menjawab telepon, suaranya
tenang tapi aku bisa melihat ketegangan di matanya. “Ya, Bu Kepala. Ada apa?”
Dia mendengarkan sebentar, lalu menjawab. “Saya mengerti. Baik, saya akan
segera ke sana.”
Setelah menutup telepon, Pak Rudi
menatap kami. “Kepala sekolah memanggil saya. Ada laporan tentang…
penyalahgunaan fasilitas sekolah oleh beberapa siswa, katanya. Mungkin hanya
kebetulan, tapi rasanya terlalu cepat.”
“Mereka mengincar Bapak, Pak,” Mira
menyimpulkan, tanpa ragu. “Apa yang akan Bapak lakukan?”
“Saya akan ke kantor kepala
sekolah,” jawab Pak Rudi, memasukkan ponselnya ke saku. “Kalian… tetap waspada.
Jangan bertindak sendiri. Dan yang terpenting, jangan sampai mereka menemukan
bukti apa pun yang mengaitkan kalian langsung dengan ini. Data yang Dito
kumpulkan, pastikan aman. Duplikasikan, sembunyikan.”
“Baik, Pak,” Dito dan aku menjawab
serempak.
“Dan Naya,” Pak Rudi menatapku.
“Keputusanmu untuk tidak mengikuti ‘notifikasi’ itu buta adalah benar. Apa pun
konsekuensinya, kebebasan untuk memilih dan bertindak sesuai nurani adalah hal
yang paling penting. Sekarang, kita akan menghadapi konsekuensinya bersama.”
Kata-katanya memberiku kekuatan
baru. Kebebasan itu memang terasa berat, tapi juga memberi kejelasan. Aku tidak
lagi menjadi boneka yang digerakkan oleh instruksi yang tidak aku pahami. Aku
telah memilih.
Saat Pak Rudi melangkah keluar dari
ruangannya menuju kantor kepala sekolah, aku bisa merasakan beratnya langkah
setiap kakiku. Aku, Dito, dan Mira segera pergi ke perpustakaan sekolah,
mencari tempat yang lebih privat untuk bicara.
“Ini dia, Naya. Konsekuensi yang
dijanjikan Naya (2035) dan juga ancaman dari musuh nyata,” ucap Dito, membuka
laptopnya dan segera mem-backup semua data yang mereka kumpulkan. “Ini adalah
kerusakan yang harus kita hadapi.”
Mira mengangguk. “Tapi kita tidak
sendirian. Kita punya Pak Rudi, dan kita punya kita.” Dia menatapku. “Apa yang
akan kita lakukan sekarang, Naya? Mereka pasti akan mencoba menghentikan Pak
Rudi. Kita tidak bisa diam saja.”
Pikiranku berputar cepat.
Notifikasi itu menjanjikan bencana jika aku tidak menurut. Ancaman dari Pak
Wisnu juga menjanjikan bencana. Dua front yang berbeda, tapi tujuannya sama:
mengendalikan diriku atau menghentikan kebenaran. Aku telah menolak takdir, dan
sekarang aku harus menciptakan jalan sendiri.
“Kita harus mencari tahu lebih
banyak tentang Pak Wisnu,” kataku, suaraku mantap. “Siapa dia, apa hubungannya
dengan Raka, dan mengapa dia terlibat dalam proyek limbah ini. Dito, bisa kau
selidiki latar belakangnya secara daring? Mira, kau coba tanyakan pada
teman-teman OSISmu yang mungkin tahu berita-berita atau gosip tentang dinas
lingkungan hidup. Mungkin ada yang pernah menyebut namanya.”
“Aku akan mulai sekarang,” kata
Dito, jemarinya menari di keyboard laptopnya.
“Aku akan coba cari alasan untuk
ngobrol dengan beberapa anak OSIS nanti,” timpal Mira, wajahnya serius. “Ini
akan sulit. Kita tidak bisa terlalu mencolok.”
Aku tahu perjuangan ini baru saja
dimulai. Dunia memang menanggapi keputusanku dengan rentetan konsekuensi yang
pahit, namun dalam kekacauan itu, aku merasakan kekuatan baru. Kebebasan untuk
membuat pilihan, untuk bertarung dengan akal dan hati, terasa seperti hadiah
termahal. Aku tidak lagi takut pada notifikasi yang menuntut kepatuhan. Kini,
yang aku takutkan adalah kegagalan untuk melindungi orang-orang yang berani
berdiri bersamaku.
Tiba-tiba, ponselku bergetar lagi.
Bukan notifikasi dari Naya (2035), bukan pesan teks dari nomor asing. Kali ini,
sebuah email dari alamat yang tidak kukenal. Isinya singkat,
tanpa subjek, dan hanya menampilkan satu tautan ke sebuah forum diskusi yang
gelap. Aku menekan tautan itu dengan jantung berdebar. Halaman yang terbuka
menampilkan sebuah thread yang baru dibuat, dengan judul
mencolok: "SKANDAL LIMBAH KOTA: LAPORAN ORANG DALAM."
Di dalamnya, sebuah nama terpampang
jelas: Pak Wisnu. Dan di bawah namanya, sebuah dokumen PDF yang
tampak seperti catatan internal dinas lingkungan hidup, berlabel "SANGAT
RAHASIA."
Aku membeku. Ini adalah kerusakan
baru yang tak terduga, atau justru kebebasan baru yang tak terduga? Seseorang
membocorkan informasi. Siapa? Dan kenapa sekarang? Apakah ini jebakan, atau
bantuan dari pihak tak dikenal yang juga menginginkan kebenaran?
Aku menatap Dito dan Mira, mataku
memancarkan pertanyaan yang sama. Pertarungan baru saja dimulai, dan kami tidak
tahu siapa yang ada di pihak kami, atau siapa yang akan menikam dari belakang.
Dunia sedang bergerak, dan kami harus bergerak lebih cepat.
Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 22 - Pembalasan & Penyelesaian"
Posting Komentar