Notif untuk Naya - Bab 23 - Pulih Perlahan

notif untuk naya

Halaman yang terbuka di layar laptop Dito membeku di depan mataku, memuntahkan kebenaran pahit yang tak terduga. Judul tebal itu, "SKANDAL LIMBAH KOTA: LAPORAN ORANG DALAM," terasa seperti petir yang menyambar, dan nama “Pak Wisnu” di bawahnya adalah guntur yang menggelegar di telingaku. Di sana, di tengah keramaian perpustakaan yang senyap, selembar dokumen PDF berlabel "SANGAT RAHASIA" tampak terpampang, menjanjikan isi yang bisa meruntuhkan segalanya.

Notif untuk Naya

Darahku berdesir, bukan lagi karena ketakutan buta, tapi karena adrenalin yang membakar. Ini bukan lagi ancaman di pojok gelap atau bisikan tak kasat mata. Ini adalah bukti. Nyata.

“Ini… ini nyata?” suaraku bergetar, lebih seperti pertanyaan bodoh yang sudah kutahu jawabannya. Mataku tak bisa lepas dari layar.

Dito memperbesar dokumen itu, jemarinya bergerak cepat di _trackpad_. “Tampaknya begitu. Data internal, ada stempel resmi. Ini bukan dokumen yang bisa dipalsukan sembarangan, Naya. Apalagi di forum seperti itu.” Matanya menyipit, mengamati setiap detail. “_Timestamp_ postingannya… baru beberapa menit yang lalu. Dan pengirimnya anonim, tentu saja.”

Mira, yang berdiri di belakang kami, merapatkan tangannya di dada. Wajahnya tegang, tapi ada kilatan determinasi di matanya. “Seseorang membocorkannya. Tapi siapa? Dan kenapa sekarang?”

“Bisa jadi bantuan,” kataku, mencoba merangkai kemungkinan di benakku. “Atau… jebakan.”

Dito mengangguk perlahan. “Kemungkinannya dua itu. Tapi, kalau jebakan, tujuannya apa? Memancing kita keluar? Atau menyudutkan Pak Rudi lebih jauh?” Ia berpikir sejenak. “Atau bahkan, ini bisa jadi ulah orang dalam di pihak Pak Wisnu sendiri. Konflik internal, mungkin?”

“Tapi kenapa Pak Wisnu mau dokumen ini bocor?” Mira menyambar. “Itu jelas merugikannya, kan?”

“Tidak selalu,” Dito membalas. “Kadang, membocorkan informasi sepotong-sepotong bisa jadi cara untuk mengalihkan perhatian, atau bahkan menuduh pihak lain. Tapi, kalau dilihat dari judul dan isinya, ini sepertinya laporan yang cukup komprehensif tentang ketidakberesan. Kualitas datanya tinggi.”

Aku terdiam, merenung. Notifikasi dari Naya (2035) selalu memberikan peringatan dan saran. Tapi yang ini berbeda. Ini adalah sebuah aksi, bukan sekadar prediksi. Sebuah tindakan yang mendorong kami ke garis depan pertempuran, entah disengaja atau tidak.

“Kita harus memberitahu Pak Rudi,” kataku, setelah menelan ludah. Keputusanku terasa jelas. Tidak ada lagi keraguan. Ini adalah senjata, dan kami butuh tahu cara menggunakannya.

Tiba-tiba, ponselku bergetar lagi. Bukan email. Bukan notifikasi. Sebuah pesan singkat dari nomor yang kukenal: Pak Rudi.

_“Saya ‘diamankan’ kepala sekolah. Jangan khawatir. Lanjutkan penyelidikan kalian. Gunakan apa pun yang kalian temukan. Saya akan menghubungi teman saya dari dalam. Jangan bertindak gegabah.”_

Hatiku mencelos sekaligus lega. Lega karena Pak Rudi baik-baik saja, setidaknya untuk saat ini. Tapi juga sedih, ia benar-benar disingkirkan dari tengah pertempuran. “Pak Rudi di kantor kepala sekolah,” kataku, menunjukkan pesan itu pada Dito dan Mira. “Dia bilang kita harus melanjutkan.”

“Jadi mereka berhasil membungkamnya, setidaknya untuk sementara,” Mira mendesis. “Sialan. Apa kita harus mencarinya?”

“Tidak,” Dito menggeleng. “Pak Rudi bilang jangan khawatir, dan jangan gegabah. Mungkin lebih baik kita tidak terlalu terlibat dengan urusan kantor kepala sekolah. Kita punya tugas yang lebih penting: membongkar ini.” Ia menunjuk layar laptop lagi.

“Bagaimana?” tanyaku. “Membocorkannya lebih jauh? Ini kan sudah di forum gelap. Apa yang bisa kita lakukan lagi?”

“Forum gelap itu terbatas, Naya,” jelas Dito. “Hanya orang-orang tertentu yang tahu dan peduli. Agar ini jadi ‘pengungkapan sosial’ seperti yang kita inginkan, kita butuh jangkauan yang lebih luas. Media massa. Atau setidaknya, platform yang lebih umum.”

Mira mengetuk-ngetuk dagunya. “Aku punya ide. Ada kelompok aktivis lingkungan lokal di media sosial. Mereka sering membagikan isu-isu seperti ini, dan punya pengikut yang lumayan banyak. Bagaimana kalau kita kirim ini ke mereka?”

“Risikonya besar,” Dito memperingatkan. “Kita akan mengungkap diri kita sendiri secara tidak langsung. Atau setidaknya, mengarahkan jari ke sekolah ini.”

“Tapi ini kesempatan emas!” Mira bersikeras. “Jika kita tidak bertindak sekarang, informasi ini mungkin akan tenggelam. Pak Rudi sudah di luar medan. Kita punya ini, Naya. Ini adalah kartu AS kita.”

Aku menatap dokumen itu lagi. "SANGAT RAHASIA." Rasanya berat, tapi juga mendebarkan. Kebebasan itu memang berat, tapi juga memberiku keberanian untuk mengambil risiko yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku telah menolak notifikasi yang menjanjikan keselamatan, memilih jalanku sendiri. Sekarang, jalan ini menuntut kami untuk berlari.

“Baiklah,” kataku, suaraku mantap. “Kita lakukan itu. Kirim ke kelompok aktivis lingkungan. Tapi… jangan langsung dari akun kita. Dito, bisa kau buat akun sementara? Anonim?”

Dito mengangguk, sudah mulai mengetik. “Tentu. Butuh waktu beberapa menit untuk membuatnya tidak terlacak. Kita juga bisa memfilter informasi yang kita berikan, agar tidak langsung mengarah ke sekolah kita atau Pak Rudi. Fokus pada konten skandalnya.”

Saat Dito sibuk dengan laptopnya, Mira menatapku dengan sorot mata yang hangat. “Naya… aku bangga padamu. Aku tahu ini sulit. Tapi kau benar. Ini yang harus kita lakukan.”

Senyuman tipis tersungging di bibirku. Setelah semua pertengkaran, semua kesalahpahaman, persahabatan kami telah kembali, lebih kuat dari sebelumnya. Di tengah badai ini, kami menemukan jangkar satu sama lain.

Beberapa jam berikutnya terasa seperti napas tertahan. Dito berhasil mengunggah dokumen itu ke platform media sosial, mengirimkannya ke beberapa akun aktivis lingkungan dengan pesan anonim yang hati-hati. Kami terus memantau, menunggu reaksi. Perpustakaan menjadi markas kecil kami, aroma buku tua dan keheningan menjadi saksi bisu setiap ketukan _keyboard_ dan desahan napas kami.

Kemudian, perlahan tapi pasti, efeknya mulai terlihat. Sebuah akun aktivis lingkungan besar me-repost tautan itu, menambahkan komentar pedas tentang transparansi pemerintah kota. Tak lama setelah itu, yang lain mengikuti. Hashtag baru mulai muncul: #SkandalLimbahKota. Angka penayangan dokumen di forum gelap itu melonjak. Kami telah memantik api, dan kini ia mulai menjalar.

Namun, seperti yang Dito perkirakan, api itu tidak hanya membakar pihak Pak Wisnu. Kami juga merasakan panasnya.

Ponselku bergetar lagi, bukan dari Naya (2035) atau nomor tak dikenal. Kali ini, sebuah pesan grup WhatsApp kelas yang baru saja dibuat oleh Raka. Judulnya: "INFO PENTING KEBERSAMAAN SEKOLAH."

Aku membukanya dengan perasaan tidak enak. Raka selalu punya cara untuk memanipulasi situasi. Dan ia memang melakukannya.

_Raka: Teman-teman, kalian mungkin sudah dengar tentang rumor aneh yang beredar tentang skandal limbah kota. Itu HOAX. Ada pihak tak bertanggung jawab yang mencoba merusak nama baik sekolah kita, dan mungkin juga Pak Wisnu yang sudah banyak berjasa untuk kota kita._

_Raka: Kami dari OSIS sedang menyelidiki siapa yang menyebarkan kebohongan ini. Kita tidak boleh mudah terprovokasi. Mari kita jaga nama baik sekolah kita._

Di bawah pesan Raka, beberapa teman kelas mulai berkomentar, sebagian besar mendukung Raka, mengutuk penyebar hoax. Beberapa lain bertanya-tanya, skeptis. Namun, narasi Raka sudah mulai membentuk opini. Ia memutarbalikkan fakta, menjadikan kami musuh.

“Sial!” Mira menggebrak meja dengan pelan. “Raka mulai menyebarkan kontra-propaganda. Dia menjadikan kita pelaku fitnah.”

“Tidak apa-apa,” kataku, meski jantungku berdetak kencang. “Ini sudah kuduga. Akan ada perlawanan. Tapi setidaknya, informasinya sudah keluar.”

Dito menutup laptopnya dengan _sigh_. “Pihak Pak Wisnu tidak akan diam. Mereka akan menyerang balik. Dan Raka adalah pion yang sangat efektif untuk itu.”

Tiba-tiba, Dito menyentuh pergelangan tanganku. Aku menatapnya. Matanya serius, menatap ke arah pintu perpustakaan.

Di sana, berdiri seorang pria berjas rapi, dengan raut wajah dingin dan kacamata berbingkai tipis. Di sampingnya, beberapa orang berbadan tegap yang tampak seperti pengawal. Pria itu menyapu pandangan ke seluruh ruangan, dan tatapan matanya berhenti tepat pada kami bertiga. Wajahnya tidak asing. Itu Pak Wisnu, yang fotonya terpampang di dokumen rahasia itu.

Raka muncul dari belakangnya, menyeringai sinis ke arah kami. Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya cukup jelas: _Kalian sudah selesai_.

Jantungku berdebar kencang, kali ini karena bahaya yang lebih personal dan langsung. Pengungkapan sosial telah dimulai, tapi balas dendam juga datang secepat itu. Pak Wisnu melangkah maju, sorot matanya yang dingin seperti pisau yang terhunus.

“Naya, Dito, Mira,” suaranya berat, namun penuh otoritas. “Boleh saya bicara dengan kalian sebentar? Di luar.”

Aku menatap Dito dan Mira, merasakan embusan udara dingin di tengkukku. Kami telah menghadapi manipulator tak kasat mata, ancaman anonim, dan kini, musuh yang nyata. Ini bukan lagi soal data atau notifikasi. Ini adalah konfrontasi langsung. Dan kami tahu, sekali kami melangkah keluar dari perpustakaan itu, tidak ada jalan mundur lagi. Masa depan yang penuh kebebasan, tapi juga penuh risiko, kini terhampar di depan mata kami.

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 23 - Pulih Perlahan"