Notif untuk Naya - Bab 14 - Pencarian Pengirim

notif untuk naya

Napasku masih terengah-engah, terperangkap di antara kata-kata menakutkan notifikasi dan tatapan Dito yang penuh kekhawatiran. Di kantin yang riuh, suara-suara obrolan dan dentingan sendok beradu terasa memudar, digantikan oleh detak jantungku sendiri yang berpacu liar. Notifikasi terbaru berbunyi: "Peringatan: Selama acara perayaan kelulusan besok malam di aula sekolah, sistem keamanan akan diretas. Terjadi kericuhan besar yang menyebabkan puluhan luka-luka. Jangan memberitahu siapa pun. Matikan semua sistem elektronik aula."

Notif untuk Naya

"Dito," bisikku, suaraku nyaris tak terdengar. "Ini… ini gila."

Dito mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya tajam. "Aku tahu. Puluhan luka-luka? Itu bukan lagi soal ujian kimia atau dompet yang hilang." Dia mengusap wajahnya. "Notifikasi selalu memberimu pilihan, Nay. Tapi kali ini, pilihanmu adalah antara bertindak atau membiarkan tragedi terjadi."

"Tapi perintahnya… 'Jangan memberitahu siapa pun'," ucapku, seolah mengulang mantra. Tanganku gemetar, ponselku hampir terlepas dari genggamanku. "Jika aku melanggarnya, bagaimana jika itu malah memperburuk keadaan? Bagaimana jika Notifikasi memang punya alasan?"

"Dan bagaimana jika Notifikasi berbohong?" Dito membalas, nadanya tegas. "Atau setidaknya, tidak memberi kita gambaran utuh. Pikirkan, Nay. Kau pernah memilih untuk diam soal data OSIS, dan Mira yang menanggung dampaknya. Sekarang, skala bahayanya jauh lebih besar."

Kata-kata Dito menghantamku seperti cambuk dingin. Mira. Ya. Aku tidak akan membiarkan peristiwa serupa menimpa orang lain, apalagi dengan taruhan yang begitu besar. Rasa bersalah atas kejadian Mira masih menggerogoti. Aku sudah merasakan konsekuensi pahit dari keputusan diam.

"Kita tidak bisa diam," kataku, kini lebih yakin. "Tidak untuk ini. Aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku jika sesuatu terjadi pada siapa pun."

Dito mengangguk, sorot matanya sedikit melembut. "Bagus. Itu keputusan yang benar. Tapi kita juga tidak bisa sembarangan. Jika kita hanya berteriak 'bahaya' tanpa bukti, mereka akan menganggap kita gila. Apalagi setelah blog sampah itu menuduhmu sebagai dalang."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanyaku. Aku merasa sedikit lega karena tidak sendirian memikul beban berat ini.

"Kita harus mencari tahu siapa di balik ini. Dan kita butuh bantuan," Dito menjawab. Dia menatapku lurus. "Mira."

Aku tersentak. "Mira? Tapi… dia masih marah padaku. Aku melukai perasaannya."

"Justru itu. Kita perlu dia. Dia yang paling tahu tentang acara kelulusan, dia aktif OSIS, dia protektif," Dito menjelaskan. "Lagipula, kita tidak punya waktu untuk bersembunyi lagi. Kita tidak bisa bergerak sendiri dalam situasi seperti ini. Kepercayaan adalah satu-satunya senjata kita sekarang."

Aku memikirkannya sejenak. Dito benar. Mira mungkin marah, tapi dia adalah sahabat terbaikku. Dan dia berhak tahu kebenaran, terutama setelah semua yang dia alami.

"Ayo," kataku, bangkit. "Kita cari Mira."

Kami menyusuri koridor, suasana kantin yang riuh pelan-pelan kembali ke telingaku, namun kini terasa asing. Aku mencari Mira di tempat-tempat favoritnya, berharap dia tidak mengunci diri di suatu tempat yang tak terjangkau. Akhirnya, kami menemukannya di perpustakaan, di pojok yang paling sepi, dengan kepala tertunduk di atas buku. Dia terlihat lelah, sorot matanya yang biasanya ceria kini meredup.

"Mira," panggilku pelan.

Dia mendongak, matanya melebar saat melihatku. Ada campuran rasa sakit dan amarah di sana. "Ngapain kalian di sini?" suaranya dingin, nyaris tanpa emosi. "Belum puas bikin aku jadi bahan omongan?"

Aku merasa hatiku teriris. "Mira, aku minta maaf. Sungguh. Aku tahu aku salah. Aku pengecut karena tidak jujur padamu." Aku meraih tangannya, tapi ia menariknya. "Tapi ini bukan tentang masalah kita lagi. Ini soal yang jauh lebih besar."

Dito maju selangkah. "Mira, kami tahu kau marah. Naya memang salah karena menyimpan rahasia. Tapi ada hal yang terjadi, dan ini menyangkut keselamatan semua orang di sekolah. Terutama besok malam."

Mira melirik Dito, lalu kembali padaku, tatapannya menantang. "Apa lagi? Mau bilang kalian punya 'intuisi' lagi? Atau 'firasat' yang entah dari mana? Aku capek, Nay. Ca pek."

Aku menghela napas, lalu menunjukkan ponselku kepadanya. Notifikasi itu masih menyala di layar, kata-kata ancaman terpampang jelas.

Mira membaca pesan itu, ekspresinya berubah dari marah menjadi kaget, lalu menjadi pucat pasi. Matanya terpaku pada kata-kata "puluhan luka-luka" dan "perayaan kelulusan besok malam". Dia, sebagai salah satu panitia inti, pasti tahu betapa penting dan besar acara itu.

"Apa… apa maksudnya ini?" Dia menatapku, suaranya bergetar. "Ini… apa lagi, Nay? Ini bukan lelucon, kan?"

"Bukan. Ini yang selama ini kurahasiakan darimu," kataku, berusaha menahan air mata. "Notifikasi dari… entah siapa. Dia tahu apa yang akan terjadi. Awalnya hal kecil, lalu data OSIS, dan sekarang ini. Aku tidak bisa diam. Terutama setelah apa yang terjadi padamu."

Mira menatapku, lalu ke Dito, lalu kembali ke ponselku. Dia mencerna semua informasi itu, beban berat terasa membebani pundaknya. Dia yang vokal dan protektif, yang selalu tahu apa yang harus dilakukan, kini tampak kebingungan.

"Notifikasi ini bilang jangan memberitahu siapa pun," Mira berbisik, seolah teringat bagian penting dari pesan itu. "Tapi kalian… kalian akan memberitahu?"

"Kita tidak punya pilihan," Dito menyela. "Tapi kita juga tidak bisa langsung lapor. Bayangkan jika Notifikasi memang punya alasan untuk diam, dan orang yang meretas sistem itu tahu kita tahu. Kita butuh bukti, Mira. Kita butuh rencana. Kita butuh kau."

Mira terdiam lama, raut wajahnya masih antara skeptis dan takut. Dia pasti sedang bergulat dengan perasaannya, antara marah padaku dan instingnya untuk melindungi teman-temannya.

Akhirnya, dia mengangkat wajah, matanya yang tadi meredup kini terlihat ada api kecil. "Baik. Aku akan bantu. Tapi… tidak ada lagi rahasia. Aku tidak mau lagi jadi yang terakhir tahu. Aku tidak mau lagi jadi tumbal kebodohan orang lain."

"Tidak akan," janjiku, suaraku tulus. "Aku bersumpah."

Dito mengangguk setuju. "Kita akan hadapi semua ini bersama."

Mira menghela napas, seolah melepaskan sebagian beban. "Jadi, apa rencana kita? Besok malam itu… cuma tinggal satu hari lagi."

Kami bertiga memutuskan untuk berkumpul lagi setelah jam sekolah berakhir, di tempat yang lebih aman dan sepi: rumah Dito. Di sana, dikelilingi perangkat komputernya yang canggih dan tumpukan buku, kami mulai menyusun strategi. Udara di kamar Dito terasa dingin, kontras dengan suhu tubuhku yang panas karena kegelisahan.

"Oke, jadi Notifikasi bilang keamanan diretas, kericuhan besar, puluhan luka-luka," Dito memulai, mengetikkan poin-poin penting di layar laptopnya. "Dan perintah untuk mematikan semua sistem elektronik aula. Ini penting. Kalau kita matikan begitu saja tanpa tahu kenapa, bisa-bisa malah jadi penyebab kericuhan."

"Betul. Kita harus tahu apa yang akan diretas," Mira menimpali, menunjukkan pengetahuannya soal seluk-beluk sekolah. "Sistem keamanan aula kita itu terintegrasi dengan listrik, suara, bahkan proyektor. Kalau diretas, bisa jadi mati lampu mendadak, atau suara aneh, atau bahkan proyektor menampilkan hal yang tidak-tidak. Itu pasti akan memicu kepanikan."

"Dan blog anonim yang menuduhmu itu juga kemungkinan besar ada hubungannya," tambah Dito, menatapku. "Setelah Notifikasi soal kebocoran data OSIS, lalu Mira diserang, dan sekarang ancaman ini? Polanya jelas."

Aku teringat ceramah Pak Rudi. "Pak Rudi bilang, sumber informasi itu penting. Kalau kita tahu dari mana semua ini berasal, mungkin kita bisa menghentikannya dari akarnya."

"Aku sudah mencoba melacak IP blog itu," Dito menjelaskan, menunjuk peta digital di layarnya. "Satu alamat mengarah ke luar negeri, pakai VPN. Tapi ada satu lagi yang mencurigakan, mengarah ke kafe internet 'Cyberia' dekat sekolah kita."

"Cyberia?" Mira mengernyit. "Aku tahu kafe itu. Banyak anak sekolah sering main di sana."

"Nah, itu celah pertama kita," Dito melanjutkan. "Aku bisa mencoba mencari jejak digital lain dari alamat IP itu. Mungkin ada kebiasaan browsing, atau akun yang terhubung, atau bahkan malware yang ditinggalkan di komputer kafe itu. Itu akan jadi jejak samar pertama kita."

"Aku akan membantu dengan informasi sekolah," kata Mira, mengambil ponselnya. "Aku akan cek jadwal penggunaan aula, siapa saja yang punya akses ke sistem keamanan, dan siapa yang terlibat dalam persiapan acara kelulusan besok. Raka... dia pasti terlibat, kan?"

"Pasti," kataku. Raka adalah senior populer yang ambisius, selalu ingin berada di pusat perhatian.

Aku tahu tugasku. Aku harus kembali melihat Notifikasi itu dari sudut pandang yang berbeda. Apakah ada detail yang terlewat? Pola dalam kata-katanya? Aku membuka log Notifikasi yang kubuat bersama Dito. Notifikasi itu selalu lugas, tak beremosi, tapi kali ini… ada nuansa perintah yang lebih mutlak. "Jangan memberitahu siapa pun."

Dito mulai mengetik dengan kecepatan tinggi, jari-jarinya menari di atas keyboard. Layarnya penuh dengan barisan kode dan peta jaringan. Mira sibuk menelepon beberapa teman OSIS, mencoba mengumpulkan informasi secara tidak langsung. Aku hanya bisa membaca ulang notifikasi terakhir, mencoba meresapi setiap kata.

Waktu terasa berlalu begitu cepat. Malam itu, kami bekerja tanpa henti. Dito sesekali menggumamkan istilah teknis, sementara Mira sesekali terkesiap mendengar informasi yang ia dapat. Aku berusaha menenangkan diriku, fokus pada tugas membaca pola.

"Ditemukan!" Dito berseru tiba-tiba, membuatku dan Mira terlonjak kaget. "Ada jejak digital samar, Nay. Dari IP yang ke Cyberia, aku menemukan pola akses ke sebuah situs forum hacker lokal. Dan yang lebih aneh, ada akun yang aktif di sana, menggunakan nama samaran 'Shadow Weaver'."

"Shadow Weaver?" Mira mengulang, alisnya bertaut. "Pernah dengar?"

Dito menggeleng. "Tidak familiar. Tapi akun ini aktif membahas celah keamanan di sistem sekolah kita, bahkan beberapa postingan terakhirnya membahas detail sistem aula."

Perasaan aneh merayapi tulang punggungku. "Jadi… peretasnya memang punya informasi detail tentang sekolah?"

"Sangat detail," Dito menegaskan. "Dan ini yang paling mengejutkan. Akun 'Shadow Weaver' ini sempat berkomunikasi secara pribadi dengan sebuah akun lain di forum itu, beberapa hari yang lalu."

"Siapa?" tanyaku, napasku tertahan. Aku merasakan firasat buruk.

Dito memutar monitornya ke arah kami, menunjukkan tangkapan layar percakapan forum. Di satu sisi adalah "Shadow Weaver". Di sisi lain, sebuah nama pengguna yang kukenal terlalu baik.

"Yang ini…" Dito menunjuk ke nama pengguna kedua di percakapan itu, matanya melebar karena terkejut. "Ini akun yang sama dengan admin blog anonim yang menuduhmu, Nay."

Aku menatap layar. Darahku seolah mengering. Itu bukan hanya admin blog. Nama pengguna itu… itu adalah nama samaran yang sangat spesifik. Nama samaran yang selalu digunakan Raka di beberapa forum game online yang sempat ia perlihatkan kepadaku dulu, saat kami masih berteman baik di awal masuk sekolah.

Raka. Dia tahu. Dia terlibat. Bukan hanya menyebarkan data, tapi dia juga tahu tentang peretasan besok malam. Dan dia punya hubungan dengan "Shadow Weaver" itu.

Di tengah keheningan, notifikasi di ponselku kembali bergetar. Bukan Notifikasi dari Naya (2035). Kali ini, notifikasi lain. Dari grup obrolan OSIS.

Mira membukanya. Sebuah pesan singkat dari Raka. "Semua persiapan acara kelulusan besok malam sudah 100% aman. Sistem keamanan sudah diperiksa berlapis. Jangan khawatir."

Sebuah jebakan. Raka tahu. Dia berbohong. Dia menutupi sesuatu.

Aku merasa dingin. Aku menatap Dito, lalu Mira. Pilihan kami tidak lagi hanya melawan Notifikasi. Kami juga melawan seseorang yang kami kenal. Seseorang yang licik dan berbahaya.

Dan besok malam adalah acara kelulusan. Waktu kami semakin menipis. Aku harus membuat keputusan. Aku harus menghadapinya.

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 14 - Pencarian Pengirim"