Notif untuk Naya - Bab 15 - Konfrontasi Sekolah
Dinginnya fakta bahwa Raka terlibat
masih mencengkeramku, jauh lebih kuat daripada embun pagi yang menempel di
jendela kamarku. Malam sebelumnya, di kamar Dito, kami semua terdiam setelah
mengetahui nama samaran Raka terpampang di tangkapan layar percakapan forum
hacker. Pengkhianatan semacam itu terasa seperti pukulan langsung ke ulu hati.
Aku tak menyangka ia akan sebegitu kejamnya, setelah segala yang kami
lalui—walau kami sudah lama tak dekat seperti dulu.
📱 Notif untuk Naya
Klik salah satu bab di bawah ini untuk mulai membaca kisahnya.
"Jadi, kita sudah tahu siapa
dalangnya," suara Dito memecah keheningan yang tebal di antara kami.
Wajahnya tampak lelah, namun sorot matanya tetap tajam. "Tapi masalahnya,
bagaimana kita membuktikan bahwa Raka adalah 'admin blog' sekaligus kaki tangan
'Shadow Weaver' tanpa mengungkapkan Notifikasi?"
Mira menghela napas, menyandarkan
punggungnya ke dinding. "Itu yang sulit. Sejauh ini, semua jejak yang Dito
temukan mengarah ke Raka, tapi semuanya samar. Bukan bukti hukum yang
kuat."
Aku merasakan kepalaku berdenyut.
"Dan dia sudah bersiap. Pesan di grup OSIS tadi malam, yang bilang sistem
keamanan aman seratus persen. Itu jelas usahanya untuk meyakinkan semua orang
agar lengah."
"Persis," Dito menimpali.
"Ia sengaja menenangkan kita, agar kita tidak curiga. Tapi ia tidak tahu
kalau kita sudah selangkah lebih maju."
"Tapi kita tidak bisa
memberitahu pihak sekolah secara langsung," kataku. "Mereka pasti
akan bertanya dari mana kita tahu. Aku tidak mau menjelaskan tentang
Notifikasi. Apalagi setelah semua tuduhan gila tentang aku yang menyebarkan
gosip."
Mira menatapku dengan simpati.
"Aku tahu, Nay. Dan aku minta maaf lagi soal itu. Aku percaya padamu
sekarang." Kata-katanya sungguh menghangatkan, sedikit meredakan beban di
pundakku.
"Terima kasih, Mira,"
ucapku tulus. "Tapi bagaimana? Waktu kita makin menipis. Acara kelulusan
besok malam."
Dito menggaruk tengkuknya.
"Kita harus menghadapinya secara langsung. Tapi bukan dengan tuduhan yang
bisa ia sangkal begitu saja. Kita butuh jebakan."
"Jebakan?" Mira
mengerutkan kening.
"Ya," Dito menegaskan.
"Kita tahu dia berkomunikasi dengan Shadow Weaver. Kita tahu dia tahu
celah keamanan aula. Kita harus memaksanya menunjukkan tangannya sendiri.
Mungkin di depan banyak orang."
Aku merinding membayangkannya.
"Maksudmu… konfrontasi publik?"
Dito mengangguk berat.
"Panggung adalah tempat terbaik untuk membongkar kebohongan, Nay. Terutama
kalau pelakunya suka jadi pusat perhatian."
Perutku langsung melilit.
Konfrontasi publik adalah skenario terburuk yang bisa kubayangkan. Aku bukan
tipe orang yang suka jadi sorotan. Tapi Dito benar. Raka adalah orang yang
ambisius, yang selalu ingin terlihat sempurna. Menariknya ke tengah panggung
mungkin satu-satunya cara.
"Oke," kataku, mencoba
menguatkan diri. "Apa rencananya?"
Dito mengambil napas panjang.
"Mira, kau harus mencari tahu detail tentang sistem keamanan aula dari
sisi OSIS. Siapa saja yang punya akses utama, bagaimana alur pelaporannya,
adakah celah yang diketahui. Lalu, sebarkan informasi palsu secara halus di
kalangan panitia bahwa ada 'masalah teknis kecil' dengan proyektor, sesuatu
yang tidak akan menimbulkan kepanikan, tapi cukup membuat Raka ingin
memeriksanya sendiri."
Mira mengangguk, matanya berbinar.
"Paham. Jadi, aku harus memancingnya agar datang melihat 'kerusakan'
itu."
"Tepat," Dito
melanjutkan, menatapku. "Nay, kau yang akan menghadapinya. Saat Raka
datang untuk mengecek 'kerusakan' itu, kau harus menemuinya. Tanyakan padanya
tentang blog sampah dan tuduhan-tuduhan yang ia sebarkan. Dan perhatikan reaksinya."
"Tapi itu tidak akan
cukup," ujarku, rasa gentar mulai menyusup. "Dia akan
menyangkal."
"Di sana peranku," Dito
tersenyum tipis. "Aku akan mencoba memantau jaringannya di sekolah. Jika
ia mencoba masuk ke sistem aula saat berada di sana, aku bisa mendeteksi
aktivitas mencurigakan. Jika ia panik atau terpojok, mungkin ia akan melakukan
kesalahan. Aku akan membackup percakapan kalian dengan rekaman suara atau video
dari jauh."
Ide Dito terdengar berisiko, namun
juga penuh harapan. Satu hal yang aku tahu, Raka takkan pernah mengakui
kesalahannya begitu saja. Dia akan menyerang balik.
Hari itu, suasana di sekolah terasa
berbeda. Setiap langkah terasa berat, setiap tatapan serasa menghakimi.
Bisikan-bisikan terdengar saat aku berjalan di koridor—tentang blog anonim,
tentang Mira yang sempat jadi korban, dan entah apa lagi. Raka, di sisi lain,
tampak berseri-seri, melambaikan tangan kepada teman-temannya di kantin seolah
tak ada beban. Kemunafikan orang itu membuatku muak.
Di jam istirahat kedua, Mira
memberiku isyarat. "Sudah. Aku sudah sebarkan isu kalau proyektor aula
sering mati sendiri kalau dipakai terlalu lama. Bilang kalau panitia sudah coba
perbaiki tapi kadang kambuh lagi. Raka bilang ia akan mengeceknya nanti di
sela-sela rapat OSIS."
Jantungku berdebar kencang. Ini
dia.
Aku menuju aula sekolah, kakiku
terasa seperti timah. Di depannya, di lorong dekat pintu masuk, sudah ada Raka,
berdiri bersama beberapa temannya. Mereka sedang tertawa-tawa. Begitu
melihatku, tawa Raka mereda, digantikan oleh senyum sinis.
"Wah, wah. Lihat siapa
ini," ia menyapa, nada suaranya seperti sirup yang menetes lambat.
"Naya yang biasanya sibuk dengan kamera bututnya. Tumben jalan-jalan tanpa
paparazzi-mu." Ia menyindir Dito dan Mira.
Aku berusaha mengabaikan kata-kata
provokatifnya. "Raka, aku mau bicara," kataku, berusaha menjaga
suaraku tetap stabil. Aku merasa pandangan beberapa siswa lain mulai teralih
pada kami.
"Oh? Bicara apa?" Raka
mengangkat alisnya, berpura-pura tertarik. Teman-temannya tertawa pelan.
"Aku tidak punya banyak waktu untuk gosip murahan. Banyak pekerjaan
penting untuk acara kelulusan."
"Ini bukan gosip,"
balasku, sedikit menaikkan volume suaraku. "Ini tentang kebohongan yang
kau sebarkan, Raka."
Senyum Raka lenyap. Wajahnya
mengeras. "Maksudmu apa? Jangan sembarangan bicara, Naya. Aku sibuk
membantu acara sekolah, tidak sepertimu yang mungkin punya banyak waktu luang
untuk membuat drama."
"Drama?" Aku merasakan
darahku mendidih. "Kau menuduhku menyebarkan kebocoran data OSIS, Raka.
Kau membuat Mira jadi bahan cemoohan. Dan sekarang, kau tahu ada ancaman
peretasan sistem di acara kelulusan, tapi kau tetap diam! Bahkan kau mengirim
pesan ke grup OSIS untuk meyakinkan semua orang kalau semuanya aman!"
Wajah Raka berubah pucat, tapi ia
cepat menguasai diri. Ia terkekeh sinis. "Hah? Apa yang kau katakan? Aku
tidak tahu apa-apa soal peretasan itu. Dan soal data OSIS, aku hanya mengutip
apa yang ramai dibicarakan. Siapa yang percaya omongan tukang gosip
sepertimu?"
"Kau yang menyebarkan blog
anonim itu, kan?" Aku maju selangkah. "Aku tahu itu kau, Raka. Nama
samaranmu di forum hacker… 'Ace Player'. Kau kira aku tidak tahu?"
Raka tertawa keras, tapi ada
kegugupan di matanya. "Hacker? Naya, kau ini terlalu banyak menonton film.
Aku tidak tahu apa-apa soal hacker atau forum itu. Dan soal 'Ace Player'? Itu
nama samaran gameku dari dulu. Kebetulan saja. Kau mencari-cari alasan untuk
menyalahkan orang lain atas reputasimu sendiri yang buruk."
Para siswa yang tadinya hanya
berbisik, kini mulai mendekat, tertarik pada keributan ini. Aku bisa merasakan
pandangan mereka menusukku, seolah aku memang dalang dari semua kekacauan.
"Jangan mengelak, Raka!"
Aku merasa suaraku meninggi, putus asa. "Kau punya koneksi dengan 'Shadow
Weaver'. Kau tahu tentang celah keamanan di aula. Kau akan menyabotase acara
kelulusan besok!"
"Tuduhan tidak berdasar!"
Raka balas membentak, menunjukkan keahliannya dalam memutarbalikkan fakta di
depan umum. Ia menatap siswa-siswa di sekitarnya. "Teman-teman, kalian
dengar sendiri? Naya ini sudah gila. Dia menuduhku yang tidak-tidak. Dia
mencoba merusak reputasiku, mungkin karena dia iri aku terpilih jadi ketua
panitia acara kelulusan."
"Bukan!" aku berteriak,
air mata sudah menggenang di mataku karena frustrasi. "Aku tidak iri! Aku
hanya ingin menyelamatkan kalian semua dari bahaya yang akan kau buat!"
"Bahaya?" Raka tertawa
lagi, tawa yang penuh penghinaan. "Kau mau bilang aku ini peretas? Aku ini
penjahat? Aku yang sudah kerja keras untuk sekolah? Justru aku merasa kau ini
punya motif tersembunyi, Naya. Dari mana kau tahu detail 'celah keamanan' atau
'Shadow Weaver' itu? Jangan-jangan, kau sendiri yang merencanakan semua dan
sekarang mencoba mengkambinghitamkan aku!"
Kata-kata Raka menghantamku telak.
Tiba-tiba semua mata tertuju padaku, bukan lagi dengan rasa penasaran, tapi
dengan kecurigaan. Bisikan-bisikan kembali terdengar, lebih keras dari
sebelumnya.
"Dia kan memang sering tahu
hal-hal aneh," kata salah seorang siswa.
"Iya, pas bocoran data OSIS juga dia yang pertama tahu," timpal yang
lain.
"Jangan-jangan dia benar-benar hacker-nya?"
Aku merasa dunia berputar. Raka
berhasil memutarbalikkan keadaan. Ia menjadikan aku penjahat, dan dirinya
pahlawan yang diserang. Pandangan mata itu, bisikan-bisikan itu, seolah-olah
aku memang yang bersalah. Aku mencari Mira dan Dito, tapi mereka tidak terlihat.
Aku sendirian menghadapi ini.
Raka tersenyum puas, melirikku
dengan kemenangan di matanya. "Naya, kau keterlaluan. Aku tidak akan
membiarkan tuduhan tak berdasar ini begitu saja. Aku akan laporkan ini ke guru.
Mencoba menyabotase acara kelulusan dan menyebar fitnah keji."
Pikiranku kosong, hancur. Aku tidak
bisa bicara. Aku tidak bisa membela diri. Kata-kata Raka meracuni pikiran semua
orang, mengikis sedikit kepercayaan yang mungkin masih ada padaku. Notifikasi
itu… lagi-lagi ia membuatku diam, membiarkanku dihujani tuduhan palsu.
Ketika semua orang memandangku
dengan curiga dan Raka melenggang pergi dengan senyum kemenangan, Dito muncul
dari balik kerumunan. Wajahnya menunjukkan kemarahan, tapi juga kekhawatiran.
Ia menggenggam ponselnya di tangannya.
"Aku merekam semuanya,
Nay," bisiknya, suaranya tercekat. "Tapi ini tidak cukup. Dia terlalu
pintar. Kata-katanya sangat hati-hati."
Aku menatap ponsel di tangan Dito,
lalu ke Raka yang kini sudah jauh di ujung koridor, merayakan kemenangannya
dengan teman-temannya. Ia baru saja menghancurkan reputasiku, membuatku menjadi
dalang di mata teman-temanku. Dan besok malam, ia akan melancarkan rencananya
yang sesungguhnya.
Bagaimana ini? Notifikasi itu
menyuruhku diam, Raka memperingatkan agar tidak ada yang tahu. Dan sekarang,
aku sudah kehilangan kepercayaan publik. Kami sudah kehilangan satu-satunya
senjata: kredibilitas. Tanpa itu, bagaimana kami bisa menyelamatkan acara
kelulusan besok malam?
Aku menatap Dito, mataku berlinang.
"Dia… dia berhasil. Dia membuatku jadi penjahat."
Dito menghela napas, menatapku
dengan tatapan yang penuh rasa sakit dan frustrasi. "Ini akan lebih sulit
dari yang kita kira, Nay. Jauh lebih sulit."
Aku terdiam, hatiku mencelos. Di
tengah keramaian sekolah yang bising, aku merasa seolah terbuang ke dalam ruang
hampa, sendirian dan tak berdaya. Acara kelulusan sudah di ambang mata. Dan
kini, aku bukan lagi pembawa peringatan, melainkan tertuduh utama. Masa depan
kelulusan seluruh angkatan, dan mungkin nyawa teman-temanku, kini ada di
tanganku yang gemetar, tanpa siapa pun yang percaya. Ini adalah perang yang
sangat tidak adil.
Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 15 - Konfrontasi Sekolah"
Posting Komentar