Notif untuk Naya - Bab 21 - Konsekuensi
Pagi itu, seolah energi fajar yang
baru menyingsing belum sepenuhnya mampu mengusir kegelapan dari benakku.
Keputusan yang harus kuambil terasa begitu berat, menggantung di udara seperti
awan mendung yang siap menumpahkan badai. Aku memandangi ponselku, tautan biru
yang menjanjikan keselamatan jutaan nyawa dengan imbalan kebebasanku seolah
mengedipkan mata, memancing.
📱 Notif untuk Naya
Klik salah satu bab di bawah ini untuk mulai membaca kisahnya.
“Naya, kau sudah siapkan apa yang
akan kau sampaikan?” suara Mira memecah lamunanku. Dia dan Dito sudah berdiri
di ambang pintu kamarku, siap berangkat ke sekolah. Mereka tampak lelah, sama
sepertiku, namun tekad di mata mereka tak pudar.
Aku menarik napas dalam. “Sudah.
Aku akan fokus pada data limbah, laporan keluhan warga, dan manipulasi sensor
lingkungan yang Dito temukan. Aku tidak akan menyebut tentang Notifikasi itu
secara langsung.”
Dito mengangguk. “Itu strategis.
Kita tidak mau Pak Rudi menganggap kita aneh sejak awal. Kita perlu dia di
pihak kita.”
Perjalanan ke sekolah terasa begitu
panjang, diiringi keheningan yang sarat akan pikiran masing-masing. Di dalam
kepala, aku terus menyusun ulang kalimat-kalimat yang akan kuucapkan pada Pak
Rudi. Setiap kata harus tepat, persuasif, dan cukup meyakinkan untuk membelah
dinding skeptisisme. Jantungku berdebar tidak karuan saat kami sampai di depan
ruang guru. Aku bisa merasakan tatapan beberapa siswa yang melintas,
bisikan-bisikan tentang Raka masih menghantui. Reputasiku memang hancur, namun
saat ini, itu bukan hal terpenting.
“Oke, aku akan menunggu di
kafetaria, coba cari tahu lagi soal Raka,” ucap Mira, menepuk pundakku. Dia
memberiku senyum menguatkan sebelum berbalik pergi.
“Aku ikut kau masuk,” Dito
berbisik, berdiri di sisiku. Aku mengangguk, sedikit lega. Kehadirannya
memberiku sedikit keberanian.
Kami mengetuk pintu ruang guru.
"Masuk," sahut suara Pak Rudi dari dalam.
Saat kami masuk, Pak Rudi sedang
memeriksa beberapa tumpukan kertas di mejanya. Dia mendongak, ekspresinya
tenang seperti biasa. “Naya, Dito. Ada apa? Jarang sekali kalian kemari di jam
segini.”
Aku merasakan keringat dingin
mengalir di punggungku. “Pak Rudi… kami ingin membicarakan sesuatu yang sangat
penting. Ini… tentang sistem pengolahan limbah kota.”
Pak Rudi mengerutkan kening. Raut
wajahnya berubah serius. “Limbah kota? Ini di luar topik pelajaran kita, Naya.
Ada apa sebenarnya?”
Dito segera maju, membuka
laptopnya. “Begini, Pak. Kami menemukan beberapa anomali data. Naya, bisa kau
jelaskan konteksnya?”
Aku mengangguk, mengambil napas
dalam-dalam. “Pak, akhir-akhir ini, ada banyak keluhan warga sekitar area
pengolahan limbah. Mereka mengeluhkan bau busuk dan kualitas air yang menurun.
Kami mencoba mencari tahu, dan Dito menemukan sesuatu yang mencurigakan.” Aku
menunjuk layar laptop Dito, yang menampilkan grafik dan laporan yang sudah dia
rangkum. “Ada catatan sensor lingkungan yang seolah dimanipulasi, atau
setidaknya, ada lompatan data yang tidak wajar selama beberapa bulan terakhir.”
Pak Rudi mendekat, matanya
menelusuri data di layar laptop Dito. Dia mengambil kacamatanya, memakainya
perlahan. Keheningan terasa mencekam saat dia membolak-balik laporan yang Dito
cetak, sesekali bergumam, “Hmm… ini menarik.”
“Kami khawatir, Pak,” Dito
melanjutkan, “bahwa ada upaya menutup-nutupi masalah serius. Jika sistem
pengolahan limbah benar-benar bermasalah, dampaknya bisa sangat besar bagi kota
ini.”
Pak Rudi mendongak, menatap kami
bergantian. “Jadi, kalian menaruh perhatian pada hal ini karena keluhan warga
dan anomali data yang kalian temukan?”
“Betul, Pak,” aku mengiyakan. “Dan
kami punya alasan kuat untuk percaya bahwa ini bukan sekadar kelalaian biasa.
Kami menduga ada pihak yang sengaja memanipulasi data untuk menutupi kondisi
sebenarnya.”
Pandangan Pak Rudi beralih dari
layar laptop ke mataku. Ada keraguan di sana, tapi juga rasa ingin tahu. “Apa
yang membuat kalian sampai pada kesimpulan sejauh itu, Naya? Terlebih lagi,
kalian berani datang kepadaku dengan informasi yang begitu… sensitif.”
Aku tahu ini saatnya. Aku harus
memilih kata-kata dengan sangat hati-hati. “Pak, saya… saya punya sumber
informasi yang tidak bisa saya sebutkan, tapi sumber itu memberikan saya
petunjuk awal tentang masalah ini. Petunjuk itu begitu spesifik, sampai saya
merasa harus memeriksanya. Dan apa yang kami temukan… sangat mengkhawatirkan.”
Aku tidak menyebut ‘Notifikasi’, tapi ‘sumber informasi’ sudah cukup untuk
menjelaskan dorongan awalku.
Pak Rudi bersandar di kursinya,
menghela napas panjang. “Sumber informasi yang tidak bisa disebutkan… Naya,
kamu tahu risiko bermain-main dengan informasi yang tidak diverifikasi, apalagi
yang melibatkan insfrastruktur publik.”
“Kami tahu, Pak. Itu sebabnya kami
datang kepada Bapak,” Dito menimpali. “Bapak punya pengalaman dan koneksi. Jika
ada yang bisa membantu memverifikasi hal ini secara resmi, itu adalah Bapak.
Kami hanya punya data mentah dan kekhawatiran kami.”
Pak Rudi terdiam sejenak, menatap
ke luar jendela. Aku bisa melihat proses berpikirnya, menimbang-nimbang.
“Mengingat apa yang terjadi di OSIS, dan gosip yang beredar tentangmu, Naya…
ini sungguh berani.”
“Reputasi saya tidak penting
sekarang, Pak,” kataku, suaraku mantap. “Yang penting adalah… jika ada potensi
bencana, kita harus mencegahnya. Saya tidak bisa membiarkan begitu saja.”
Pak Rudi tersenyum tipis. “Baik.
Saya akan periksa. Saya punya beberapa kenalan di dinas terkait, juga di
beberapa komunitas lingkungan yang cukup vokal. Saya bisa mencoba menyaring
informasi ini melalui jalur yang lebih resmi. Tapi… saya tidak bisa menjanjikan
apa pun.”
“Terima kasih banyak, Pak!” ucapku,
lega.
“Ada satu hal lagi, Pak,” Dito
menambahkan. “Waktunya sangat terbatas. Berdasarkan analisis kami, jika masalah
ini tidak segera ditangani, dalam tiga hari ke depan, dampaknya bisa jadi tak
terhindarkan.”
Wajah Pak Rudi kembali tegang.
“Tiga hari? Kalian yakin?”
Aku mengangguk. Notifikasi itu
memberi kami waktu 72 jam. “Kami yakin, Pak.”
“Baiklah,” Pak Rudi berdiri,
mengambil ponselnya. “Saya akan mulai bergerak. Kalian kembali ke kelas, dan
jangan bicarakan hal ini pada siapa pun. Biar saya yang urus. Naya, Dito…
terima kasih atas keberanian kalian.”
Saat kami keluar dari ruang guru,
aku merasakan beban di pundakku sedikit terangkat. Setidaknya, kami sudah
menempatkan bola di tangan orang yang tepat. Namun, ketegangan itu belum
sepenuhnya hilang.
“Kita berhasil meyakinkan Pak
Rudi!” Dito berbisik, menyeringai.
“Ini baru langkah pertama,” aku
mengingatkan. “Notifikasi itu menuntut kita untuk menyerahkan kendali penuh.
Kita menolak. Sekarang, kita harus membuktikan bahwa jalan kita lebih baik.”
Tiba-tiba, ponselku bergetar.
Sebuah notifikasi baru muncul. Bukan dari Naya (2035), melainkan sebuah pesan
teks dari nomor tidak dikenal. Isinya singkat, dingin, dan mengancam: “Kau
pikir kau bisa mengelabui takdir, Naya? Kau akan menyesal memilih jalanmu
sendiri. Bencana akan datang, dan kau akan menyalahkan dirimu sendiri. Ingat,
Raka dan Pak Wisnu mengawasi.”
Jantungku mencelos. Tangan dingin
itu… mereka tahu. Mereka tahu kami telah bergerak. Ancaman yang mengerikan itu…
itu bukan hanya menakutiku, tetapi juga membuktikan bahwa Notifikasi itu
mungkin bukan satu-satunya ancaman di sini. Aku melihat Dito, matanya
memancarkan kekhawatiran yang sama.
Ini bukan lagi pertarungan melawan
takdir. Ini adalah perang. Perang melawan Naya (2035), melawan Raka, melawan
Pak Wisnu. Dan waktu terus berdetak. Kami telah memilih jalan kami, dan
konsekuensinya baru saja dimulai. Aku menatap pesan itu, lalu langit biru di
atas. Aku telah menolak perintah buta, dan dunia seolah merespons dengan
tantangan yang lebih besar.
Aku tidak tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya, tetapi aku tahu satu hal: aku tidak akan mundur. Tidak
lagi. Aku akan berjuang dengan cara kami, dengan akal dan hati, sampai akhir.
Pertanyaannya, apakah itu akan cukup? Dan apakah Dito dan Mira, serta Pak Rudi,
akan selamat dari badai yang baru saja kami picu?
Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 21 - Konsekuensi"
Posting Komentar