Notif untuk Naya - Bab 18 - Pengkhianatan

notif untuk naya

Ponsel Dito yang bergetar tadi malam, mengeluarkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal, terasa seperti gong tanda dimulainya babak baru yang lebih gelap. Ruangan kamarku, yang tadinya dipenuhi semangat penyelidikan, kini terkesan mencekam. Udara dingin di luar seakan menyusup masuk, menambah ketegangan di antara kami bertiga.

Notif untuk Naya

"Pesan apa?" Mira bertanya, suaranya pelan, seolah takut mengganggu konsentrasi Dito yang masih menatap layar.

Dito membaca ulang, lalu mengangkat wajahnya yang pucat. "Dia tahu kita sedang mencari. Dia akan coba mengalihkan perhatianmu dengan isu lama."

"Dia siapa? Raka?" tanyaku, jantungku berdegup kencang.

Dito mengangguk, rahangnya mengeras. "Pasti dia. Siapa lagi yang tahu kita sedang mengorek-ngorek?"

Mira mendengus. "Beraninya dia. Setelah semua yang terjadi."

"Bukan itu yang penting sekarang," sahut Dito, menggelengkan kepala. "Yang penting adalah: 'isu lama' apa? Dan bagaimana dia tahu kita mencari? Apakah dia memata-matai kita?"

Pertanyaan Dito menggantung di udara, membuat kami bertukar pandang. Ada perasaan tidak nyaman menyergap. Siapa yang bisa memata-matai kami? Kami tidak membahas pencarian ‘kunci utama’ ini di tempat umum, hanya di kamarku.

"Mungkin dia punya mata-mata di sekolah, atau… di luar sekolah," Mira berspekulasi. "Raka punya banyak kenalan, bahkan di kalangan alumni."

Aku mengingat lagi semua yang sudah kami lalui. Notifikasi. Kepercayaan yang runtuh. Reputasiku yang hancur. Ini semua karena Raka, dan mungkin, karena Notifikasi yang memanipulasiku. Sekarang, Raka tahu kami sedang mengejarnya. Situasinya jauh lebih rumit daripada sekadar menemukan kunci.

"Kalau 'isu lama'… yang mana?" kataku. "Ada banyak hal yang bisa Raka pakai untuk menyerangku lagi. Kebocoran data OSIS yang kututup-tutupi? Atau gosip yang disebarkan Raka sendiri? Atau statusku sebagai 'pengkhianat' karena mengaku mengikuti Notifikasi?"

"Semua itu mungkin," Dito mengakui, mulai mengetik sesuatu di laptopnya. "Tapi 'mengalihkan perhatian'. Dia tidak akan hanya menyerangmu lagi dengan hal yang sama. Dia akan melakukannya secara strategis, untuk membuat kita mengabaikan pencarian 'kunci utama'."

"Berarti 'kunci utama' di perpustakaan kota memang sesuatu yang sangat penting baginya," tambah Mira. "Kalau tidak, kenapa Raka sampai panik?"

Aku berdiri, berjalan ke arah jendela, menatap malam yang pekat. Dingin di luar seolah masuk ke dalam hati. "Kita tidak bisa lengah. Kita harus tetap mencari 'kunci utama'. Kita juga harus mencari tahu bagaimana Raka mengetahui gerakan kita."

Dito mengangguk setuju. "Aku akan coba menelusuri pesan anonim yang baru masuk ke ponselku. Mungkin ada jejak pengirimnya, meskipun kecil."

"Sementara itu, bagaimana dengan perpustakaan kota?" tanya Mira. "Kita tidak bisa begitu saja masuk dan mencari kunci dengan tulisan samar di gantungan. Itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami."

"Benar," kataku, berbalik menghadap mereka. "Kunci tersebut bukan kunci fisik biasa. Ingat, Dito bilang kemungkinan besar akses digital. Perpustakaan kota punya sistem arsip digital yang cukup maju, bukan? Aku pernah lihat Raka terlibat dalam salah satu acara mereka yang berkaitan dengan teknologi."

Dito menyipitkan mata. "Ah, kau benar. Proyek digitalisasi arsip lama. Raka pernah jadi sukarelawan di sana tahun lalu. Seingatku, ada seseorang dari tim IT sekolah yang juga sering membantu di sana. Pak Wisnu."

Nama "Pak Wisnu" terucap begitu saja, namun mendadak terasa janggal. Pak Wisnu adalah asisten admin IT sekolah kami. Ia sosok yang pendiam, selalu sibuk di balik layar, mengurus jaringan atau komputer guru yang bermasalah. Ia ramah, tapi tidak pernah terlalu dekat dengan siswa. Selama ini kami memercayainya sebagai sosok netral yang hanya menjalankan tugasnya.

"Pak Wisnu?" Mira mengulang, alisnya terangkat. "Kenapa Pak Wisnu? Maksudmu, Raka bekerja sama dengan Pak Wisnu?"

"Mungkin," jawab Dito, nadanya serius. "Pikirkan. Raka memiliki ambisi dan koneksi. Pak Wisnu punya akses ke sistem, baik di sekolah maupun di perpustakaan kota karena proyek digitalisasi itu. Jika Raka perlu akses ke sesuatu yang 'digital' di perpustakaan, Pak Wisnu bisa jadi jembatan."

Sebuah pikiran dingin merayapiku. Selama ini, kami mengira Raka adalah dalang tunggal. Tapi jika ada orang dewasa yang berwenang, orang yang selama ini kami anggap netral dan profesional, terlibat dalam skema Raka… pengkhianatan itu akan terasa jauh lebih dalam, dan berbahaya.

"Tapi kenapa Pak Wisnu mau melakukannya?" tanyaku, mencoba menyingkirkan perasaan tidak enak itu. "Dia tidak punya motif. Dia orang baik, kan?"

"Terkadang, 'motif' bisa jadi lebih dari sekadar uang atau kekuasaan," kata Dito pelan, matanya tetap tertuju pada laptop. "Bisa jadi ancaman. Bisa jadi tekanan. Atau mungkin, Raka mengetahui sesuatu tentang Pak Wisnu yang bisa dia gunakan untuk memerasnya."

Mira menggebrak meja dengan kepalan tangan kecilnya. "Itu tidak adil! Pak Wisnu itu orang yang paling tidak mencolok di sekolah. Siapa yang akan percaya kalau dia bersekongkol dengan Raka?"

"Itu justru yang membuatnya sempurna," Dito menimpali. "Dia adalah figur yang dipercaya. Tidak mencurigakan. Jika kita menuduhnya, kita akan terlihat seperti orang gila. Apalagi setelah semua tuduhan Raka terhadap Naya."

Kata-kata Dito menghantamku. Ini adalah jebakan yang sempurna. Jika kami menuduh Pak Wisnu, kami tidak hanya akan kehilangan kredibilitas, tapi juga bisa memperkuat narasi Raka bahwa kami adalah penyebar gosip dan pemberontak.

"Jadi, kita harus mencari bukti tentang Pak Wisnu," kataku, tekadku semakin membara. Aku tidak akan lagi menjadi pion siapa pun, termasuk Notifikasi atau Raka. Aku akan menemukan kebenarannya. "Dito, bisakah kau mencari jejak digital Pak Wisnu? Mungkin ada koneksi mencurigakan dengan Raka, atau dengan server perpustakaan."

Dito mengangguk. "Itu sudah ada di daftar. Aku akan coba mencari tahu apakah ada aktivitas login yang tidak wajar dari akun Pak Wisnu di sistem sekolah, atau yang terhubung dengan arsip digital perpustakaan. Tapi ini akan butuh waktu. Sistem keamanan sekolah lumayan ketat."

"Aku akan mencoba pendekatan lain," kata Mira, suaranya kembali ke mode detektif. "Aku akan pura-pura butuh bantuan IT dari Pak Wisnu, mungkin soal komputer OSIS yang 'bermasalah'. Aku akan coba mengamati perilakunya, atau mencari tahu apakah ada yang aneh dengan meja kerjanya."

Aku mengambil kembali buku catatan kecilku. "Dan aku… aku akan memikirkan 'isu lama' yang mungkin akan Raka pakai untuk mengalihkan perhatian kita. Jika kita bisa mengantisipasi serangannya, kita mungkin punya kesempatan untuk membalasnya."

Kami kembali pada tugas masing-masing, tetapi kali ini dengan kesadaran baru tentang siapa musuh kami dan betapa rumit jaring-jaring manipulasi yang telah Raka ciptakan. Malam itu terasa panjang, dipenuhi bunyi ketikan Dito yang cepat, bisikan Mira saat ia merencanakan strateginya, dan keheningan mendalam saat aku mencoba mengurai benang kusut dalam pikiranku. Aku merasakan dinginnya pengkhianatan, bukan hanya dari Raka, tapi juga dari seseorang yang seharusnya netral.

Ketika fajar mulai menyingsing, ponsel Dito kembali bergetar. Bukan pesan dari nomor tak dikenal, melainkan notifikasi dari sebuah grup chat sekolah yang jarang aktif. Mata kami bertiga langsung tertuju ke sana.

"Grup alumni?" Dito bergumam, mengklik notifikasi tersebut.

Pesan pertama di grup itu adalah sebuah tautan ke sebuah artikel berita online lokal. Judulnya membuat darahku mendidih: Skandal Bocornya Data Siswa di SMA Bintang Jaya: Pengakuan Jujur dan Konsekuensi Berat.

Wajahku memucat. Notifikasi dari Notifikasi (2035) dan pesan anonim dari Raka, semuanya merujuk pada ini. Raka menggunakan 'isu lama' itu—kasus kebocoran data OSIS yang pernah kusembunyikan, dan pengakuanku yang berujung pada pengorbanan reputasiku. Ia memutar balikkannya, merangkainya menjadi skandal yang lebih besar, dan kali ini, ia membawanya ke ranah publik melalui media lokal yang dikendalikan oleh alumni.

Raka tidak hanya ingin mengalihkan perhatian kami. Ia ingin menghancurkanku sepenuhnya, menciptakan kekacauan yang akan membuat pencarian "kunci utama" kami terhenti. Dan dengan berita yang sudah tersebar, target kami akan semakin sulit untuk dijangkau. Kami harus bergerak. Sekarang. Tapi bagaimana caranya, dengan berita skandal tentangku sudah menjadi santapan publik? Ini bukan lagi sekadar isu di sekolah. Ini adalah serangan berskala besar.

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 18 - Pengkhianatan"