Notif untuk Naya - Bab 20 - Klimaks — Pilihan Naya

Notif untuk Naya

Jantungku masih berdebar kencang, menggema di telinga. Cahaya fajar di luar jendela kamarku terasa dingin, kontras dengan bara api yang membakar di dalam dadaku. Pesan dari Naya (2035) itu… mengunci semua perhatianku. Bukan lagi soal reputasi, bukan lagi soal Raka, melainkan tentang kehidupan. Jutaan nyawa. Aku membiarkan ponselku tergenggam erat, telapak tanganku lembap oleh keringat.

Notif untuk Naya

"Naya," Mira memanggil, suaranya lembut, tidak seberani tadi. Ia meraih tanganku, jari-jarinya dingin. "Kau baik-baik saja?"

Aku menggeleng. Baik-baik saja? Bagaimana aku bisa baik-baik saja? Dunia yang kukenal seolah runtuh, digantikan oleh bayangan bencana yang mengerikan, terikat pada satu tautan biru di layarku.

Dito menghela napas panjang. "Mira benar. Pesan itu hanya punya dua pilihan ekstrem: ikut atau hancur. Tapi tidak ada yang sehitam putih itu, Naya. Ingat, selalu ada celah."

Aku menatap mereka berdua, wajah mereka memancarkan kekhawatiran yang tulus. Rasa bersalah menyeruak. Aku telah menyeret mereka ke dalam pusaran masalah ini. "Tapi… bagaimana jika Notifikasi itu benar? Bagaimana jika aku menolaknya, dan bencana itu benar-benar terjadi? Aku… aku tidak bisa menanggung beban itu."

"Kau juga tidak bisa membiarkan dirimu dikendalikan seutuhnya," Mira membantah, nada suaranya tegas lagi. "Itu sama saja menyerahkan semua yang sudah kau perjuangkan. Kau tidak mau menjadi boneka, kan?"

"Boneka atau penyelamat jutaan orang?" Aku menarik tanganku, berdiri dan melangkah ke jendela. Kota mulai terbangun di bawah sana, lampu-lampu jalan masih menyala, kendaraan pertama mulai melintas. Mereka semua… apakah mereka akan hancur? "Apa yang lebih penting?"

Dito bangkit, menjejeriku. "Ada cara ketiga. Selalu ada. Kita harus mencarinya."

"Mencari apa?" tanyaku, putus asa. "Kita punya waktu 72 jam. Bagaimana kita bisa memverifikasi informasi tentang sistem pengolahan limbah kota yang akan gagal? Dengan reputasiku yang sudah hancur oleh berita Raka? Siapa yang akan mendengarkan kita?"

"Justru di situlah kita harus pintar," Dito memutar otaknya, keningnya berkerut. "Notifikasi itu punya informasi akurat, Naya. Terbukti. Tapi niatnya selalu manipulatif. Ia ingin kau tunduk, bukan menemukan solusi."

Mira bergabung, berdiri di sisi lainku. "Apa yang Notifikasi itu tidak inginkan kita lakukan? Ia tidak ingin kita berpikir, tidak ingin kita menyelidiki, tidak ingin kita meminta bantuan dari orang yang tepat."

"Tapi siapa orang yang tepat itu?" Aku membalikkan badan, menatap mereka. "Siapa yang akan percaya seorang siswi SMA yang baru saja diberitakan sebagai penyebar rumor dan biang onar?"

Suasana di kamar kembali hening, terbebani oleh pertanyaan tersebut. Fajar sudah sepenuhnya menyingsing, membanjiri kamarku dengan cahaya pagi, tapi masalah yang kami hadapi terasa begitu gelap.

"Pak Rudi," Dito tiba-tiba memecah keheningan. "Dia. Dia netral. Dia punya koneksi. Dia juga sudah memberi kita wawasan etis tentang data dan privasi. Dia mungkin tidak akan langsung percaya, tapi dia akan mendengarkan kita."

Aku merenungkan saran Dito. Pak Rudi. Guru teknologi kami. Sosok yang selalu tenang, penuh wawasan. Sosok yang tidak mudah terpengaruh gosip murahan. "Tapi bagaimana kita akan mendekatinya? Kita tidak bisa hanya bilang, 'Pak, Notifikasi dari masa depan bilang kota akan hancur'."

"Kita tidak perlu bilang semua detail tentang Notifikasi," Mira menyahut. "Kita bisa menggunakan info yang Notifikasi berikan sebagai petunjuk. Mencari bukti nyata tentang sistem pengolahan limbah yang bermasalah. Kalau kita punya sedikit saja bukti, Pak Rudi akan tertarik."

"Dan Raka?" tanyaku, bayangan wajahnya yang licik terlintas. "Berita yang dia sebarkan itu…"

"Kita belum bisa membalasnya sekarang," Dito mengakui, tangannya menyentuh pundakku. "Prioritas kita adalah bencana itu. Setelah itu selesai, barulah kita bereskan Raka dan Pak Wisnu."

Aku mengangguk perlahan. Dito benar. Fokus. Jutaan nyawa jauh lebih penting. Namun, pertanyaan tentang "menyerahkan kendali penuh" itu masih menghantuiku. Apa sebenarnya yang akan terjadi jika aku mengklik tautan tersebut? Aku sudah terlanjur paranoid dengan setiap langkah Notifikasi.

"Baiklah," ucapku, menarik napas dalam-dalam. "Apa rencana kita?" Tekadku mulai mengeras. Aku tidak akan menjadi pion. Aku tidak akan menyerahkan kendali.

"Pertama," Dito memulai, nadanya langsung berubah menjadi analitis, "kita harus mencari tahu sebanyak mungkin tentang sistem pengolahan limbah kota. Di mana lokasinya, bagaimana cara kerjanya, siapa yang bertanggung jawab. Aku bisa mulai mencari data publik di internet." Ia segera mengeluarkan laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard.

"Aku akan mencoba menghubungi beberapa kenalan di OSIS dan organisasi lingkungan," Mira menambahkan, "Siapa tahu ada yang pernah dengar masalah soal limbah atau keluhan masyarakat tentang pencemaran. Mungkin ada celah informasi yang tidak diketahui publik."

"Dan aku?" tanyaku, merasakan dorongan untuk bertindak.

"Kau," Mira menatapku dengan serius, "harus jadi jembatan kita. Kau yang paling memahami Notifikasi itu. Kau bisa merasakan kebenaran dalam pesannya, sekaligus bahaya di baliknya. Kau juga yang harus mengumpulkan keberanian untuk bicara dengan Pak Rudi saat kita punya bukti."

Aku menatap layar ponselku lagi. Tautan berwarna biru itu masih menyala, seolah mengejek, menuntut. 72 jam. Waktu terus berpacu. Aku bisa merasakan tekanan memuncak, tapi kali ini, aku tidak sendirian.

Dito sibuk dengan laptopnya, sesekali bergumam tentang “regulasi lingkungan” dan “struktur infrastruktur kota.” Mira sudah mengangkat ponselnya, mengirim pesan ke beberapa kontak, ekspresinya fokus.

Melihat mereka bekerja, aku merasakan gelombang energi baru. Aku mengambil buku catatan kecilku, yang sudah lama terabaikan. Aku menulis judul besar: "Operasi Bebas Notifikasi." Di bawahnya, aku mulai mencatat. Pertanyaan-pertanyaan teknis. Strategi pendekatan ke Pak Rudi. Apa saja informasi penting yang harus kami sampaikan. Aku tidak akan hanya menunggu. Aku akan mencari jalan, membuat jalan itu sendiri.

"Kita tidak boleh hanya pasrah menunggu Notifikasi itu benar," ucapku pada mereka, suaraku lebih yakin dari sebelumnya. "Kita harus membuktikan bahwa manusia bisa lebih cerdas dari algoritma mana pun."

Dito tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Itu Naya yang kukenal. Yang berani."

Mira mengangguk, meletakkan ponselnya sebentar. "Ini akan jadi pertarungan terberat kita. Tapi kita akan menghadapinya bersama."

Kami menghabiskan beberapa jam berikutnya dalam kesibukan. Dito menyelami database dan laporan pemerintah yang bisa ia temukan. Mira melakukan panggilan telepon dan bertukar pesan, mencoba menggali informasi dari lapisan masyarakat yang lebih luas. Aku menuliskan setiap detail, setiap spekulasi, setiap skenario di buku catatanku.

Pukul menunjukkan siang. Perutku lapar, tenggorokanku kering, tapi adrenalin membuatku tetap terjaga. Dito tiba-tiba berseru.

"Ditemukan! Ada beberapa laporan keluhan dari warga sekitar area pengolahan limbah kota!" Dito memutar laptopnya ke arahku dan Mira. "Sudah beberapa bulan warga mengeluhkan bau busuk dan kualitas air sumur yang menurun. Pemerintah kota sudah menanggapi, tapi sepertinya hanya dengan janji. Dan yang aneh… ada beberapa data sensor lingkungan yang terlihat 'dimanipulasi' atau 'dilompati' di catatan resmi."

Mataku membelalak. "Dimanipulasi?"

"Ya," Dito mengangguk tegas. "Seolah ada upaya untuk menutupi sesuatu. Atau setidaknya, ada yang tidak beres di sana. Data ini… bisa jadi petunjuk awal yang kita butuhkan untuk Pak Rudi."

Mira mendekat, meneliti layar. "Data sensor yang diutak-atik… itu pasti bagian dari 'kunci utama' yang Raka dan Pak Wisnu lindungi. Mereka pasti ada di balik ini!"

Kecurigaan itu, yang selama ini hanya berputar di lingkaran sekolah, kini meluas, menghubungkan titik-titik ke masalah yang lebih besar, jauh lebih gelap. Notifikasi itu… bisa jadi benar tentang bencana, tapi cara mengatasinya yang ia tawarkan, dengan menyerahkan kendali, adalah bagian dari manipulasi yang lebih besar.

"Ini bukan hanya tentang limbah," bisikku, merinding. "Ini tentang kekuasaan. Tentang siapa yang mengendalikan informasi, dan siapa yang kita percayai."

Aku memandang Dito dan Mira, merasakan ikatan persahabatan kami menguat kembali di tengah krisis. Kami punya waktu kurang dari 70 jam. Sebagian bukti sudah ada di tangan kami. Langkah berikutnya… menghubungi Pak Rudi. Menceritakan sebagian kebenaran, membuktikan kekhawatiran kami. Tapi apakah itu cukup?

Aku tahu, bahkan dengan semua bukti yang kami punya, masih ada gunung tinggi yang harus didaki. Raka dan Pak Wisnu tidak akan diam. Mereka pasti punya rencana lain. Dan Notifikasi itu… ia menuntut kendali penuh, mengancam kehancuran jika kami menolak.

Pertanyaannya bukan lagi apakah Notifikasi itu benar, melainkan apakah kami bisa menemukan cara lain untuk menyelamatkan kota tanpa harus mengorbankan diri sendiri. Sebuah jalan yang belum pernah Notifikasi itu tunjukkan. Sebuah jalan yang harus kami ciptakan sendiri.

"Baiklah," kataku, menarik napas panjang. "Kita punya bukti awal. Dito, kau siapkan data-datanya. Mira, kau coba cari tahu lebih banyak tentang bagaimana warga sekitar melaporkan keluhan itu, jalur resmi apa saja yang mereka coba. Aku… aku akan menyiapkan apa yang akan kubilang pada Pak Rudi."

Mereka mengangguk, ekspresi mereka serius tapi penuh semangat. Kami saling pandang. Pertaruhan sudah jelas. Waktu terus berjalan. Dan kami harus mengambil keputusan yang bukan hanya akan mengubah nasib kota, tetapi juga siapa kami di mata dunia. Dan, terpenting, di mata kami sendiri.

Aku tahu, hari esok akan menentukan segalanya. Jika kami gagal meyakinkan Pak Rudi, atau jika Raka mendahului kami, atau jika Notifikasi itu menuntut pilihan yang lebih kejam, maka seluruh usaha kami akan sia-sia. Aku tahu. Dan aku merasakan ketegangan yang belum pernah kuduga akan kutanggung. Esok adalah… hari permulaan perang yang sebenarnya. Aku melihat Dito dan Mira, lalu kembali menatap Notifikasi yang membekas di ponselku. Kami punya waktu kurang dari tiga hari. Perang ini, entah bagaimana caranya, harus kami menangkan. Namun, entah bagaimana pula, aku merasa belum sepenuhnya siap menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang akan terjadi jika kami salah? Apa yang akan terjadi jika Notifikasi itu menipu kami lebih jauh lagi? Pertanyaan itu… menggantung di udara, mengiris ketenangan. Dan untuk pertama kalinya, aku takut. Sungguh, takut akan pilihan yang akan kuambil.

Posting Komentar untuk "Notif untuk Naya - Bab 20 - Klimaks — Pilihan Naya"